PART 1

203 49 27
                                    

Mimpi yang Menjadi Kenyataan

Pagi telah tiba.

  Matahari belum menampakkan sinarnya. Suara ayam berkokok menunjukkan untuk membangunkan orang beraktivitas seperti biasanya. Embun terlihat membasahi dedaunan yang ada di sekitar rumahku. Angin di pagi hari membuat badanku  merasakan sejuknya angin pagi. Di Dapur telihat seorang perempuan memakai baju berwana biru yang sedang memasak, itulah aku, Stevani Dewi Larasati. Aku mempunyai seorang adik yang bernama Fajar Akbar. Aku tinggal bersama adikku di salah satu daerah di Jawa Tengah, yaitu Cilacap.

  Ketika aku pergi ke suatu tempat, terkadang aku teringat kebersamaan, kehangatan, dan keharmonisan keluargaku setelah ayah dan ibuku meninggal dunia karena kecelakaan saat menghadiri acara pernikahan pamanku di gedung yang tidak jauh dari tempat aku dan keluargaku tinggal. Aku sangat rindu kepada kedua orang tuaku. Mulai saat itu aku dan adikku memiliki sifat mandiri, bekerja keras, berjuang untuk kehidupan aku dan adikku.

Aku hanyalah seorang gadis yang berjualan nasi kuning dan mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu menjadi Koki. Ya, aku tahu cita-citaku seperti sebuah mimpi karena sangat berat untuk aku wujudkan. Meskipun ada paman yang rumahnya tidak jauh dari rumahku, aku tidak ingin bergantung kepadanya, karena ia juga memiliki keluarga kecilnya. Aku hanya mampu memberi makan adikku dan membiayai sekolahnya, karena ia masih duduk di bangku SMP.

  Setelah aku selesai memotong wortel, tempe dan yang lainnya, tiba-tiba adikku menghampiriku dan berkata kepadaku. “Kak, sudah selesai masaknya? aku ingin membantu kakak.”
“Tidak usah. Kamu belajar saja. Katamu, besok mau ulangan sejarah, kan?”
“Yah!Kak. Semalam aku sudah belajar.”
“Yasudah, Kamu boleh membantu kakak, tetapi dengan satu syarat.”
“Apa kak syaratnya?”Adikku penasaran dengan syaratku.
“Hmmm.. apabila nilai ulanganmu jelek, kamu tidak usah membantu kakak. Tetapi jika nilaimu bagus, maka kamu boleh membantu kakak sepuasnya, bagaimana?”
“Oke kak siap.” Fajar terlihat bersemangat.                                                         
  Beberapa saat kemudian, aku mulai menyalakan api di tungku. Asap mulai mengepul ke atas rumah. Setelah sudah menjadi bara, aku meletakkan wajan di atas tungku dan menuangkan minyak goreng. Sambil menunggu minyaknya panas, aku menyiapkan bahan-bahan yang lainnya. Tak lama kemudian, datang adikku dari arah ruang tamu menuju dapur dan menghampiriku.
“Kak, aku bantu ya masak gorengannya, karena aku tidak bisa memasak nasi kuning.” Aku tersenyum kepada adikku.

  Fajar menggoreng dan aku mulai menyiapkan nasi kuning yang hendak aku jual nantinya di Pasar. Setelah beberapa menit, akhirnya masakanku sudah jadi.
“Jar, kamu sudah selesai belum menggorengnya?”
“Sudah, Kak. memangnya kenapa?”
“Ini nasinya sudah matang. Nanti gorengannya tolong kamu masukkan ke wadah yang biasa dipakai ya. Kakak mandi dulu.”
“Siap, Tuan Putri yang cantik.” Fajar mengatakan dengan candaanya pagi ini.

  Aku berjalan menuju kamar mandi. Byur..! Byur…! Aku mengguyur dan membasahi tubuhku. Setelah mandi, aku menata barang yang ingin aku jual, aku menatanya di keranjang yang berada di depan sepedaku. Sementara adikku mempersiapkan tas dan alat tulisnya untuk pergi ke sekolah.

  Aku meminta Fajar untuk mengambil nasi dalam tempat nasi, karena aku tidak kuat mengangkat itu sendiri, tempatnya sangat besar. Kemudian adikku keluar dengan membawa tempat nasi yang besar itu. Aku merogoh saku bajuku, lalu memberikan isinya kepada adikku.
“Ini uang saku untukmu, Maaf ya hanya ada tiga ribu rupiah.”
“Tidak apa-apa, Kak. Ini sudah cukup untukku.” Fajar tersenyum kepadakku.

  Setelah semua selesai dirapikan, aku dan adikku pergi meninggalkan rumah. Aku berangkat ke pasar dan Fajar pergi ke Sekolahnya. Tidak lupa kami berdoa agar diberi keselamatan dalam perjalanan kami.
“Aku berangkat sekolah dulu ya, Kak.” Fajar pamit kepadaku.
“Iya, hati-hati. Belajar yang rajin.”
Adikku pamit dan aku bergegas pergi ke pasar agar tidak kehilangan pelangganku.

  Bulan yang terang di malam hari, kini telah berganti dengan matahari yang menyinari bumi. Aktivitas warga Desa Kemuning, kecamatan Bojongkoneng, mulai tampak. Sepedaku melintas di jalan yang penuh bebatuan dan sawah yang hijau terlihat indah di mataku membuatku semangat untuk berjualan hari ini. Sampailah aku di Pasar Bojongkoneng, dimana tempat itu ialah tempat berjualanku setiap harinya. Pasar ini tampak ramai karena baru saja diperbaiki. Aku menyandarkan sepeda yang kubawa dan menurunkan serta menata barang yang ada di keranjang. Aku juga menyiapkan meja yang aku pakai untuk meletakkan nasi kuning dan gorengan.

Terlihat di sebelah kanan tempatku berjualan adalah penjual keripik tempe yaitu Bu Hani dan di sebelah kiriku penjual es kelapa yaitu Bu Ani. Mereka selalu membantu menjaga barang daganganku ketika aku ingin ke toilet ataupun keperluan yang lainnya. Mereka juga sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri, karena ketika aku sedih mereka selalu menghiburku dengan memberi nasihat. Aku tidak akan melupakan mereka jika nanti aku menjadi orang yang sukses.

  Sudah satu jam aku menunggu pembeli, tetapi tidak kunjung datang. Aku hanya bersabar dan tetap berpikir positif. Kemudian, datanglah seorang ibu mengenakan baju berwarna merah dan menghampiriku.
“Dik, beli nasi kuningnya tiga bungkus.”
“Iya, Bu. Tunggu sebentar ya.” Aku segera melayani pesanan ibu itu dan segera membungkus nasi kuningnya.
“Semuanya jadi dua belas ribu rupiah, Bu.” Kataku sambil memberi bungkusan nasi kuning yang sudah di plastik. Ibu itu mengambil bungkus nasinya dari tanganku serta menyerahkan uangnya sepuluh ribu rupiah. Aku menyerahkan kembaliannya.
“Bu, kembalinya seribu rupiah ya.”
Ibu itu tidak mau menerima kembaliannya dan mengatakan kepadaku “Tidak usah, ambil saja kembaliannya.” aku merasa tidak enak, lalu aku mengucapkan “Terima Kasih ya, Bu.”

  Aku melihat Bu Hani sedang melayani pembelinya. Ia tersenyum kepadaku. Terdengar ada yang memanggilku dari arah kiri
“Stevani!” panggil bu Ani.
“Iya.Bu. Ada apa?” tanyaku penasaran.
“Tadi pagi saya menonton televisi. Kabarnya, besok beras akan naik harganya. Kamu sudah tahu?”
“Oh, ya? aku tidak tahu soal itu, Bu.” Kataku kaget.

Semua terlihat bingung, termasuk aku. Jika semua harga pokok naik, bagaimana dengan makanan daganngku. Kedepannya, semua harga barang akan naik. Bu Hani melihatku tampak sedih, lalu ia memberiku saran kalau sebagai pedagang harus kritis dan cerdas karena pelanggan ingin puas jadi aku harus mengatur masalah keuangan. Aku membenarkan perkataan yang diucapkan oleh Ibu Hani, aku juga sempat mengeluh akan hal ini, kemudian aku menghela napas. Seharusnya aku tidak mengeluh seperti ini dan tetap semangat walaupun banyak sekali cobaan yang aku hadapi saat ini.

  Seorang perempuan cantik berambut panjang dan memakai batik berwarna merah datang menghampiriku saat aku sedang berjualan. Ia tersenyum kepadaku. Aku memperhatikannya, sepertinya aku kenal dengan perempuan itu.

  Setelah aku amati, ternyata itu adalah Risa, teman dekatku sejak SMA dulu. Tetapi Risa sempat pindah saat duduk di bangku SMA, karena ayahnya ditugaskan pergi ke luar kota.
“Stevani!!” Risa berteriak memanggil namaku. Aku pun memeluknya karena sudah lama tidak bertemu dengannya. Kemudian aku bertanya kepada Risa “Ris, kapan pulang dari Jakarta?” aku seakan tidak percaya bisa bertemu Risa.
“Baru tadi sore. Bagaimana kabarmu sekarang Stev?”
“Baik Ris, kamu ke pasar ingin membeli apa?”
“Aku disuruh ibuku membeli sarapan.” Kata Risa.
“Beli di tempat aku saja, nanti aku kasih potongan harga deh..hehehe.” Candaku kepada Risa.

  Akhirnya Risa membeli daganganku sebanyak lima bungkus, lalu ia ingin main ke rumahku siang nanti dan memberi hadiah spesial untukku. Setelah Risa pergi, aku mulai menghitung hasil penjualanku hari ini. Aku bersyukur hasil penjualannya meningkat dari hari sebelumnya.

  Sinar matahari semakin menyengat di kulitku. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang, aku membereskan semua daganganku dan bersiap untuk pulang ke rumah. Aku penasaran dengan hadiah spesial yang ingin Risa berikan untukku. Aku semakin cepat mengayuh sepedaku agar cepat sampai di rumah.Meskipun udara panas, tetapi angin di pinggir sawah membuatku merasa sejuk. Aku terburu-buru sambil melamun di Jalan.

  Brakk!!!
  Aku menabrak gerobak penjual rujak. Aku terjatuh dan penjual itu menolongku. Penjual rujak yang masih muda itu mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri dan membantu mebereskan daganganku yang jatuh. Hatiku berdegup kencang.

Mimpi yang Menjadi KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang