17 Days with Aldebaran -1

56 2 0
                                    

[][]


Hari ke-1

Sesosok pemuda terlihat duduk bersila di atas kursi balkon kamarnya, matanya menatap langit kelabu yang sejak beberapa jam lalu menumpahkan rintikan air hujan ke rumput halaman rumahnya. Senyum tipis terukir di wajahnya, matanya yang sayu membuatnya terlihat sedikit pucat. 

Namanya Deannova Aldebaran, seorang pelajar sebuah sekolah menengah atas di kota Yogyakarta. Di umurnya yang baru saja menginjak 18 tahun, dia sudah tinggal sendirian, jauh dari keluarga. Tak ayal, kegiatan merenung di balkon kamarnya menjadi salah satu kegiatan favorit saat berada di rumah.

"Dingin," ucap Dava pelan seraya mengambil ponsel di meja sebelahnya.

Terlihat ratusan pesan muncul dari grup kelas dan sekolahnya. Matanya mendelik melihat sebuah nama di baris teratas, Dava segera menekan tombol telepon pada roomchat tersebut.

"Dava, kamu dimana?!"

"Aku masih di rumah, sebentar lagi aku kesitu, tunggu hujan reda, ya?"

"Enggak. Jam 10 harus udah sampai, aku enggak mau tahu."

"Iya," ucap Dava lirih.

Dava langsung mematikan telepon itu. Andai perempuan yang baru saja ia telepon bukan kakak sepupunya mungkin Dava sudah memblokir nomor itu. Pemuda itu segera beranjak masuk ke kamarnya. Tak mau ambil risiko terkena jitakan maut dari kakak sepupunya, Andin.

[][]

Gadis itu terlihat duduk sendirian menikmati secangkir kopi ditemani sebuah buku novel tebal yang memiliki 470 halaman. Tangannya sesekali mengusap lengannya yang kedinginan akibat rintik hujan yang beberapa saat lalu membasahi tubuhnya. Matanya bergerak lincah membaca kata per kata kalimat demi kalimat di buku kesayangannya, entah apa yang membuat gadis itu tak pernah bosan membaca novel yang sama berulang kali. 

Sesekali ia menyeruput kopi yang sisa setengah cangkir. Dia Arzeva, pecinta astronomi, kegiatan favoritnya saat musim hujan adalah membaca buku novel dan ensiklopedia astronomi sedangkan saat musim kemarau ia memburu berbagai gugus bintang dan rasi bintang yang bertaburan di langit malam.

Suara pintu masuk di buka mengalihkan perhatian gadis itu dari buku tebalnya, matanya menajam mengamati sosok pemuda tinggi yang baru saja memasuki cafe. Matanya mengikuti pergerakan pemuda itu sampai pada akhirnya pemuda itu duduk menghadap seorang perempuan yang Zeva taksir berumur 20 tahun-an. Zeva masih mengamati pemuda itu, pemuda yang cukup tampan, memiliki tinggi sekitar 175 cm dengan rambut hitam dan mata setajam elang. Zeva sebenarnya tidak mengamati fisik pemuda itu, ia lebih fokus pada apa yang dipakai pemuda itu, tas dan jaket dengan corak gugus bintang Pleiades.

Zeva menggigit bibir bawahnya takjub dan gemas melihat tas lucu itu, ia sungguh ingin memilikinya.

"Aku ingin tahu dia membeli tas itu dimana," ucap Zeva lirih.

Zeva berpikir keras menentukan keputusan. Ia berada di tengah keputusan antara mendatangi pemuda itu dan langsung bertanya mengenai dimana membeli tas itu atau menunggu pemuda itu keluar dari cafe baru menghampirinya. 

Pilihan pertama sungguh menguntungkannya apabila ia dapat mengetahui dimana membeli tas gugus bintang itu tanpa menunggu waktu lama, tetapi harga diri dan rasa malunya masih ia pikirkan saat ini. Pilihan kedua dapat menjadi keputusan, namun melihat keefektifan waktu jelas saja Zeva tidak memiliki banyak waktu menunggu pemuda itu keluar, apalagi ini hari Sabtu dan awan masih menumpahkan airnya, kebanyakan orang akan berlama-lama seraya menunggu hujan reda.

17 Days with AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang