Naskah Drama Monolog 'Anak Kotak Kayu'

303 2 0
                                    

Diawali dari sebuah panggung tanpa penerangan sedikitpun. Terdengar suara orang-orang menyanyikan empat bait sebuah lagu daerah Sunda beberapa kali.

"Balap lumpat patarik-tarik lumpatna
Balap lumpat paheula-heula tepina
Hiji dua barudak sadia
Tilu bareng lumpat papaheula"

Penerangan sedikit demi sedikit menyoroti sebuah kotak kayu yang hanya dapat diisi oleh satu orang. Seakan ingin ikut mengiringi nyanyian tersebut, kotak kayu itu bergerak-gerak, dipukul-pukul oleh seseorang yang berada di dalamnya. Sampai beberapa saat kotak kayu terbuka, pertama kali yang terlihat adalah sepasang kaki yang menari-nari, menyibak-nyibakkan ke langit-langit seperti sedang berlari.

Seseorang itu, sebut saja si Anak, keluar dalam kotak dengan gesitnya namun wajahnya belum terlihat dengan jelas. Tapi yang sangat jelas terlihat adalah ia sangat kotor, sekujur tubuhnya hampir dipenuhi lumpur yang mengering. Ia mengucek kedua matanya sembil tersenyum. Ketika ia tersadar tak ada siapa-siapa di sekelilingnya. Terlihat bingung dan sedih raut wajahnya, mondar-mandir dengan menyenandungkan lagu yang pertama kali ia dengar. Berhenti, seperti mengingat sesuatu. Ia kemudian mondar-mandir lagi namun dengan gerakan lebih cepat dari sebelumnya, ia sedang mencari-cari apa yang dicari. Memanggil-manggil beberapa nama.

"Cong, Cong. Teung! Teung. Pot, Pot! Hong!"

Tidak ada jawaban dari mereka yang ia cari. Meski sudah ia ulangi berkali-kali dengan suara yang lebih keras.

"Kalian tidak usah bersembunyi. Kita tidak sedang bermain petak-umpet bukan?"

Ada sesuatu yang salah sedang terjadi, itulah suatu hal yang ia pikirkan sejak tadi. Maka untuk memastikan hal tersebut, ia berdiri di atas kotak dan berjinjit agar ia dapat lebih tinggi dalam melihat sekelilingnya. Setelah beberapa saat, masih dengan berjinjit, ia mengacungkan telunjuknya ke arah depan.

"Mehong!"

Seketika ia bergerak dengan cepat menuju arah itu. Namun ketika ia turun dari atas kotak, seseorang yang ia lihat telah menghilang. Tak percaya, ia mencari ke sana-sini dengan bingung. Memanggil-manggil lagi beberapa nama yang sama sebelumnya.

"Teung! Pot, Pot! Hong! Cong, cong. Teung!"

Merasa usahanya sia-sia, ia nampak murung. Kemudian mengambil sebuah minuman soda dari dalam kotak setelah itu duduk di atasnya, mencengkram kotak kesal, dengan sangat bernafsu ia meminum sodanya. Berulang-ulang kali ia mencoba mengatur nafas kesal kekanak-kanakannya. Berhasil. Cengkraman tangannya pada kotak itu perlahan mengendur karena sedih yang membuatnya lemas. Kepalanya tertunduk seperti seorang yang sedang tidur. Ia menangis tapi terkadang ia tutupi dengan tawanya yang dipaksakan, sekadar menghibur diri.

"Keluarlah! Aku tahu kalian sedang mempermainkan aku. Benarkan? Ya, pasti itu benar. Tidak apa, aku tidak akan marah. Aku berjanji. Maka keluarlah dari tempat persembunyian kalian."

Tangisnya kini tertutupi sepenuhnya oleh senyum sebab kenangan-kenangan indah yang pernah ia alami hadir begitu saja dalam benaknya. Ia menoleh ke arah kanan, melihat seseorang seperti sebelumnya. Menunjuk arah tersebut.

"Dacong!"

Baru dua langkah ia berlari, seseorang itu menghilang. Kali ini ia benar-benar menatap ke arah depan dengan tatapan sangat kesal.

"Sudah cukup! Kalian pikir lelucon seperti ini lucu? Teruslah seperti itu, bersembunyi. Bersembunyilah terus. Bila perlu, kalian sembunyi selama-lamanya! Jangan pernah muncul lagi. Tapi, setidaknya beritahu aku. Apa kesalahanku sampai-sampai kalian memperlakukanku seperti ini."

Ia benar-benar sangat kesal. Ia melampiaskan kekesalannya itu dengan menendang-nendang kotak kayu.

"Apa yang kau lihat? Eh.. Tidak? Aku hanya bertanya. Apa kau lihat teman-temanku? Ya, dua di antara mereka tadi ada di sana dan di sana, tapi belum sempat aku menghampirinya, mereka dengan cepat pergi menghilang begitu saja. Aku tidak akan bisa tidur sebelum aku menemukan teman-temanku. Oh ayolah! Setidaknya kau memberitahu ke mana aku harus mencari teman-temanku. Karena sepertinya aku sudah mulai lelah. Beberapa hari yang lalu aku sudah mencarinya di kebun-kebun pisang dan singkong, di sawah-sawah yang siap panen, di balong-balong, semua tempat yang biasa dijadikan tempat bermain oleh kami ternyata kosong."

Menyadari minuman sodanya telah habis, ia buka kotak kayu, mengambil minuman soda yang baru. Meminumnya kemudian.

"Kau tidak tahu? Sungguh kau benar-benar tidak tahu? Oh maaf, kenapa aku terus-menerus memaksamu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak kau tahu."

Ia kembali duduk di atas kotak, meminum sodanya.

"Sekali lagi aku mohon maaf. Aku sedikit kesal. Kau tahu, betapa kesalnya aku ditinggal oleh teman-teman yang sangat aku percayai. Aku dan mereka pernah berjanji dengan sebuah mimpi. Ya, tidak apa, kau bisa tenang sekarang. Apabila kau ingin pergi, silakan."

Dengan cepat meletakkan botol tersebut di samping kanannya.

"Tunggu sebentar! Aku melupakan sesuatu. Tidak, bukan... kali ini bukan mengenai keberadaan teman-temanku. Kau akan pergi ke mana? Maksudku, berhati-hatilah. Jaga dirimu baik-baik. Kau tahu, akhir-akhir ini banyak sekali tindak kejahatan. Baik itu perampokkan, pencurian, penculikkan... dan masih banyak... oh ya, pembunuhan! Jadi, berhati-hatilah."

Ia berbalik arah namun tidak melangkah.

"Apa kau sedang terburu-buru? Apa yang membuatmu terburu-buru seperti itu? Tidak bisakah kau lebih lama di sini, menjadi temanku, bermain denganku? Menggantikan mereka, teman-temanku yang sedang bersembunyi, atau menghilang, atau mungkin mereka bukan hanya menghilang. Melainkan mereka dengan sengaja pergi meninggalkan aku seorang diri. Apa? Apa maksudmu dengan tidak? Sekarang kau orang baru yang kukenal, kau juga ingin pergi? Meninggalkanku seorang diri? Baiklah, silakan. Ya, silakan, silakan kau pergi. Iya, setan, silakan kau pergi! Kau tuli, tinggalkan aku sekarang juga!"

Kotak itu kembali didudukinya. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Sungguh aku akan membunuh mereka suatu saat nanti jika benar mereka dengan sengaja meninggalkan aku seorang diri di sini. Di kota yang terkutuk ini. Kota yang setiap harinya menggusur tempat bermain. Memang masih ada tempat bermain, tapi tidak melebihi jari-jari tanganku. Setengahnya pun tidak. Buktinya, lihat aku sekarang! Aku tidak akan berdiri di sini jika banyak tempat bermain untuk anak-anak sepertiku bukan? Selain itu coba kalian perhatikan dengan cermat orang-orang dewasanya, sebagian dari mereka, entah apa tujuannya, mereka hanya pandai memarah-marahi yang lebih muda sedangkan kikir memberikan ilmu. Bukan kikir, sebagian orang-orang dewasa di kota ini bodoh! Jika mereka tidak bodoh, kota ini seharusnya sudah menjadi kota yang besar, setidaknya kota yang sangat dikenal bukan hanya karena memiliki sejarah yang usang tapi selalu mencetak sejarah yang baru dari segala bidang. Terus terang saja, aku punya mimpi. Aku katakan pada semua orang, aku punya mimpi. Sebagian orang-orang dewasa yang bodoh itu mencemooh mimpiku. Aku tidak peduli awalnya, karena aku memiliki teman-teman yang mau mendengarkanku. Kini... teman-temanku bersembunyi, akhirnya aku hidup di dalam mimpi."

Dari kejauhan terdengar suara yang dihasilkan entah dari apa, suara itu perlahan terdengar semakin mendekat, memekakan telinga. Ia berusaha melakukan apapun yang dapat ia lakukan agar gendang telinganya tidak terlalu terasa sakit. Hingga akhirnya suara itu mereda secara perlahan, senyap dan ia tersadar akan sesuatu. Ia teringat lagu yang pertama kali didengar, kali ini ia tidak hanya bersenandung. Ia menyanyikan lagu tersebut dengan empat baris liriknya dengan penuh kepedihan.

"Balap lumpat patarik-tarik lumpatna
Balap lumpat paheula-heula tepina
Hiji dua barudak sadia
Tilu bareng lumpat papaheula"

Setelah bernyanyi berulang-ulang kali. Ia mengambil botol soda terakhir, meminumnya sampai habis. Kemudian terdengar lagi suara tangisannya yang membelakangi.

"Aku tak tahu lagi siapa diriku, tetapi aku sendiri harus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan ini." (Sylvia Plath).

Terhuyung-huyung, ia kembali masuk ke dalam kotak kayu. Ditutup seperti semula. Lampu padam seketika, gelap. Terdengar suara langkah kaki, suara kotak kayu yang dipukul, suara gemericit engsel kotak kayu yang terbuka, suara teriakan seseorang yang disusul oleh kentungan dan teriakan-teriakan dari banyak orang.

"ADA MAYAT LAGI! SEORANG ANAK DALAM KOTAK KAYU!"

-SELESAI-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 10, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anak Kotak KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang