Part - 1 : Rendezvous

5 0 0
                                    

Setelah tiga setengah jam pesawatnya take off dari bandara Pattimura, Boeing 737 akhirnya berhasil landing dengan sempurna di Bandara Soekarno Hatta Terminal 3 Ultimate. Anya sudah tujuh tahun tidak bertandang ke Jakarta. Bukannya terlalu cinta tanah kelahirannya namun serupa dengan manusia pada umumnya, mereka merasa terlalu bising dengan kehidupan Jakarta.

Anya memicingkan matanya, terminal 3 Ultimate betul-betul terasa asing baginya. Sekalipun langkahnya sudah termasuk lebar daripada perempuan pada umumnya, namun gedung itu sangat terasa luas bila dibandingkan Bandara Pattimura.

"Excuse me.." Lelaki itu berusaha melewati Anya sambil mengucapkan bahasa Inggris berlogat Jawa kental. Sepertinya terburuburu. Anya memang tak terlihat seperti warga Indonesia pada umumnya. Perawakan yang tinggi semampai dengan rambut terurai warna blonde ditambah lagi perpaduan mata berwarna biru benar-benar terlihat seperti turis.

Koper yang hanya satu sudah diseretnya. Anya berusaha menemukan kata Exit, pertama kali dilihatnya papan petunjuk lokasi penjemputan. "Ah siapa yang akan jemputku?"

"Anya??" seorang lelaki bertubuh tegap menatapnya dengan penuh keraguan.

"Betul. Siapa ya?" tanya Anya sambil menscan lelaki itu dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. "Klimis dan perlente". Dua kata itu yang ada di benak Anya dalam tatapannya sekilas.

"Ini saya, Robert!! Kawan sekelas dulu waktu SD! SD lima belas kan?" sahutnya penuh semangat.

"Ohhh Robert anaknya pak Camat??" sergah Anya sambil tertawa renyah.

"Betulll... Tuh ingatt," sambil mengulurkan tangannya. "Robet, anak pensiunan pak Camat, sekarang Bapak sudah pensiun" sambungnya.

Anya pun membalas uluran tangan Robet. Mereka pun berjabat tangan. Setelah tiga belas tahun lamanya tidak berjumpa.

><*><*><*><

"Anya ke Jakarta mau ke tempat siapa? Makan dulu yuk sambil ngobrol." ajak Robert.

"Ke Jakarta ya karena ada urusan." Jawab Anya singkat. Kali ini sudah mulai tidak nyaman dengan ajakan Robert teman semasa kanakkanak. "Lagi buru-buru nih."

"Kalau kamu buru-buru ayuk aku antar. Daripada naik Damri. Lama loh." Robert yang tadi di awal pembicaraan dengan menggunakan kata ganti saya sudah berubah menjadi aku. Aku - Kamu. Kata sebutan yang dahulu dipergunakan.

Kalimat Robert ada benarnya. Ajakan itu sebenarnya sangat menggoda Anya. Tak perlu mengeluarkan energi lagi untuk meningkatkan tingkat kewaspadaan di ruang layanan public. Tapi tiga belas tahun bukan angka yang singkat. Bagaimana kalau Robert sudah tunangan, punya pacar. Atau malah sudah menikah? Memiliki paras cantik membuat Anya extra hatihati.

Kalau saja orang lain melihat mereka berdua. Sudah pasti Anya dan Robert disangka sepasang kekasih.

><*><*><*><

"Anya, rencana berapa lama di Jakarta?" di dalam mobil yang boleh dikata tidak bisa melaju dengan kencang lantaran macet.

"Hanya dua minggu sepertinya. Kenapa?" tanya Anya.

"Oh singkat sekali... Kupikir kamu akan lama di sini atau malah akan berkerja di sini." jawab Robert.

"Anak sudah berapa?" tanya Anya singkat namun telak.

"Wah kamu ini sudah berbeda sekali dengan Anya yang dulu ku kenal. Kamu sekarang berani tanya blakblakan ya?" Robert berkelakar.

Di dalam hati Robert, dia mengatakan, "Yess!! Let's we talk about our personal life Anya... ."

"Belum kok. Pacar saja belum ada. Beneran. Di Jakarta cari cewek cantik banyak. Tapi yang benar-benar match itu susah. Kebangakan tidak nyambung dan manja-manja. Egonya tinggi." Cerocos Robert.

"Kamu kalau butuh orang buat nemenin takut nyasar gampang kok. Ada abang Obet di sini. Tidak usah sungkan. Anggap saja kayak dahulu, boncengin kamu ke mana-mana."

Anya malah sibuk menatap ke depan. Bangunan besar dan gedung-gedung yang tinggi membuatnya sedikit gamang. Anya membenahi rambut ekor kudanya. Robert sempat melirik sesaat. "Duh.. betapa kecantikan yang maha sempurna di sebelahku ini."

Sebetulnya Anya agak gambling ke kota besar ini. Anak ansos alias anti sosial ini lebih banyak melakukan segala sesuatunya sendiri. Bahkan cari uangpun dia lebih suka sendirian tanpa melibatkan banyak orang. Karena lelah saja Anya lebih memilih tebengan gratis dari kawan lamanya. Daripada abang ojek online yang suka kepo tentang ini itu. Ataupun bis damri yang tak bisa menyelinap lincah di antara kemacetan.

Dari tadi Anya agak gelisah. Anya berulang kali membuka kunci ponselnya dengan memainkan jarinya di belakang ponselnya. Lalu dikunci lagi dengan tombol power. Lalu dibuka lagi. Begitu seterusnya. Hingga timbul suara yang khas.

"Suara apa sih itu?" tanya Robert memecah kesunyian. Sebetulnya di mobil inipun tidak terlalu hening. Ada suara dari player mp3 yang memenuhi mobil Innova Venturer warna hitam ini.

"Iseng hehehehhe," jawab Anya tengil.

AnyaWhere stories live. Discover now