Let It Rain(Promise)

461 40 12
                                    


                                                 .....................Enjoy Reading Naa^^............................

Aku melihat lelaki itu terbaring di atas tempat tidur yang berada tepat di sebelahku. Sebenarnya ia tak boleh di situ, tapi karena kamar di rumah sakit ini sudah penuh, jadi pihak rumah sakit mengizinkannya ada di sana. Dari awal aku bertemu dengannya ia sudah tak sadar dan tubuhnya penuh perban. Aku takut melihatnya yang seperti mayat, tapi kata dokter dia koma karena suatu kecelakaan, jadi untuk apa aku takut pada orang hidup? Bagaimanapun aku juga pernah mengalami koma. Bertualang di sebuah dunia yang tak bisa kuingat sepenuhnya.

Ini sudah 2 minggu dia tak sadar. Aku kasihan melihatnya, lama-kelamaan aku penasaran ingin mengetahui nama lelaki itu. Jadi diam-diam aku membuka tirai pemisah dan melihat papan nama yang berada tepat di atas tempat tidurnya.

"Krist...," desisku.

Kulihat wajahnya seksama, lelaki itu sangat pucat. Beragam peralatan medis melekat di sekitar kepala dan tangannya. Sangat miris melihat orang koma, apa aku semiris itu sebulan yang lalu?

"Hya, apa kau akan terus seperti itu? Sekarang sudah 2 minggu dan kau belum juga sadar. Apa kau tidak kasihan pada keluargamu? Mereka ingin kau cepat bangun. Hya! Bangunlah!"

Hei, kenapa aku jadi marah-marah? Apa karena aku khawatir? Ah, tidak mungkin. Memangnya dia siapa? Eh, maksudku aku ini siapa? Kekasihnya? Bukan. Temannya? Bukan. Tapi entah kenapa aku ingin sekali melihat lelaki itu bangun. Aku yakin lelaki itu adalah lelaki yang kuat, karena luka memar parah yang ia derita hanya membuatnya koma.

***

"P'krist, aku berjanji akan menjadi adik yang kuat. Tapi tolong bangun, Oaujun sangat merindukan p."

Pagi ini aku dikejutkan oleh seorang anak lelaki berumur sekitar 17 tahun yang menangis di samping lelaki itu. Sepertinya dia adik krist.

"Namamu Oaujun?"

Anak itu berpaling dan menatapku dengan matanya yang sendu.

"Krab, p teman p'krist?"

"Aku sudah bersamanya selama dua minggu ini."

"Apa P terus begini?"

"Uhm...krab, tapi kau harus yakin Hyungmu pasti sadar."

Oaujun mendekatiku dan memberikan sebuah kotak berwarna biru.

"Tolong berikan ini pada p'krist, aku yakin p senang menerimanya ketika ia sadar nanti. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Khobkun, P."

"Kau mau kemana?"

"Ji-jika P bertanya tentang aku atau Eomma. Katakan padanya kami akan kembali, walau akan sangat lama."

Ouajun menghampiri p'krist lagi dan mengecup pipi abangnya lalu berlari keluar. Kotak ini apa isinya, ya? Ah, bukankah ini titipan? Aku tak boleh melihatnya.

***

Singto merebahkan tubuhnya sambil mengamati kotak biru yang diberikan ouajun, adik Krist, padanya. Ia menimang-nimang sambil menebak berbagai kemungkinan isi kotak itu. Lalu matanya tertuju pada krist untuk kesekian kalinya.

"Lelaki itu...seperti putri tidur saja."

Singto merasa tubuhnya sudah bugar kembali, sudah sebulan ia beristirahat jadi pasti tubuhnya keram ingin bergerak. Jadi ia bangun dan menggerakan badannya. Lalu singto prachaya bangun dari kasurnya dan berjalan-jalan.

"Huu...sudah lama aku tak bergerak sebaik ini."

Singto memberanikan diri untuk mendekati Krist. Setelah ia berada di samping Krist, lelaki itu melihat alat pembaca detak jantung.

"Lemah..."

Singto mengambil kursi dan terus memandangi Krist.

"Lama-lama dilihat lelaki ini manis juga."

Langsung tangannya menutup mulutnya dan menggeleng.

"Apa yang kukatakan? Aku tak mengenalnya, benar, aku tak kenal lelaki ini."

Singto menatap Krist sangat lama, hingga tak terasa sore sudah tiba. Ia harus kembali ke tempat tidurnya. Sebelum ia pergi, Singto kembali melihat krist, lalu tersenyum tipis.

***

Pagi ini aku ingin bercerita pada krist, hem. Bercerita apa, ya? Ah, apapun akan kuceritakan padanya agar ia tak kesepian. Kuambil kursi yang kemarin dan menaruhnya di samping tempat tidur Krist. Lalu dengan lagak sok dekat aku menyapanya.

"Pagi, Krist! Apa kabarmu baik-baik saja?"

"Aku yakin kau sedang berada di dunia yang sangat indah, aku juga pernah mengalaminya. Hanya sedikit yang kuingat, tapi aku merasa sangat nyaman di dunia itu. Uhm...tak senyaman yang kau bayangkan. Terkadang aku ingin cepat keluar dan menemui orang-orang yang kusayangi. Maka saat keinginan itu makin kuat, aku bisa sadar. Kau juga sadar, ya? Kemarin aku bertemu dengan adikmu, namanya Ouajun, bukan? Ia sangat mirip denganmu dan kelihatannya dia sangat sedih. Bagaimana bisa kau membiarkan adikmu sedih seperti itu?"

"Oiya, adikmu juga menitipkan sebuah bingkisan berwarna biru. Bolehkah aku membukanya? Hahaha, tidak, aku hanya bercanda."

Sebenarnya apa yang sekarang kulakukan? Berbicara dengan orang asing? Hem, tidak apalah. Lagipula kedua orangtuaku juga sedang pergi ke luar negri, jadi sekarang aku kesepian.

"Sudah 2 minggu kita bersama dan tak terasa seminggu lagi aku akan keluar dari rumah sakit. Kau tidak apa-apa aku tinggal sendiri?"

Hah? Tidak apa-apa aku tinggal sendiri? Hahahaha, Singto-singto. Kau ada-ada saja.

***

Singto selesai bercerita pada Krist, ia kembali ke tempat tidurnya dan mengambil kotak biru dari adik Krist. Ia sangat penasaran pada isinya, akhirnya ia membuka kotak itu.

"Liontin?"

Singto mengambil liontin itu dan membuka tutup Liontin itu, matanya membesar melihat foto di liontin itu.

"A-apa ini?"

***

Tanganku bergetar saat melihat foto yang terpampang di dalam liontin Krist. I-itu, kenapa aku? Aku dan Krist? Kenapa bisa? Apa ini maksudnya? Kenapa? Aish, kepalaku sakit lagi! Karena kecelakaan sebulan yang lalu, kepalaku jadi sering sakit! Apalagi saat lelaki itu datang, kepalaku semakin sering sakit. Kutekan tombol pemanggil, beberapa suster mendatangiku lalu menyuntikan obat penenang sampai akhirnya aku tertidur.

***

Musim gugur, 2002

Krist berlari sekuat tenaga agar tubuhnya tidak kebasahan karena hujan, tapi tetap saja, secepat apapun langkahnya hujan lebih cepat darinya. Akhirnya Krist tiba di halte bis yang penuh dengan orang yang berteduh juga. Krist melepaskan jaketnya yang sudah basah kuyup karena hujan. Krist kibas-kibaskan jaketnya setelah tadi dia meremas jaketnya dari air. Lalu ia sampirkan jaket setengah basah berwarna abu-abu itu di lengannya. Sesekali Krist menata rambutnya yang acak-acakan karena berlarian tadi.

"Kenapa harus ada hujan, sih? Aku benci hujan," ucap sebuah suara berat dan itu mengganggu Krist. Baekhyun melirik ke orang di sebelahnya yang sedang mengeluh tentang hujan. Krist hanya mengulas senyum tipis karena sebenarnya dia sedikit setuju pada perkataan orang itu jika keadaannya sudah begini.

"Kalau saja aku ini pengendali hujan, aku akan menghentikan hujan kapanpun kumau," ucap orang itu lagi. Oke, sekarang Krist agak risih karena keluhan orang itu.

"Maaf, kalau kau terus mengeluh, bukankah itu artinya kau juga membenci Tuhan?"

Lelaki itu mendelik kesal dan memberikan tatapan membunuh pada Krist.

"Apa urusanmu? Aku sedang bicara sendiri."

"Tapi aku mendengarnya."

"Tidak usah mengurusi masalah orang lain."

"Tuhan kita sama, jadi itu urusanku."

"Ish."

Krist memberanikan dirinya untuk mendekati lelaki itu.

"Sepertinya kita sekolah di SMA yang sama?"

Lelaki itu hanya mengangguk.

"Namaku Krist, Krist perawat."

Lelaki itu belum menjawab dan terus mengeringkan jaketnya.

"Namamu siapa?"

"Singto prachaya."

"Apa mau kubantu?"

"Tidak usah."

"Tanganku sangat kuat, aku bisa memeras baju sampai kering!"

Singto hanya menoleh sedikit dan mencoba tidak peduli. Karena tidak sabar dan tidak suka diacuhkan, Krist langsung mengambil jaket Singto dan memerasnya sekuat tenaga. Singto mengerjapkan matanya karena kaget akan kekuatan Krist. Lelaki itu boleh saja lebih kecil dariku, tapi kekuatannya...wow juga, batin Singto dalam hati.

"Nah, sudah agak kering, tapi jangan dipakai dulu."

"Terima kasih."

Krist membalas ucapan Singto dengan tersenyum, seperti yang biasa ia lakukan pada orang-orang yang telah dibantunya. Singto sedikit melirik tangan Krist, tangan yang kuat itu tidak semulus tangannya. Tangan itu penuh memar dan Krist berusaha menutupinya walaupun Singto sudah terlanjur melihatnya.

"Ma-maafkan aku soal yang tadi."

"Soal apa?"

"Soal aku mengeluh tentang hujan."

"Kau seharusnya meminta maaf pada Tuhan."

Singto menunduk dan memejamkan matanya seperti berdoa.

"Sudah!"

Krist tertawa melihat tingkah polos Singto. Lalu ia menyipitkan matanya sambil menatap langit dan mengulas senyum manis di wajahnya. Singto mengikuti Krist, ia juga menatap langit.

"Langit seperti menangis, ya?"

"Hem."

"Saat langit menangis, mereka memberikan kehidupan dengan airmatanya. Berbeda dengan manusia. Saat kita menangis, itu hanya menyusahkan orang-orang di sekitar kita saja."

"Tidak juga."

Krist menoleh pada Singto bingung.

"Tergantung kita menangis untuk apa dulu," tambah Singto.

"Tangisan seperti apa yang menyenangkan."

Singto berfikir sebentar lalu menatap Krist.

"Tangisan saat kau lahir ke dunia ini."

"Ah, iya," ucap Krist sambil tertawa kecil.

"Kita pasti akan jadi teman baik."

"Aku juga berharap begitu."

"Aku tidak berharap!"

"Apa?"

"Aku bilang, kita pasti akan jadi teman baik."

Krist tertawa melihat ekspresi Singto yang seperti anak kecil menuntut mainan.

***

Musim semi, 2005

Krist dan Singto duduk di teras rumah Singto bersama buku-buku pelajaran. Hari ini Krist meminta Singto untuk mengajarinya beberapa materi yang belum ia mengerti, karena 1 minggu lagi ujian negara akan berlangsung. Singto sebenarnya bingung sendiri saat Krist minta diajari olehnya. Pasalnya Krist jauh lebih pintar dibanding Singto dan itu terlihat sekarang, materi yang Singto belum kuasai lebih banyak di banding Krist.

"Kalau persamaan logaritma seperti ini bagaimana menyelesaikannya, Krist?"

"Oh, menurutku seperti ini."

"Ah! Benar-benar! Lalu?"

Tes...

"Hei? Sepertinya akan hujan sebentar lagi, ayo kita masuk," ajak Singto.

"Tunggu, aku ingin melihat hujan sebentar."

"Kau kan sudah sering melihat hujan."

"Tapi aku paling suka hujan di musim semi."

"Baiklah, aku akan membawa buku-buku ini sebelum hujan membasahi mereka."

"Mau kubantu?"

"Kan kau bilang kau mau melihat hujan. Kau di sini saja."

Singto membawa buku-buku mereka ke ruang tengah. Lalu lelaki itu mengambil beberapa minuman dan makanan kecil untuk Baekhyun. Saat ia kembali, Krist memasang ekspresi itu lagi. Ekspresi yang dulu membuatnya ingin berteman dengan Krist. Ekspresi manis itu...saat Kristmenyipitkan matanya dan menatap langit.

Hujan baru turun rintik-rintik. Krist menghirup udara dingin dan menghelakannya perlahan seperti sedang berolahraga yoga. Singto meletakan makanan dan minuman yang ia bawa di samping Krist.

"Belum deras, ya," ucap Singto sedikit mengejutkan Krist.

"Ah, iya belum deras."

"Krist, aku tidak menyangka kita bisa berteman sampai sekarang."

"Bukannya dulu kau yang bilang kita pasti akan jadi teman baik?"

"Hahaha, iya. Ternyata kau masih ingat itu."

"Tentu saja. Karena sejak itulah aku tak mau kehilanganmu."

"Eh? Aku juga."

Mereka berdua terdiam. Singto mencuri pandang ke tangan Krist. Selama ini ia selalu ingin menanyakan kenapa tangan Baekhyun memar-memar, tapi dia takut Krist tersinggung. Biarlah nanti Baekhyun yang mengaku sendiri.

"Krist..."

"Hem?"

"Selama ini kau selalu bersikap seperti tidak ada yang tak kau sukai di dunia ini. Tapi aku yakin kau punya, dan kalau boleh tahu...apa itu?"

Krist terdiam dan kembali menatap langit.

"Hanya satu hal yang tak kusukai di dunia ini."

Singto tidak sabar mendengar kalimat Krist selanjutnya.

"Hanya satu...kehidupanku."

"Ke-kehidupanmu?"

"Aku sangat membenci kehidupanku sebagai Krist perawat."

"Kenapa?"

Krist mengangkat tangannya dan menyikap bagian lengan bajunya sampai siku. Kini Singto bisa melihat dengan jelas memar dan luka yang ia ingin lihat selama ini.

"Ini yang membuatku membenci kehidupanku. Dia...dia selalu membuatku seperti ini."

"Siapa?"

"Orang yang tidak bisa lagi kusebut sebagai Pho."

"Krist..."

Krist tetap tersenyum walaupun kini airmata menggenang di matanya yang indah. Singto menggapai tangan Krist dan menutup lagi luka itu.

"Jangan perlihatkan luka ini pada siapapun termasuk aku, Krist. Cukup tersenyum seperti itu dan jangan menangis, karena tanpa luka ini, aku bisa mengenal Krist sebagai Krist yang kuat dan selalu berfikiran positif. Aku tak mau melihat luka itu, karena aku berjanji, aku akan melindungimu krist."

---

"Sudah kubilang jangan sakiti Oaujun!"

Terdengar sebuah teriakan dari dalam rumah Baekhyun, seperti suara wanita. Krist langsung berlari masuk dan menolong seorang anak yang tangannya berdarah. Sedangkan di dalam sebuah kamar, seorang wanita sedang bertengkar dengan seorang lelaki yang penampilannya begitu berantakan. Lelaki itu adalah pho krist dan wanita yang sedang berteriak itu pasti mae krist.

"Mae!" Seru Krist dan masuk ke kamar untuk melawan Phonya sendiri.

"Kau anak tidak tahu diri!"

Pho Krist memukul wajah Krist hingga mulut Krist mengeluarkan darah.

"Aku sudah tidak tahan lagi! Aku akan pergi bersama anak-anak!"

"Kau boleh pergi bersama Ouajun! Tapi jangan Krist!"

"Kenapa?"

"Karena bagaimanapun aku harus hidup dengan salah satu anakku!"

"Tidak bisa! Aku tidak akan membiarkanmu hidup dengan Krist!"

"Kau mau aku membunuh anak-anakmu sekarang juga?"

Mae krist sangat bimbang, ia tak mungkin meninggalkan Krist. Krist mendekati Maenya dan mengelus pundak Maeanya.

"Pergilah, Mae. Aku akan baik-baik saja."

"Krist..."

"Aku ingin Mae dan Oaujun terus tersenyum. Jangan menangis?"

***

Musim dingin, 2006


Malam ini salju turun cukup deras, membuat suhu di malam musim dingin ini semakin menusuk. Tapi Krist tidak mau beranjak dari tempatnya saat ini. Ia berjanji untuk menunggu Singto, di bandara, yang baru akan kembali dari London setelah mengunjungi orangtuanya.

Kist menggenggam erat syal yang ingin ia berikan pada Singto saat lelaki itu tiba. Sudah sekitar 3 jam Krist menunggu kedatangan Singto, karena dia tidak tahu jadwal kedatangan pesawat London-Thailand, jadi Krist berjaga-jaga dengan menunggu Singto dari sore. Singto pun berjanji akan tiba hari ini.

Krist memeriksa ponselnya, belum ada pesan dari Singto. Baekhyun tetap sabar menunggu. Ia terus bersenandung untuk mengusir kebosanannya sampai sebuah suara yang ia rindukan memanggil namanya.

"Singto!"

"Krist!"

Krist berdiri hendak menyambut Singto, tapi ada seorang gadis seumuran mereka di sebelah Singto. Pria yang manis.

"Bagaimana kabarmu selama 1 minggu ini? Kau tidak mau memelukku?"

Singto mengangkat kedua tangannya bersamaan seperti memberikan peluang pada Krist untuk memeluknya.

"Di-dia siapa?"

"Oh, perkenalkan, namanya New."

Pria bernama New itu membungkuk sambil tersenyum.

"Sawadeekrab, aku New."

"Krist."

"New adalah teman lamaku saat kami bersekolah di London. Tapi sekarang...dia sudah menjadi kekasihku. New juga bilang ingin melanjutkan kuliahnya di sini, jadi kami pulang bersama."

"Ooh..."

"Kau sudah menunggu lama, Krist?"

"Ti-tidak."

"Ayo kita makan malam dulu untuk merayakan kepulanganku."

"A-aku...aku harus pulang cepat. Aku tak bisa membiarkan Phoku minum-minuman lagi."

"Kalau begitu kuantar, ya?"

"Tidak usah, Singto."

Krist membungkukan tubuhnya lalu berlari pergi dengan sebuah syal yang ia genggam erat. Syal yang harusnya tersemat di leher Singto. Syal yang ia buat semalam suntuk selama seminggu ini. Syal yang ia buat untuk Singto.

"Kau yakin ingin melakukan ini, Singto?"

"Tentu. Bagaimanapun Krist tidak boleh mencintaiku."

---

Krist meletakan syal itu di atas kasurnya lalu ia duduk di balik jendela kamar. Ia menatap salju-salju yang turun menutupi atap rumahnya, begitu putih, bersih, indah.Krist menyapu salju-salju yang bersarang di pinggan jendelanya dan menggenggamnya erat sampai tangannya memerah.

Tes...

Suaranya seperti hujan yang sering ia nikmati bersama Singto. Tapi itu bukan hujan, itu airmatanya. Semakin lama semakin deras hingga melelehkan salju yang ada di hadapannya.

"Kenapa...kenapa hujan ini tidak berhenti walau aku memintanya?"

Ia memukul dadanya berkali-kali.

"Tolong berhenti, aku tidak mau menangis. Aku mau tersenyum seperti yang Singto minta padaku. Tolong berhenti..."

***

Pertengahan tahun 2011

"Krist..."

"Selamat untuk pertunanganmu, Singto. Aku senang kau bisa menemukan Pria sebaik New."

"Bagaimana keadaanmu?"

"Tanganku sudah sehat. Bukankah kau sendiri yang tak mau melihat lukaku? Kenapa sekarang kau menanyakannya?"

"Aku hanya tidak mau kau batal mengisi acara di pernikahanku karena lukamu itu."

"Aku akan menepati janjiku untuk mengisi di acaramu nanti, Singto. Tenang saja."

Maafkan aku,Krist. Mulai sekarang kau harus menjadi lelaki normal. Jangan jatuh cinta padaku. Karena aku juga akan meninggalkanmu.

---

Singto dan New mendapat sangat banyak ucapan selamat pada pernikahan itu. Sampai-sampai Krrist tidak bisa menemui Singto untuk sekedar berpamitan. Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai pemain piano, krist memutuskan untuk pergi. Ia akan memberikan ucapan selamatnya besok saat mengantarkan singto ke bandara.

Sebelum benar-benar keluar, krist sekali lagi melihat kerumunan itu. Wajah singto yang bahagia itu...wajah yang selama 5 tahun ini ia rindukan. Entah kenapa sejak New datang 5 tahun yang lalu, singto selalu bersikap dingin padanya. Berbicara hanya seperlunya. Singto selalu menghabiskan waktunya bersama New.

Tidak, Krist tidak boleh sedih. Krist harus tersenyum seperti yang singto minta dulu agar singto tetap melindunginya. Melindunginya...

***

Musim gugur, 2012

Aish, bayangan itu lagi. Ya, lagi-lagi bayangan itu. Kenangan yang kudapat saat aku koma dulu. Dan setelah kedatangan Krist, aku makin sering melihat bayangan itu. Sebenarnya siapa lelaki itu? Lelaki yang berada di bayanganku?

Singto kembali memerhatikan foto di liontin tersebut. Kepalanya kembali sakit, kini ia tak mau melawan bayangan itu lagi. Ia ingin mengingat semuanya, ia tak mau hidupnya kembali hampa. Seketika airmatanya mengalir, bukan karena sakit kepala, tapi karena lelaki itu. Krist perawat.

***

Flashback

Krist berlari menelusuri kerumunan orang-orang rumah sakit menuju ruang UGD. Matanya berlinang dan bengkak saat melihat orang yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya terkapar di sana. Lelaki itu sangat lemah, sangat berbeda dari biasanya.

"Singto, tolong jangan tinggalkan aku."

Singto dipindahkan ke kamar rawat, tapi kondisi lelaki itu masih koma. Krist mengikuti Singto dan menunggu sampai ia boleh menemuinya.

"Anda siapa?"

"Sa-saya adalah sahabatnya, sahabat baiknya."

Beberapa hari sebelumnya...

Singto merasa ia harus mengutarakan perasaan yang sebenarnya pada Krist. Ia tidak sanggup lagi menahannya. Setelah New menyetujui perpisahan mereka, hari ini, tepat setahun ia meninggalkan krist ke London, diletakannya kotak biru berisi liontin dan surat berisi perasaannya di depan rumah Krist. Ia harap lelaki itu tak marah jika krist tahu ia benar-benar menyukainya.

Selepas kepergian singto, seorang lelaki paruh baya berjalan gontai, tak sengaja kakinya menendang sebuah kotak biru kecil. Lelaki itu mengambil kotak biru dengan tulisan "To "Krist. Sambil tertawa kecil, lelaki itu melempar kotak tersebut ke tempat sampah lalu masuk ke rumah kecilnya.

"Krist!"

---

Krist mendengar pembicaraan dokter yang merawat singto. Mereka bilang singto akan hilang ingatan walaupun tidak permanen. Krist merasa dunia begitu tidak adil, semua orang yang ia sayang harus meninggalkannya. Pertama Maenya, Adiknya, lalu sekarang singto...

Krist mencoba tidak menangis. Ia akan terus tersenyum agar singto bangun dan melindunginya lagi. Ia memandang singto dari balik kaca pintu kamar. Ia tak bisa melihat singto dengan jelas karena banyak orang sedang menanganinya. Dengan hati yang hampa, ia berjalan tanpa arah. Ia tak sadar sudah berada di jalan raya.

BRAK

Tubuh lelaki itu terlempar cukup jauh karena benturan itu, Krist merasa tak ada gunanya lagi dia hidup. Semua orang akan segera melupakannya. Sebaiknya ia pergi...

---

Oaujun baru saja tiba di Chiangmai dan ia langsung pergi ke kediaman P'nya. Ia sangat rindu pada krist, tapi ia merasa ia tak bisa menemui lelaki itu sekarang. Ia terlalu takut menghadapi Appanya yang sangat pemarah, apalagi saat mabuk. Ia bisa merasakan luka p'nya, tapi ia terlalu lemah untuk melawan.

"P'krist."

Tak sengaja ouajun menemukan sebuah kotak biru dari singto di tempat sampah, secepat mungkin ia ambil dan pergi dari rumah itu.

***

"Kenapa kau bisa seperti ini, krist? Bukankah kau lelaki yang kuat? Walaupun kau selalu dipukuli lelaki itu, kau tak pernah menangis. Aku tak mau melihatmu seperti ini. Bukankah kau sudah berjanji padaku untuk tidak memperlihatkan lukamu? Aku akan melindungimu, krist... Apa kau sedih saat melihatku koma? Itu juga yang aku rasakan saat ini krist. Kenapa kau tak mau bangun, krist? Apa kau marah padaku? Hya, krist! Tolong bangun."

Singto menggenggam tangan Krist dan mengecupnya, airmatanya mengalir karena ia sangat takut kehilangan lelaki itu. Sudah beberapa hari ini Singto tak meninggalkan tempatnya menunggu krist sadar.

"Krist, tolong bangun...bangun demi aku."
***

Singto menemui dokter yang merawat Krist, ia bertanya apakah keadaan krist akan terus keritis seperti itu atau masih ada harapan untuknya. Dokter itu tidak bisa menjawab pasti, mendengar reaksi itu singto dengan penuh amarah menarik kerah jas sang dokter.

"Apa ini yang kau sebut sebagai jasa? Apa kau tidak mau berusaha untuk menyembuhkan krist?"

"Maafkan aku."

Singto melepaskan tarikannya dan kembali duduk. Dokter itu juga duduk sambil merapikan kerahnya.

"Boleh aku tahu kenapa krist dirawat?"

"Kau ingat lelaki itu?"

"Aku belum yakin, yang kutahu aku sangat sedih melihatnya seperti itu."

"Menurut saksi mata, lelaki itu menyebrang tanpa melihat sekeliling sampai sebuah truk menabraknya."

"A-apa? Dia menyebrang tanpa memerhatikan sekeliling? Kenapa bisa begitu?"

"Saksi mata juga menambahkan bahwa krist berjalan seperti orang bingung."

"Seperti orang bingung?"

"Ah iya, apa kau ingat kenapa kau bisa dirawat?"

Singto menggeleng.

"Kau koma karena sebuah kecelakaan. Saat kau berusaha menyelamatkan lelaki itu."

"Lelaki itu?"

"Krist perawat..."

***

Kenapa kau tidak hati-hati, krist? Padahal aku sudah berusaha menyelamatkanmu dengan nyawaku sendiri. Aku mencintaimu, krist. Kau dengar itu? Aku mencintaimu...sebuah kalimat yang baru bisa kukatakan sekarang. Dulu aku terlalu takut mengatakan ini, krist. Kau tahu kenapa? Aku takut orang-orang akan melecehkanmu, menghinamu, mencelakaimu hanya karena kita berpacaran. Hanya? Tidak, menjadi menjadi kekasihmu bukan sekedar hanya. Berpacaran denganmu adalah segalanya untukku. Sampai kapanpun aku takkan melepas janjiku padamu, janji yang kuucapkan saat hujan itu turun. Hujan di musim semi yang kau sukai.

Krist...kenapa detak jantungmu terus melemah? Apa kau tidak mencintaiku? Apa kau tidak mau memaafkanku? Maafkan aku, krist. Aku terpaksa menikah dengan new agar kau membenciku. Aku tahu kau tidak bisa, begitupun aku. New juga tidak mencintaiku, aku tak pernah menyentuhnya selama kami menikah. Aku hanya mencintaimu dan dia tahu itu. Dia menyuruhku untuk kembali padamu, jadi aku memutuskan untuk kembali ke Thailand untuk kembali menunjukan cintaku yang terpendam padamu selama bertahun-tahun.

Aku meletakan sebuah kotak berwarna biru berisi liontin dan surat berisi perasaanku. Tapi sepertinya kau membuangnya, krist. Karena yang mengantarkan kotak itu adalah adikmu. Namanya Ouajun, bukan? Dia ingin kau bangun, Baekhyun, sama sepertiku. Aku juga ingin kau bangun.

Aku ingat saat aku menyelamatkanmu di jalan raya waktu itu, aku melihatmu sedang menyelamatkan seekor kucing liar tanpa memedulikan nyawamu sendiri. Aku terlalu takut dan tak bisa berfikir panjang, jadi aku langsung mendorongmu sampai akhirnya...aku koma.

Apa kau menangis saat aku koma, krist? Aku harap tidak, karena aku ingin menghentikan satu hujan. Satu hujan saja...air matamu. Aku tahu kau selalu menahan hujan itu karena kau yakin aku akan melindungimu. Tapi aku menyia-nyiakan semuanya, krist. Aku selalu ingin melindungimu, tapi kenyataannya aku malah meninggalkanmu, membuatmu menahan airmata yang seharusnya bisa membuatmu tenang. Maafkan aku krist.

***

Singto mendengar sebuah suara dari alat pendeteksi detak jantung krist. Tubuh singto membeku, ia tak berani melihat alat itu.

"Krist..."

Tapi singto berusaha melihatnya, ia tolehkan perlahan kepalanya dan sekarang jantungnya seperti berhenti berdetak. Sama seperti jantung krist saat ini.

"Krist! Dokter! Tolong ke sini!"

***

Aku masih memandangi foto hitam putih itu. Sebuah foto yang dipenuhi bunga-bunga bertuliskan bela sungkawa. Aku melihat beberapa orang menangis melihat kepergian orang itu. Tapi aku tidak mau menangis, untuk sebuah alasan, aku tak mau menangis.

"Krist..."

Aku menoleh ke sumber suara, dia, singto yang kurindukan ada di sini. Bersamaku di pemakaman Phoku.

"Kenapa kau tidak menangis?"

"Bukankah kau bilang aku tidak boleh menunjukan lukaku?"

"Menangislah, krist. Karena walaupun kau menangis atau menunjukan lukamu, aku akan tetap melindungimu."

Perlahan airmata yang selama ini kupendam karena janji itu mengalir. Di balik air mata itu masih ada sedikit amarahku pada perlakuan pho selama ini. Tapi aku mencoba ikhlas, karena aku tahu Appa juga terluka karena Mae selingkuh saat aku masih berumur 5 tahun. Bahkan aku baru tahu kalau ouajun bukan adik kandungku. Aku sudah memaafkanmu, pho. Aku tahu bagaimana perasaan mencintai seseorang yang mengkhianati hati kita dari belakang, walau orang itu sebenarnya tidak mau. Tapi aku juga tidak bisa marah pada Mae, karena Mae melakukan itu untuk kebaikanku, agar aku bisa bersekolah di tempat yang layak lewat uang yang orang itu berikan pada Mae.

Singto perlahan merangkulku. Aku menatapnya dan tersenyum lembut. Ia membalasnya lalu mengecup keningku seperti menenangkan.

"Sepertinya Sehun dan Maemu belum datang."

"Sebentar lagi mereka pasti datang. Kalau belum datang juga...setidaknya mereka harus melihat makam Pho."

"Apakah sakit?"

"Apa?"

"Apakah sakit saat melihat orang yang kau cintai pergi? Apakah sakit di sini?"

Ia menunjuk dadaku sekilas. Aku hanya mengangguk.

"Tapi lama kelamaan semua orang akan pergi, singto. Hal yang tak bisa dihentikan oleh manusia. Takdir. Sama seperti hujan, bukan?"

"Hem. Sama seperti hujan yang tidak bisa kita hentikan."

***

Aku dan krist duduk di halte tempat kami bertemu untuk yang pertama kalinya. Saat ini tidak hujan, tapi keadaannya begitu menenangkan seperti ada hujan yang mengelilingi kami. Kami bisa mendengar bunyi hujan dalam angan-angan kami. Krist terus menunduk, jadi kuangkat wajahnya menghadap padaku.

"Kau kenapa?" Tanyaku.

"Aku hanya tidak percaya sekarang kau ada di sampingku."

"Kau harus percaya, krist."

"Aku...mendengar suaramu saat aku koma."

"Aku juga, yang ada dalam mimpiku adalah kau dan seluruh kenangan kita, krist. Maka dari itu aku ingin segera bangun dan bertemu denganmu."

"Saat aku menahan tangisku, aku selalu percaya kau akan melindungiku. Waktu itu aku menangis, singto. Saat kau mengenalkan new padaku, aku menangis diam-diam dan kau langsung bersikap dingin padaku. Maka dari itu...aku tidak pernah menangis lagi supaya kau kembali melindungiku. Aku terus menunggu sampai kau menepati janjimu. Kau melindungiku hingga nyawamu sendiri taruhannya."

"Kau terus menunggu?"

"Sehari sebelum keberangkatanmu ke London. New mengatakannya padaku, mengatakan alasanmu dingin padaku selama 5 tahun itu."

"Maafkan aku, krist."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, singto. Karena kau telah menepati janjimu."

"Sekarang...biarkan airmatamu mengalir saat kau sedih, biarkan hujan yang berasal dari hatimu itu keluar dari mata indahmu. Karena aku akan selalu di sampingmu. Aku takkan meninggalkanmu lagi. Pegang janjiku."

"Jadi, apa aku boleh mengenakan liontin ini?"

"Boleh, mau kupakaikan?"

Krist mengangguk. Lalu kupakaikan liontin itu pada krist. Liontin yang membuatku ingat padanya. Liontin yang sebenarnya ingin kuberikan pada krist tepat saat aku mengajak New dan berfikir untuk melupakan krist. Kufikir liontin itu bisa kujadikan hadiah terakhirku pada Baekhyun sebelum aku meninggalkannya, sekarang liontin itu memang menjadi hadiah terakhir, hadiah untuk cinta terakhirku. Cinta abadiku.

"Aku mencintaimu, Krist."

***

To Krist...

Krist, bagaimana kabarmu selama satu tahun ini? Aku harap kau akan baik-baik saja. Tapi sekarang aku yang tidak baik. Selama lebih dari 5 tahun aku berhubungan dengan New, aku tidak bisa baik. Baik untuk jiwa maupun ragaku.
Aku sadar, Krist, hanya kaulah orang yang ada di hatiku. Aku mencintaimu, krist. Maafkan aku karena baru sekarang aku bisa mengatakannya. Aku takut untuk melihat kenyataan, aku takut tak bisa menepati janjiku, aku takut kau malah tersakiti karena perasaan ini. Aku bodoh bukan? Aku selalu takut untuk segala hal. Bahkan dulu aku ingin menghentikan hujan karena aku takut pada hujan yang selalu membuatku menggigil.
Tapi sekarang aku sudah tidak takut lagi. Pada hujan, kenyataan, dan perasaan ini. Sekarang aku yakin untuk mencintaimu, krist. Biarkanlah hujan deras menerpa kita, yang pasti, aku akan terus melindungimu dari mereka. Karena mereka jugalah yang sudah mempertemukan kita.
Sekali lagi, aku mencintaimu,krist.

End...

Ini fanficku yang oneshoot..semoga terhibur yaa dengan ceritanya..Aku teringin buat cerita oneshoot,jadi aku buat deh versi singto dan krist.hihi..

Jangan lupa vote dan comment yaa gais...

Let It Rain(Promise)OneshootWhere stories live. Discover now