Apakah benar bintang yang bersinar di langit itu adalah mama yang sedang menatapku?
Entahlah. Itu adalah bagian dari dongeng pengantar tidur yang sering ia bacakan. Mama pernah bercerita bahwa gemintang berkedip merupakan ekspresi peri-peri kecil yang sedang bermain di istana langit yang temaram.
Aku menyukai malam. Karena tak kutemukan gemerlapnya hamparan bintang ditemani rembulan saat siang menyingsing fajar, kalah oleh mentari yang terik bersinar. Meski langit kosong sejauh mata memandang, aku yakin bahwa bintangku masih bersinar walau lensa mata ini tak sanggup menjangkau.
Tapi itu dulu, sebelum hari-hariku hanya berisikan lembaran hitam nan gelap. Aku tahu itu bukanlah malam yang dilapisi awan pekat, saat teriakan panik menggelegar. Hilir mudik langkah kaki menyelematkan diri, bertarung dengan waktu menghindari malaikat maut yang mungkin menampakkan rupa.
Headline news harian surat kabar menyebutnya dengan istilah gempa bumi. Meski apa yang kulihat tak sesederhana yang dipaparkan oleh wartawan televisi swasta. Goncangan hebat itu meluluhlantakkan kotaku tercinta, merusak rumah beserta ayunan kesayanganku serta merenggut semua impian dan harapan.
Jasad papa tertimbun reruntuhan bangunan belakang rumah. Mama juga ditemukan bersimbah darah mendekap anak bungsunya yang masih balita. Sejak itu aku mulai mengutuk takdir, mengapa mama harus mengorbankan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan adikku.
Sia-sia, karena satu-satunya keluargaku yang awalnya sempat selamat pun harus meregang nyawa di tenda kecil yang disulap menjadi rumah sakit darurat setelah bertahan lima jam lamanya di sana.
"Hayo. Melamun lagi ya," tegur bunda membuyarkan ingatanku akan memoar dua tahun silam.
Segera kututup kliping lusuh yang terbuka. Tampak tulisan besar yang menghiasi halaman depannya, "Gempa Bumi Bengkulu, Tanah Rafflesia Berduka".
"Engga kok Bunda. Cuma kangen saja dengan mama, papa dan adik-adikku. Pasti si bungsu sudah sebesar Sintia sekarang, sedang lucu-lucunya," jawabku sembari mengusap pipi yang basah.
"Yenni yang sabar ya. Bunda yakin mereka sekarang berada di tempat terbaik di sisi-Nya. Jangan lupa salat dan doa," tutur wanita paruh baya yang tampak mengenakan untaian kalung salib di lehernya.
Bagiku inilah rumah kedua. Setelah kejadian kelam yang memporak-porandakan sebagian besar kotaku, aku dikirim ke panti sosial ini. Aku lebih senang menyebutnya istana harapan, karena di sini semua asa yang terpendam bersama reruntuhan bangunan itu mulai tumbuh berkembang.
Istana harapan ini dihuni oleh setidaknya dua puluh anak yang nasibnya kurang lebih sama denganku. Ada tiga orang pengasuh yang menjaga kami, salah satunya wanita yang kupanggil dengan sebutan bunda tadi.
Sosoknya yang penyayang lambat laun mulai mengisi lubang yang ditinggalkan mama. Amat penyabar, menjaga kami layaknya anak kandung sendiri. Tangannya seakan-akan terbuat dari kelembutan dan membuat kami tidur nyenyak di sana.
Meski ia adalah seorang kristiani, namun ia tak pernah lupa membangunkan kami yang beragama islam untuk salat subuh saat sang fajar datang.
"Tak ada paksaan dalam beragama, Sayang. Semua sama di mata Tuhan, tolong menolong dalam bingkai kemanusiaan. Puji Tuhan, kita tak pernah saling bersinggungan," sahut bunda saat kutanyai mengapa ia tak pernah mengajakku ke gereja untuk kebaktian di setiap akhir pekan.
Ia banyak bercerita tentang kehidupannya yang tak lebih beruntung dari orang kebanyakan. Menikah di usia muda dan mengharuskan berstatus janda lebih cepat usai suaminya meninggal karena over dosis obat-obatan terlarang. Anak yang dikandungnya keguguran serta harus terusir dari rumah yang harus digadai karena lilitan hutang.
YOU ARE READING
BUKAN BUNDA BIASA
Short StorySalah satu cerita yang diambil dari Buku Kupulan Cerpen karyaku bertajuk "Menjemput Akhir", Tentang hakikat cinta dari sosok malaikat bertajuk ibu, pencarian makna kasih sayang berwujud pengorbanan dan perjuangan untuk orang yang berharga