karena saya setengah miskin

1.9K 297 24
                                    

SAYA pernah punya teman sekelas waktu masih berada di sekolah menengah. Sejujurnya saya iri terhadapnya. Tidak, maksud saya, hati ini selalu panas dan menggerutu setiap kali indera saya melihat dirinya; orang yang sangat berada.

Harga telepon pintar bermerek miliknya yang setiap hari selalu digunakan untuk berfoto menggunakan kamera depan itu bisa jadi lima kali lipat dari harga ponsel butut saya yang hanya mempunyai jumlah tombol tekan dua puluh—dimana di setiap tempat tombol, ada angka yang merangkap abjad tiga-tiga (seperti; 2abc, 3def, 4ghi dan seterusnya). Harga sepatu saya saja—yang kini lapisan bawahnya hampir aus karena keseringan menyapu lantai—mungkin hanya tiga puluh persen dari harga sepatu milik teman saya itu. Begitu juga dengan harga-harga barang lainnya, milik saya mungkin hanya separuh harga dari yang selalu teman saya pakai setiap harinya.

Tapi tetap tidak ada yang bisa saya lakukan meskipun saya telah mengaku—dalam hati—saya iri terhadap teman saya itu. Teman saya ya teman saya; orang kaya. Saya ya saya; orang setengah miskin yang betul-betul setengah miskin (jangan kategorikan saya sebagai seorang yang benar-benar miskin secara materi karena buktinya saya pada waktu itu mampu membeli sepatu yang harganya sama dengan tiga puluh persen harga sepatu teman saya meskipun masih memoroti uang dari orangtua).

orang itu miskin tetapi kayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang