Lanskap Senja

4 1 0
                                    


Sebuah motor matik membelah jalan raya pusat Kota Gresik. Kendaraan itu dari arah Basuki Rahmat, melewati Menara Gardu Suling yang melegenda menuju ke arah kawasan Islamic Center yang dulunya merupakan alun-alun Kota Gresik. Pengendara motor tersebut berhenti ketika berada di seberang Gedung DPRD, lalu memarkirkan motornya dan mengambil kamera DSRL di bagasi motor. Sejenak, ia menatapi bangunan yang separuh jadi itu. Ia teringat betapa banyak sekali kenangan yang tersimpan di tempat itu. "Hah .... " anak laki-laki berkacamata itu menghela napasnya pelan. Nampak beberapa bulir keringat mengalir dari pelipisnya. Udara siang ini memang terasa panas. Pemandangan orang yang berjualan es dawet di depan kantor sipil, membuatnya tergiur.

"Pak, es dawetnya 1 gelas ya?" ucapnya.

"Oh, nggih. Tunggu sekejap," kata penjual dawet yang kulitnya telah keriput dengan logat Jawanya.

Anak berkacamata itu menghabiskan dawetnya di seberang kantor kepengurusan sipil lalu mengembalikan gelas serta membayar minuman yang barusan diminumnya. Tidak lama kemudian, Azan asar berkumandang dari Masjid Jami' yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun bergegas bergabung dengan para jamaah yang salat ashar di sana.

Selepas salat, Ia duduk berleha-leha di teras masjid. Pikirannya tidak lagi berada di raganya. Ia sedang merasa kebingungan mencari objek foto kebudayaan untuk lomba yang akan diikutinya. Tidak lama kemudian, ponselnya bergetar tanda ada panggilan masuk. Dodik, begitulah tulisan yang tertera di nama pemanggil itu. Tanpa pikir panjang, ia langsung menjawab panggilan temannya. "Halo, assalamualaikum, Haidar. Gimana? Sudah dapat foto untuk lomba?" ucap Dodik dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada Haidar, si penerima telepon.

"Wa'alaikumsalam. Belum. By the way, ngapain sih dari kemarin nanyain itu mulu? Emangnya kamu sendiri sudah dapat?" seketika Haidar kesal dengan Dodik. Karena sejak awal pendaftaran lomba fotografi yang mereka ikuti hingga kemarin malam, Dodik selalu menanyai Haidar perihal foto yang akan dilombakan. Bahkan tadi malam, anak itu mengirimi Haidar puluhan pesan. Saking kesalnya, ia sama sekali tidak mengacuhkan satupun dari puluhan pesan itu.

"Sudah, dong. Lagian kamu sih, kenapa semalam kau tidak baca satupun dari pesanku?" suara Dodik di seberang telepon nampak seperti orang memamerkan sesuatu. Dan itu membuat Haidar mati-matian menahan emosinya.

"Hah ... tarik napas, buang napas," gumam Haidar sambil mengatur napas sekaligus mengatur emosi.

"Lah, trus? Ngapain pake ngelapor ke aku?!" sepertinya usaha meredam amarah tidak berhasil ia lakukan.

"Santai, bro. Sebenarnya ...." seketika Haidar memutuskan teleponnya secara sepihak. Dan langsung meninggalkan halaman masjid setelah memakai sepatu dan membawa tas kameranya. Bisa-bisa ia menjadi perhatian pengunjung masjid karena marah-marah tidak jelas. Di dalam hatinya, ia menyumpah serapahi orang yang dikira kawan baiknya.

Ketika Haidar akan mengambil motornya di parkiran, sebuah notifikasi masuk di ponsel. Dan hal itu semakin membuat ia semakin geram, ia menendang ban motornya sendiri dan mengaduh kesakitan.

"Dar, sebernarnya saat malam itu aku ingin mengajakmu ke Gresik bagian timur karena kebetulan disana sedang mengadakan festival. Namun apa daya dirimu yang tak kunjung membalas pesanku," begitulah isi pesan yang baru saja masuk itu.

"Ma, kakak itu kenapa?" sahut seorang anak kecil sambil menunjukkan jarinya ke arah Haidar ketika ia menendang motornya sekali lagi.

"Hush, tidak sopan," ucap mamanya. Sepeninggalnya mereka. Raut wajah Haidar tidak terdeteksi. Haidar tidak tahu lagi harus berekspresi seperti apa. Ia pun pergi meninggalkan alun-alun seiring senja menanti.

Para nelayan bersiap-siap untuk mendorong kapal ke laut. Sesekali terdengar suara keras orang-orang yang mendorong kapal bersama-sama. Sementara itu, senja akan tenggelam ditelan bumi. 

Lanskap SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang