Orang-orang menyebutkan, bahwa seribu bangau kertas itu melambangkan kegembiraan, semangat, keberuntungan, dan kesembuhan. Setiap orang yang membuat seribu bangau kertas, maka Ia dapat mengajukan satu permohonan.
Jadi, aku akan membuatkan seribu bangau kertas untuk adikku yang sedang sakit keras. Ia mengalami gegar otak, selama satu bulan terakhir ini.
Seharusnya aku tidak ceroboh, dengan meninggalkannya sendirian di jalanan yang memang sedang ramai saat itu.Waktu itu, aku sedang mengajaknya mencari makanan di kedai-kedai pinggir jalan. Yah, kami adalah gelandangan cilik yang bertempat tinggal di bawah kolong jembatan. Tak memiliki Ayah, Ibu, keluarga, maupun kerabat. Adikku merengek, mungkin karena saking laparnya. Dari pagi hingga siang hari itu, kami belum makan sama sekali.
Sampai, aku melihat seseorang melambaikan tangannya ke arahku. Sebelah tangannya membawa sebuah bungkusan yang mungkin berisi makanan, karena ia baru saja keluar dari rumah makan di seberang jalan.
Kuhampiri orang itu dan mengambil bungkusan yang ternyata memang ingin diberikan kepadaku dan adikku. Ternyata benar isinya adalah makanan.Oh! Aku lupa dengan adikku. Segara saja aku berterima kasih dan pergi untuk memberi tahukan kabar yang menggembirakan ini.
Belum sempat aku melangkah, kudengar suara duak! yang sangat keras. Seperti suara mobil yang menabrak sesuatu. Kupercepat langkahku menuju kerumunan orang di tempat aku meninggalkan adikku tadi. Betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa adikkulah yang menjadi pusat kerumunan itu. Banyak darah keluar dari kepalanya.
Kurasakan mataku mulai berat, dan tubuhku semakin ringan. Setelah itu, semuanya gelap. Aku tak sadarkan diri.
***
"Kak, kakak ingat dengan burung-burung kertas yang selalu dibuat ibu?" tanya adikku.
"Ya, kakak ingat. Memang ada apa?" tanyaku sambil mengelus kepalanya.
"Aku ingin sekali melihat burung-burung itu lagi," jawab adikku dengan pandangan menerawang.
"Ah, iya. Kakak berjanji akan mewujudkan semua itu."
Aku berjanji pada adikku untuk membuatkannya seribu burung bangau kertas.Akan kuwujudkan mimpinya. Barangkali, dengan membuatnya bahagia, Ia akan lebih semangat untuk lekas sembuh.
Seperti biasa, pagi ini aku akan pergi membeli sarapan untuk kami berdua. Sarapan seadanya memang, tapi cukuplah untuk mengisi perut kami yang sudah kosong sejak kemarin sore.
"Baik-baik. Kakak akan segera pulang." Setelah membersihkan badan, segera saja aku pergi keluar untuk mencari kedai atau warung yang dengan senang hati mau memberikan sedikit makanan untukku.
Kini, aku sudah berada di pinggir jalan Raya. Lima ribu rupiah, hanya itu uang yang aku miliki. Uang itu kudapat dari hasil mengamen kemarin. Kudatangi sebuah warung makan yang lumayan ramai pengunjung. Semoga pemiliknya bersedia memberiku makanan dengan uang yang kupunya.
Sebungkus nasi sudah kudapatkan. Sekarang, aku harus pulang terlebih dahulu agar aku bisa makan dengan adikku.***
Selesai makan, aku akan pergi untuk mencari uang. Kuharap, hari ini aku bisa pulang dengan membawa uang serta nasi.
"Kakak, cepatlah pulang," kata adikku. Ia terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Oh, aku sangat khawatir dengan keadaannya.
"Iya. Sabarlah, nanti kakak akan membawakanmu nasi untuk kita makan." Kuberikan sebuah bangau kertas yang kubuat dari bungkusan nasi tadi. Langsung, senyuman terukir di wajahnya.
"Terima kasih, kak."
"Tak masalah. Lekaslah sembuh," kataku sambil mengecup keningnya. Ia mengangguk, lalu meletakkan bangau kertasnya bersama beberapa yang lain di meja sebelahnya.
Aku hanya bekerja seadanya. Yang penting, bukan dengan mencuri dan meminta-minta.
Di jalan, aku bertemu dengan seorang anak yang sepantaran dengan adikku. Ia menangis di pinggir trotoar seorang diri. Langsung kutemui dia,
"Adik disini sama siapa?" anak itu masih menangis. "Adik mau permen?" Ia diam sebentar, kemudian perlahan mengangguk. Siapa anak kecil yang akan menolak permen? Kuberikan 2 buah permen sisa tadi pagi. Kemudian, anak itu menyebutkan sebuah nama. Lala. Mungkin itu namanya.
"Lala!" teriak seseorang dari belakang kami. Ternyata suara itu berasal dari seoran perempuan yang kutebak sebagai ibu dari anak ini. Ya, dia adalah ibu dari anak kecil ini. Kami membicarakan banyak hal, selayaknya orang yang sudah kenal cukup lama.
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Ia pamit untuk pulang.
"Terima kasih, nak. Entah apa yang
terjadi jika kamu tidak menolong anak saya. Ini untuk kamu," ujar ibu itu, seraya menyodorkan sejumlah uang untukku."Tidak, bu. Saya ikhlas menolong Lala. Tapi, mungkin Lala bersedia untuk membantu saya membuatkan bangau-bangau kertas untuk adik saya." Anak di sampingku itu tersenyum, tanda bersedia.
***
Kupercepat langkahku, ketika kudapati banyak orang berada di tempat tinggalku. Semoga saja tidak terjadi hal buruk terhadap adikku. Namun, takdir berkata lain.
Sesampainya di dalam, kutemukan adikku sudah tak bernyawa. Terbaring kaku di tempat tidurnya. Tak terasa, air mataku menetes, tangiskupun pecah. Beberapa orang mulai menggotong mayat adikku.
Tak kusangka, Ia akan pergi secepat ini. Tapi, aku harus tetap tabah dan ikhlas dengan semuanya. Satu hal yang membuatku merasa lebih tabah, adikku pergi dengan senyuman di wajahnya.
Pemakamanpun segera dilakukan.
"Sabar, ya kak. Bagaimana kalau nanti kita buat banyak burung kertas untuk adik kakak?" kata Lala.
Ya, aku harus mewujudkan impian terakhirnya, membuat seribu bangau kertas. Kubulatkan tekadku ini, demi adikku.
"Tapi, sekarang kakak sudah tidak punya siapa-siapa lagi,"
"Tidak, kamu masih punya keluarga, nak. Kami." Ucapan ibu itu membuatku sedikit tak percaya. Padahal, baru sebentar kami bertemu.
"Ibu tahu, kita baru saja bertemu. Ibu percaya padamu, lewat ceritamu tadi. Sungguh, kamu adalah anak tangguh yang tak kenal pantang menyerah. Maukan, kamu menemani kami berdua?"Apakah ini nyata? Tapi, aku selalu percaya bahwa Tuhan telah merencanakan yang terbaik untuk hamba-hamba Nya. Kuanggukkan kepalaku. Ada rasa bahagia yang memenuhi diriku.
"Iya, ibu."***
Hallo, Readers! Jangan lupa voment nya ya. 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story
Short StoryKalian tahu? Bahwasanya setiap orang pasti memiliki paling tidak satu pengalaman paling berkesan dalam hidup mereka. Dan terkadang mereka menyampaikan kejadian-kejadian tersebut lewat sebuah tulisan. Sama dengan inspirator dalam buku ini. Meny...