Kami tinggal di ruangan yang sama hampir satu tahun dua bulan, dan baru hari ini jantungku berdetak kencang karena sesuatu yang biasa kami lakukan. Membelai kucing yang sama, si Pagi. “Apa ada yang aneh?” Tanya Aji, beralih menatapku. Aku yang sedari tadi menatapnya lebih lama dari seharusnya sedikit tersentak kaget. “Gak ada,” jawabku singkat.
“Terus kenapa ngelihatin dari tadi?” Ucapnya, yang kujawab dengan gelengan. “Apa jangan-jangan lo mulai menyadari ketampanan gue?” kelakarnya kemudian. Sumpah ya, tuh anak rasa pedenya memang tingkat dewa.
“Ha-ha. Lucu.” Aku pura-pura tertawa.
“Gak apa-apa kok, Beb. Suka gue aja kalau emang krisis gebetan.” Dia melingkarkan lengannya sekaligus mengusapkan kepalanya di bahuku. Dan jangan lupakan gestur ‘kecupan bibir seksi’ dengan ungkapan “I love you too” yang konyol sekali.
“Stop it, you asshole.” Balasku dengan tawa yang sedari tadi kutahan. “Dasar gigolo.” Ejekku main-main.
Dia makin menghimpitkan tubuhnya padaku. “Aku gigolomu, Mas.” Dan dengan gaya centil yang dibuat-buat dia terus menggodaku. Membuatku geli dan ingin menendangnya keluar. Ah, jantungku. Kamu berdebar pada orang yang salah.
##
Bersama harapan timbul kepalsuan. Setidaknya itu yang kurasakan kemudian. Aku tidak tahu pasti seberapa banyak kekecewaan yang sudah kutanggung, yang pasti hal itu membuatku kehilangan minat pada sekitarku.
Semuanya bermula saat aku lapar dan memilih makan di kantin, satu kebiasaan yang hampir tidak pernah kulakukan karena harga makanan di kantin cukup mahal untuk ukuran kantongku. Tapi sore itu, aku sangat lapar. Sehingga aku khawatir kalau aku tidak makan, aku akan pingsan. Disisi lain, aku masih punya kegiatan yang harus dilakukan di kampus.
Saat itu, kantin sangat sepi dan hanya satu-dua orang yang masih tinggal. Maklum, jam perkuliahan sudah berakhir dua jam yang lalu. Aku pergi makan dengan lima orang temanku.
Baru memasuki kantin, aku sudah disuguhi pemandangan paling menakjubkan sepanjang masa. Aji, sedang duduk berdua dengan seorang cewek. Pukulan pertama. Secara kebetulan, satu teman yang ke kantin bersamaku mengenal cewek itu. Entah bagaimana ceritanya, yang pasti kami berenam dan dua orang itu berakhir menempati meja yang sama. Aku tersenyum dan bertingkah sewajarnya sebagai seorang teman sekamar. Kulihat Aji juga bertingkah seperti biasa saat kami bertemu.
Hingga, satu ucapan yang dilontarkan temanku mulai mengusikku. “Cie, Lintang. Gak jomblo nih, ye.” Aku menatap satu-satunya cewek di meja kami. Kuperhatikan ekspresinya yang tiba-tiba berubah sumringah. “Apaan sih,” dia mengelak tapi kelihatan sangat bahagia dengan ucapan temanku. Aku tidak menyukainya.
Kemudian, pandanganku beralih ke Aji yang tampaknya tidak terpengaruh dengan ucapan temanku. Dia, hm ya, tetap tenang menyeruput es cendolnya. Dia juga tidak berusaha mengelak ucapan temanku.
Tanpa menunjukkan kontak fisik atau kalimat romantis apapun, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda di antara mereka berdua. Ada yang spesial. Satu hubungan intim.
Menyadari apa yang terjadi, mendadak dadaku terasa berat. Ada perasaan marah, kecewa, dan putus asa. Ya ampun, baru dua hari lalu aku berpikir dia meletakkan terlalu banyak emosi di setiap kontak fisik kami, dan sekarang dia memiliki orang lain. Lalu apa artinya semua momen intim kami? Apakah hanya aku yang merasa kami tertarik satu sama lain?
Betapa lucunya.
Maksudku, kalau memang sudah ada orang lain kenapa masih bersikap baik padaku? Apa dia sengaja membumbungkan tinggi harapanku lalu seenaknya menghempaskannya? Kalau memang demikian kenyataannya, seharusnya jangan memberiku harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE IT
Random[Boyslove] Seberapa lamakah waktu yang dibutuhkan untuk menyukai lingkungan baru dengan orang baru? Well, tanyakan Adit.