1. Dia baik, mungkin?

915 90 10
                                    

Kamu dateng di waktu yang enggak tepat. Kalau kamu dateng esok atau lusa, mungkin kamu enggak akan terlihat aneh buat aku.

________

Hari itu, hari terburuk untukku. Iya, seseorang yang kupercaya baru saja menikamku. Kupikir berteman saja cukup, ternyata menurutnya tidak. Setelah kutepis perasaan darinya, ia bergegas menyuarakan sakit hatinya dengan mengumbar ini dan itu tentangku di sosial media. Jelas aku sedih, sakit hati, dia orang yang ku percaya.

Seorang barista menegurku, entah aku terlalu jauh untuk melamun. Ia meletakkan minuman cokelat di depan mataku seraya tersenyum. Aku pun membalasnya.

"Silahkan Kak," ucapnya dengan ramah. Namanya Anggun. Sesuai dengan perilakunya selama ini padaku.

Setelah kepergian Anggun dari mejaku, aku menatap sekitar. Tempat ini biasanya kusinggahi bersama lelaki yang beberapa jam lalu baru kutolak cintanya. Dia baik. Sungguh lelaki yang baik, namun sebaiknya memang hanya menjadi teman.

Aku menghela napas. Lantas menyeruput minumanku. Masih berpikir mengapa ia bisa secepat itu langsung berkoar ini dan itu pada semua orang. Aku kehilangan dia sebagai sosok teman.

Ponselku di atas meja menyala. Ada sebuah panggilan dari temanku. Edgar. Ah, iya. Kami saling kenal dan menjadi teman baik saat ini. Saat itu aku menemuinya pada salah satu acara webinar. Dia baik. Ramah untuk ukuran orang asing. Sayangnya kini aku dan dia berada pada kota yang berbeda. Entah, Edgar tak pernah menjelaskan apapun padaku.

Jariku mengusap layar, menjawab panggilan dari Edgar.

"Halo, Gar?" sapa ku memulai obrolan.

"Halo Sha, aku mau tanya sesuatu boleh gak?"

Aku mengerutkan keningku. "Apa Gar?"

"Yang soal di Instagram. Rame banget itu. Bener yang Dani bilang kamu maunya sama yang tajir?" tanya Edgar begitu to the point.

"Gar, hak kamu percaya mereka. Toh selama aku deket sama Ganta, enggak ada tujuan buat pacaran. Lagian, aku nolak Dani bukan karena Ganta. Kenapa sih?"

"Gak papa Sha, aku gasuka aja ada yang jelek-jelekin kamu." Terdengar suara helaan napas di seberang sana.

"Hahaha, santai aja," sahutku sedikit gemas. Edgar ini, sebenarnya asik. Asik untuk dijadikan teman berbincang. Tapi sepertinya aku juga harus tahu diri karena setahuku, ia punya pacar.

"Oh iya Sha, sibuk gak? Nanti malem pengen ngobrol gitu sama kamu di telepon. Sambil bahas apa gitu, kali aja kamu mau curhat."

"Ngga sibuk sih, cuma kamu kan punya pacar Gar. Aku gabisa telepon random gitu. Aku ngertiin perasaan pacar kamu Gar." Aku menyandarkan bahuku di sandaran kursi.

"Aku udah putus sama dia Sha, nanti malem sekalian ngobrol ya. Bye Sha!" Edgar mematikan telepon secara sepihak. Bahkan aku pun belum menyetujui ajakan dia untuk mengobrol nanti malam.

Tapi, sepertinya tidak ada yang buruk. Toh mungkin saja Edgar juga tak memiliki teman untuk berbagi. Itu tak masalah untuknya.

Aku melirik jam di ponselku. Pukul empat sore. Aku harus menjemput Nafis dari bimbelnya. Bisa-bisa dia akan ngamuk sama Bunda nanti kalau aku terlambat tiba di sana.

SemataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang