Side to Side

3.2K 351 59
                                    

o0o

Seorang gadis tampak duduk menyendiri di pojok kelas, pensil di antara jari-jari lentiknya berayun, melukis wajah sesosok wanita di sebidang kertas. Hasilnya sangat memuaskan, tapi tak satupun ada yang datang menghampirinya untuk sekadar memberi pujian. Mereka sibuk dengan kesenangan sendiri.

Bukannya berniat menjauhi, tapi wajah tanpa ekspresi gadis itulah yang membuat orang segan untuk mendekati. Raut datarnya tidak menunjukan ketertarikan untuk menjalin pertemanan. Ketika ada yang mengajaknya berbicara, dia hanya menjawab sesingkatnya. Bahkan sering kali dia memilih diam jika dianggap itu tidak penting. Bisa dihitung berapa kata yang ia keluarkan selama seharian berada di kelas.

Dia, Sakura namanya, memilih menarik diri dari kehidupan sosialnya. Lebih baik dia mendengarkan musik sembari memandang taman belakang sekolah lewat jendela daripada harus berbicara dengan banyak orang.

Dia, Sakura, anak tunggal dari keluaga berkecukupan. Hidupnya memang terlihat sangat monoton, tapi tidak jika kita melihat lebih dalam. Namun sayang, tak satupun peduli dengannya. Hingga sampai saat ini, tak ada yang tahu menahu penyebab dirinya seperti itu.

"Sakura itu ... aneh ya?"

"Aku sih tidak sanggup untuk tak berbicara seharian. Rasanya gatal bibir ini."

Yang lain mengangguk setuju sambil tertawa.

"Kadang seram juga sih, mukanya dingin banget gitu, seperti tidak punya emosi," si gadis berkacamata berpendapat.

"Psikopat dong!" celetuk yang lain, membuat mereka terkejut lalu melihat Sakura sambil bergidik ngeri.

Semua ucapan mereka, tak luput dari indera pendengaran Sakura. Ia menundukan kepala sehingga rambut panjangnya jatuh menutupi sebagian wajahnya. Pensil yang dia pegang, digenggamnya erat demi melampiaskan kekesalan. Tidak, Sakura bukannya kesal dengan ucapan mereka. Sedikit tersinggung mungkin iya, tapi ia lebih kesal dengan dirinya yang bersikap seperti ini hingga orang berspekulasi buruk tentangnya. Sakura membenci dirinya sendiri.

Tanpa sadar, sepasang onyx mengamati semua gerak-gerik Sakura sejak tadi. Pemuda berambut raven itu mengembuskan napasnya. Ada rasa simpati di lubuk hatinya melihat hal tersebut. Ingin dia mendekati Sakura sekadar menanyakan apakah gadis itu baik-baik saja, tapi diurungkan karena takut Sakura tidak nyaman dengan sikap tiba-tibanya. Untuk saat ini, dia lebih memilih diam mengamati sambil mendekati Sakura secara perlahan.

S i d e


B

el sekolah berdering tiga kali. Ketika guru telah pergi meninggalkan kelas, Sakura segera membereskan bukunya. Dengan langkah terburu, dia segera melangkahkan kaki menjauhi gedung sekolah. Sama seperti siswa lainnya, Sakura merasa bahwa jam pulang merupakan waktu yang sangat dinantikan. Bedanya, jika mereka senang karena terbebas dari pelajaran, lain hal dengannya. Ada hal lain yang membuatnya lega ketika keluar tempat mengemban pendidikan ini.

Sakura biasanya pulang naik kendaraan umum, tapi sekarang uangnya tidak cukup untuk membayar ongkos bus karena ia belikan pulpen. Terpaksa kali ini Sakura harus berjalan kaki. Memang jarak rumahnya dengan sekolah tidak terlalu jauh lewat jalan pintas. Namun, harus melewati gang-gang kecil yang cukup membuat jantungnya terpompa lebih cepat. Oleh karena itu, langkah kakinya dipercepat supaya dia bisa segera tiba di rumah.

"Hei!"

Sakura menghentikan langkahnya saat mendengar teriakan seseorang. Dia ingin berbalik, tapi suara-suara di kepalanya mengatakan bahwa itu mungkin saja orang yang ingin berbuat jahat padanya atau hantu penunggu jalan ini. Ketika teriakan itu terdengar kembali, Sakura segera berlari dari sana, bulu kuduknya merinding karena ketakutan, telinganya dia tutup dengan kedua tangan, bahkan dadanya berdebar tak karuan. Suara lain mengingatkan bahwa beberapa hari ini terdapat kasus penculikan, sontak kakinya melemah, badannya melemas.

Side to SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang