2

89 34 6
                                    


Bulan purnama menemani Tara dan Ardit yang sedang berjalan beriringan sambil tertawa di pinggir trotoar. Rencana mereka kabur dari promnite berhasil. Walaupun tadi, Raka si mantan ketua osis angkatannya sempat mencurigai mereka. Untungnya Tara mempunyai berbagai macam alibi agar Raka tidak terlalu mencurigai dirinya dan Ardit.

Selama berjalan, kakinya benar-benar gak nyaman dengan high heels putihnya. Tara pun melepaskan high heels setinggi lima sentimeter tersebut. Kaki kecilnya langsung bersentuhan dengan dinginnya trotoar pada malam hari.

"Kaya jalan sama gembel gue." Ardit mengomentari Tara yang biasa-biasa saja berjalan tanpa alas kaki sedikit pun.

"Sewot aja sih." Tara mengibaskan rambut sebahunya ke arah Ardit. Wangi khas shampoo Tara pun menjalar ke indra penciuman Ardit. Ia sangat suka dengan wangi ini.

"Karena gue sahabat yang baik. Gue juga bakal lepas sepatu gue deh. Lagian gue dari tadi gak betah pake nih sepatu. Kaya bapak-bapak kantoran tau gak." Tara tersenyum akan aksi Ardit yang juga ikut-ikutan melepas sepatu pantofel hitamnya. Jujur Tara lebih suka dengan Ardit dengan seragam putih abu-abunya dan sepatu converse buluknya daripada dengan tuxedo yang sangat rapih ini.

"Eh ada kacang rebus. Beli yuk?" Ardit mengangguk semangat lalu Tara menarik tangan Ardit agar mendekat ke arah penjual kacang rebus tersebut.

Seikat kacang rebus kini sudah ada ditangan mereka masing-masing. Mereka agak kesusahan untuk membuka kulit kacangnya karena sebelah tangan mereka juga sedang membawa alas kaki yang dilepas tadi. Tanpa rasa malu sedikit pun, mereka terus berjalan menyusuri trotoar dengan kaki telanjang mereka.

"Kita kaya gembel ya, Dit," Ardit tertawa sambil membuka kulit kacangnya, "oh iya, lo sama Vania gimana?"

Sebenarnya pertanyaan barusan terus-terusan menghantui fikiran Tara. Biasanya Tara akan selalu biasa saja dengan kisah percintaan abal-abal sahabatnya. Tapi entah kenapa kali ini beda, sepertinya Vania sudah benar-benar mengambil hati Ardit. Rasa nyeri di dadanya pasti selalu ada kala Ardit bercerita tentang bagaimana cantik dan baiknya Vania, bagaimana cara Ardit memandang Vania, dan bagaimana Ardit berdua bersama Vania. Tara benar-benar gak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Mungkinkah ia cemburu dengan sahabatnya sendiri?

"Enggak tau. Tadinya pas prom nite gue mau nembak Vania. Tapi," Ardit menggantungkan kalimatnya. Kalimat barusan langsung memohok tenggorokan Tara. Ardit akan menyatakan cintanya kepada Vania malam ini juga.

"Tapi, karna gue kabur dari promnite, kayanya gue gak jadi deh nembak Vania." Ardit tersenyum tipis lalu memasukkan kacang rebus ke dalam mulutnya.

Tara merasa bersalah kali ini. Kalau mereka gak kabur dari promnite, mungkin sekarang Ardit sedang bersama Vania dan menyampaikan cintanya kepada Vania.

"Gue minta maaf, Dit. Kita balik lagi ke promnite ya?" Tara menarik lengan Ardit tetapi Ardit menahannya walaupun sulit karena kedua tangannya ada kacang rebus dan sepatu pantofelnya.

"Gak usah, Ra. Telat juga kalo gue nembak sekarang." Ardit menarik senyumnya. Senyuman ini, senyuman favorit Tara. Senyuman yang selalu membuat hatinya bergejolak tak karuan, senyuman yang membuat Tara merasa nyaman, senyuman ini juga membuat Tara ingin selalu didekat Ardit.

"Seharusnya dari jauh-jauh hari lo nembak si Vania." Berusaha menormalkan detak jantungnya atas senyuman tadi, Tara mencoba tersenyum.

"Mau dari jauh hari ataupun sekarang sama aja, Ra. Kayanya gue gak bisa dapetin Vania."

Tara menggeleng, "Gak boleh pesimis duluan, Ardit."

Mereka terus berjalan menyusuri trotoar ini. Sampah kulit kacang rebus mereka seolah menjadi jejak kemana mereka pergi.

TARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang