Bapak, saya datang lagi, lewat surat ini. Kali ini dengan membawa satu kilogram tembakau. Ini yang terbaik Bapak. Saya beli di sebuah toko di kota, lima puluh ribu rupiah satu kilonya. Saya juga kirimkan selembar sarung, biar bapak bisa pakai waktu kenduri.
Oh, masih ada satu lagi Pak, semar mendem dengan telor asin ditengahnya. Saya tahu Bapak suka sekali semar mendem, dinikmati sore hari waktu menonton berita di TV.
Bapak baik - baik saja bukan? Uang kiriman saya Bapak terima semuanya?
Setiap bulan, setiap tanggal sepuluh saya selalu pergi ke bank, BRI, seperti permintaan Bapak. Sebetulnya di kota banyak sekali bank lain,yang petugasnya lebih ramah. Tapi yah tidak apa apalah. Seperti kecap yang selalu ABC, bapak tidak mau bank lain selain BRI.
Saya juga sudah tanyakan pada Laila, apa benar dia mantap menikah lima bulan lagi. Uangnya sudah saya siapkan, juga perhiasan ibu yang masih saya simpan. Pernah ibu berpesan, kalau Laila harus pakai semuanya di hari pernikahannya. Dia tidak ingin keluarga kita mendapat malu karena tidak mampu mendandani anak perempuan satu - satunya.
Bukan anak perempuan saja bapak yang Cuma satu. Yang lelaki juga, saya. Tapi saya telah membuat malu bapak ibu. Kalau saja saya boleh memilih Pak, lebih baik saya tidak pernah dilahirkan saja. Bukan
maksud saya menolak bapak ibu sebagai keluarga, tapi supaya bapak ibu tidak malu karena saya.
Apa lagi yang bisa saya lakukan Bapak, untuk menebus dosa? Semuanya sudah saya lakukan, tapi kenapa rasa bersalah itu masih tetap ada?
Beban ini tidak pernah hilang bapak, walaupun saya mati-matian menebusnya.
Masih jelas dalam ingatan saya, wajah bapak ibu ketika saya menolak anak gadis keluarga Burhanudin. Saya tahu keluarga itu sudah sangat berjasa bagi keluarga kita. Saya bersedia lakukan apa saja, tapi tidak bisa menikah dengan gadis manis itu. Hati saya sudah menjadi milik orang lain Pak, milik Mas Wawan yang sudah menancapkan jiwanya pada saya.
Saya bahagia Bapak, tapi tidak pernah sempurna. Perbuatan baik saya tidak akan pernah membuat bapak memberikan restu pada saya. Biarkan saya Bapak, menjalani rasa bahagia ini, dengan beban di hati, sampai restu bapak datang.p.s.
kalau bapak perlu apa-apa, beritahu saja pada Laila. Dia yang akan menyampaikan pada saya.Wilujeng Pak, Abdi
YOU ARE READING
Surat Buat Bapak
Short StorySurat Abdi untuk Bapak tentang dia yang terbuang dari keluarga