Si Kecil Laksana tak pernah mau mendengar satu pun nasihat yang diberikan Ibu.
Meski harus mengunci dirinya di antara tumpukan baju dalam lemari, yang terpenting kupingnya merasa bebas tanpa tekanan. Sejak menginjak usia ke delapan, Laksana tak pernah suka mendengar.
Bukan hanya membenci suara lingkungan di sekelilingnya, Laksana juga membenci mendengar suaranya sendiri.
Segala hal tentang kebenciannya pada suara membuat Laksana tumbuh menjadi sosok anak yang penuh dengan antipati. Sedikit saja ada suara yang mengganggu pendengarannya, Laksana akan bergerak menjauh.
Betapa sulit ia menjalani kehidupan sekolah yang penuh dengan aktivitas komunikasi, betapa sulit pula Laksana berusaha menghindarinya.
Pernah suatu hari, Ibu Guru berbicara lantang di depan kelas.
“Ayooo siapa yang kemarin dapat nilai seratuuus?”
Seluruh kelas terdiam memandang Laksana, yang juga sama bisunya.
Namun yang terjadi selanjutnya adalah Laksana melempar gumpalan kertas tepat ke wajah Ibu Guru. Seisi kelas tersentak, terlalu terkejut untuk tertawa.
Laksana bukan sumber lelucon yang bisa secara bebas teman-temannya nikmati, Laksana adalah bom atom yang bisa meledak bahkan dalam keadaan setenang samudera.
***
Suasana rumah di Januari sepi seperti seharusnya.
Kaki kecil Laksana melangkah berjinjit ke arah ruang tidur milik Nenek. Di tengah hari seperti ini, Nenek selalu berbaring di ranjangnya yang hangat bersama sapu tangan rajut berwarna merah tua.
Dulu ketika Nenek masih sering bercengkerama dengannya, Laksana selalu meledek Nenek tua karena senang dengan warna merah tua. Hasilnya, Nenek benar-benar menjadi tua sekarang.
Suara derit pintu kayu terdengar lirih ketika Laksana membukanya. Mata bulat bocah kecil itu menyebar ke seluruh ruangan, dan bibir mungilnya bergerak perlahan ketika Nenek terlihat memandangnya dari atas ranjang.
“Nenek!!” Laksana berlari kecil.
“Ssst... Jangan berisik, Laks. Nenek kaget kalau kamu teriak-teriak.”
Laksana meraih posisi di atas ranjang bersisian dengan Nenek. Bibirnya dikunci rapat dengan mata membentuk bulan sabit. Sebenarnya Laksana tahu Nenek tidak pernah benar-benar kaget karena ekspresi yang ditunjukkannya selalu sama sedari dulu. Tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana dan Suaranya
General Fiction[SEBUAH CERPEN] Si Kecil Laksana tak pernah mau mendengar nasihat Ibu. Laksana membenci suara, Laksana benci mendengar. Bukan hanya suara di sekelilingnya, Laksana juga membenci mendengar suaranya sendiri.