"Satu hal saja yang aku takutkan dalam hidup ini, temanku: suatu hari hitam akan menelan merah."
Mark Rothko
1
JUNIOR
Ubud, Bali. Tempat yang indah dengan warga yang ramah, tempat di mana tidak hanya para turis lokal maupun asing mencari baik ketenangan maupun kesenangan, atau sesuatu di luar kedua hal itu, namun juga tempat para seniman, juga lokal maupun asing, mencari dan menuangkan inspirasi mereka dalam berbagai karya seni. Ada banyak galeri dan sanggar seni di wilayah Ubud, milik para seniman yang sudah ternama atau yang masih amatir, mereka yang menggelutinya sebagai profesi atau para seniman musiman yang sekedar melakukan hobi di masa liburan.
Ubud sudah tak seperti dulu. Sangat padat, jalan-jalan sangat ramai terutama di musim-musim liburan. Kehijauannya yang sangat indah sudah tinggal sedikit, meski pesonanya masih sangat kuat menarik banyak orang untuk mengunjunginya. Ada begitu banyak toko, kafe, hotel, guest house, restoran, dan tentu saja galeri seni. Di Ubud ini, di sebuah jalan kecil yang jauh dari keramaian, terletak sebuah studio kecil milik seorang pelukis dari Amerika Serikat berusia 60 tahun, Ken Watchman, yang pindah dari New York ke Bali 15 tahun yang silam.
Tidak banyak orang yang mengenal siapa Ken. Sebagai pelukis berkebangsaan asing, ia tak setenar almarhum Antonio Blanco di Bali, juga tak setenar para pelukis asli Bali yang sudah dikenal masyarakat. Seperti banyak seniman lainnya di Bali, ia melukis untuk pesanan, ia mengerjakan lukisan abstrak untuk dekorasi dinding di beberapa kafe dan restoran di beberapa negara. Ya, karya-karyanya tergantung di tempat-tempat di mana kebanyakan orang memang datang untuk makan, minum kopi, bertemu teman atau kolega, tanpa memperhatikan dengan seksama lukisan-lukisan yang menempel di dinding, apalagi tanda tangan kecil sang pelukis di sudut bawah. Sebaliknya, lukisan-lukisan itulah yang menjadi saksi bisu berbagai jenis manusia yang keluar masuk tempat-tempat tersebut, segala perilaku dan ekspresi mereka, dalam kesendirian maupun kesibukan mereka. Sebagai mata pencaharian, pekerjaan ini cukup baik baginya karena istrinya yang memiliki banyak relasi dengan mudah menemukan pembeli untuk lukisan-lukisannya. Nyonya Watchman pun masih bekerja, sebagai pedagang barang antik di Bali.
Ken tidak tampak seperti seniman yang ada dalam sudut pandang sebagian besar orang Indonesia. Ia selalu mengenakan kemeja dengan pasangan celana panjang berwarna gelap. Rambutnya yang pendek bergelombang berwarna keperakan karena sudah banyak uban, selalu disisir rapi dengan belahan samping. Mengenakan kacamata berlensa progresif dengan bingkai warna emas yang konservatif. Di balik kacamata itu matanya yang berwarna coklat. Raut wajahnya agak mendekati seniman Victor Vasarely namun dengan sedikit sapuan oriental: mungil, tidak kekar, hidung yang lancip dan bibir tipis. Memang, ada darah Asia pada pria kelahiran Amerika Serikat itu, mungkin Jepang atau Korea, tapi Ken tidak tahu menahu tentang hal itu. Ia telah kehilangan kedua orangtuanya ketika ia masih kecil, dan mereka tak sempat bercerita padanya mengenai silsilah keluarga. Ia cukup awet muda, garis-garis usia di wajahnya tak sangat banyak. Ia masih terlihat seperti di kisaran usia 50-55 tahun meski wajahnya yang bersih terlihat selalu serius, seperti para ilmuwan yang berada di laboratorium atau para pialang di lantai bursa di hari Senin. Ken memang orang yang serius, ia mengerjakan setiap lukisannya dengan penuh kecermatan dan penghayatan, meski lukisan-lukisan itu hanya akan tergantung di dinding restoran, kafe, atau hotel tanpa orang memahami maknanya, apalagi memperhatikan siapa pelukisnya.
Ken adalah orang yang perfeksionis, untuk hal-hal yang dipandangnya harus sempurna, tentu terutama karya-karyanya. Untuk hal-hal lain yang tak menjadi perhatiannya, ia tidak tampak terlalu peduli. Hanya karena ia berada dalam aliran ekspresionisme abstrak, kebanyakan orang tak mengerti seperti apa sebuah lukisan bisa disebut sempurna atau tidak. Sulit menyebutkan kriteria sempurna untuk sebuah karya abstrak. Kemampuannya berbahasa juga nyaris sempurna. Ia rajin menonton siaran berita dalam Bahasa Indonesia setiap malam, juga membaca koran dan banyak buku. Ia juga rajin menghafal kosa kata dan berlatih dengan menggunakan Bahasa Indonesia pada setiap kesempatan berjumpa dengan orang Indonesia yang ditemuinya di Bali, meski sebenarnya ia orang yang pendiam dan tak mudah bergaul. Waktunya di siang hari lebih banyak dihabiskan untuk berdialog dengan lukisan yang sedang dikerjakannya.
YOU ARE READING
Merah Tak Terpadamkan
SpiritualTerinspirasi dari drama "Red" karya John Logan dan lukisan-lukisan Mark Rothko. Sebuah hadiah Natal dari seorang penulis amatir buat para penikmat seni.