Escape

89 3 0
                                    

Setahun sejak kejadian itu Jian melarikan diri ke New york, mencari mimpi lain disana. Kematian Jeon Jungkook adalah hal paling gila yang pernah terjadi di hidup Jian, memborbardir hidupnya menjadi tak tentu arah. Mengubah hari Jian menjadi lebih kelam seperti; mendung kala hujan turun atau bahkan lebih buruk dari itu. Tapi saat dimana titik paling sulit dalam hidupnya itu semakin menggulitinya, dia akhirnya memilih melarikan diri; ke kota asing New york. Memulai semuanya dari awal-berharap mimpi buruk setahun yang lalu tenggelam tanpa sisa.

Song Jian tumbuh di pahat oleh kehidupan keras kota New york bekerja gila-gilaan sambil berkuliah membuatnya tidak punya waktu-sejenak melupakan bagaimana gilanya dia setahun sebelumnya. Namun di saat dia di telan kesendirian-luka itu semakin terbuka lebar. Jian belum benar-benar bisa berdamai dengan lukanya-Kisah cinta pertamanya yang tragis.

Bersyukur dia bisa dihadapkan dengan berbagai kesibukan sehingga dengan mudah pikiran-pikiran melelahkan itu tidak mendatanginya. Dia kini berkerja di salah satu Cafe di pinggir balai kota New york. Soal gaji, itu cukup memenuhi segala kebutuhannya, namun dia tidak pernah menolak jika Ibunya mengirimkan jatah bulanan dari Seoul.

Tidak-tidak ada satupun yang diperbolehkan datang ke New york; Ibu ataupun Taehyung. Pria itu selalu bertanya pada ibunya tentang keberadaan Jian. Rasanya saat ini Jian sedang di pengasingan-itu saja, dia tidak butuh siapapun pasalnya orang yang saat ini dia butuhkan sudah pergi terlalu jauh-hingga membuatnya sangat menderita.

"Jian, are you sure close cafe'?" Jian tersentak dari pikirannya, kemudian beralih dari kaca berembun di depannya, lalu mendapati seorang wanita berdiri disampingnya dengan riasan tebal-tak habis pikir usia wanita itu sudah masuk kepala empat tapi dandannya serasa  berumur 20 tahun. Dia itu Maddame Vince-Manager Café tempat Jian berkerja.

"Sure Maddame. You can leave early".

"Okay Ji. Bye" Madamme Vince melambaikan tangan ke arah Jian setelahnya menghilang tertelan pintu café'. Jian kini sendiri. Perlahan tapi pasti dia kembali merenung, masih berdiri di depan kaca Café' yang berembun sejak satu jam lalu.

Jung, seharusnya kau tidak pergi.

Jian mengerjap. Cukup, jika di teruskan mungkin dia akan menangis lagi. Akhinya dia pergi ke meja kasir mengambil tas selempangan hitam dan lalu memakai coat merah menyala miliknya yang tadi tergantung di kursi dekat kasir. Kemudian dia mematikan satu-persatu lampu café lalu keluar-otak cemerlang tidak akan melupakan untuk mengunci pintu café'. Namun disaat bersamaan hujan dengan lebatnya turun, Jian berbalik kemudian mendengus-dia menyesal seharusnya dia bawa payung tadi pagi.

Maka satu-satunya opsi yang dia punya hanya menunggu di depan Café, bersender di salah satu tiang penyokong café' berharap hujan cepat selesai. Kalau misalkan tidak berhenti juga dalam tiga puluh menit-nekat dia akan mandi hujan malam ini, masa bodoh dengan basah dan flu.

Nyatanya terjebak hujan di depan cafe' bukanlah perkara baik-sekarang dia malah memikirkan hal yang tidak-tidak seperti tadi. Sesaat Jian merapatkan coat merah menyalanya berharap dingin bisa sedikit terhalau namun percuma gadis itu makin merasa hawa dingin menusuk hingga ke tulangnya.

Dia jadi punya harapan kini, dia berharap Jungkook memeluknya-mungkin akan sedikit hangat nantinya. Dia tersenyum getir kenapa harapan selalu saja mengukungnya. Kala hujan turun seperti ini dia selalu berharap Jungkook ada disisinya. Saat matahari terbit maupun terbenam Jian ingin Jungkook tersenyum penuh arti padanya. Saat sebelum tidur dia berharap pria itu mengusap puncak kepalanya lalu mengecupnya barangkali di dahi, pipi atau bibirnya terserah di manapun asal itu dari Jungkook.

"Song Jian,"tiba-tiba suara manis itu mengalun begitu indah di telinga Jian, gadis itu mendongak menemukan sosok lain bersebrangan dengannya.

"Jungkook."Jian tersenyum getir, matanya sibuk memandang pria yang berjarak dua langkah darinya itu. Tenang bersandar di salah satu tiang Cafe sama sepertinya. Pria itu memakai coat hitam legam dengan surai dibiarkan acak, Jian sedikit berharap kalau-kalau tangannya dapat memperbaiki tatanan rambut itu, tapi kesadaran segera menimpanya mengingat bahwa pria itu hanya ilusinya semata.

"Kau lupa bawa payung? Ku tebak sepertinya hujannya akan lama,"Jungkook menatap cemas ke arah langit, telapak tangannya sengaja menampung beberapa riak air yang jatuh dari kanopi cafe'.

"Jeon kau tak nyata!"

"Tidak. Aku ini nyata Jian"pria itu menggeleng lalu tersenyum penuh ke arah Jian, sedang Jian masih terpaku di tempat-dia rindu pria itu.

Tidak-tidak kau sudah tiada. Kau sudah pergi sangat jauh dariku, meninggalkanku.

"Kamu sudah lama pergi Jung."

"Sadar atau tidak, kau selalu tahu aku tepat di sisimu. Kau saja yang lupa atau benar-benar mencoba tak ingat"kata Jungkook lalu tertawa kecil, Jujur Jian rindu tawa itu.

"Kamu tahu aku menderita?"

"Kamu hanya tidak mencoba berdamai dengan masa lalu Song Jian"

"Aku muak Jung. Kau meninggalkanku dan aku dengan bodohnya tak bisa melupakanmu barang sedetik pun!!"Jian akhirnya tidak bisa menahan diri.

"Kenapa kau harus melupakan-ku?"retorik sekali.

"Kau bodoh atau apa!?."Jian mendesah keras, dia terlalu kalut. "Aku benci kau Jungkook sangat"

Jian menatap Jungkook, tidak ada lagi kata yang keluar dari bibir pria itu. Hanya netra hitam itu yang sibuk menatapnya-Jian tahu sebentar lagi air matanya akan tumpah-mengapa ilusi itu tidak bisa jadi nyata saja. Tuhan terlalu jahat karena mengirimkan illusi yang bahkan tidak pernah bisa Jian rengkuh.

"Aku mencintaimu Jian dan akan selalu begitu"kata Jungkook pelan. Layaknya mantra Jian langsung terjatuh. Air mata yang tertahan sejak tadi jatuh begitu saja mengalir di pipinya. Kata itu yang akan selalu membuatnya terkurung, terikat dan tak akan bisa lari dari kenyataan bahwa meskipun dia terluka hatinya tetap mencintai Jungkook. Jian berlari, ingin merengkuh pria itu masa bodoh jika itu ilusi ataupun hanya bayangan, yang terpenting Jian hanya ingin membaur di pelukan hangat Jungkook, hanya itu.

Jian tersenyum sangat senang nyatanya tuhan bisa sedikit baik malam ini hingga bisa membuatnya memeluk Jungkook. "Kau terasa nyata!"gumam Jian mengeratkan pelukan.

"Aku akan selalu nyata. Kalau kau biarkan aku tetap tinggal di otak cantikmu"

Ilusi yang menjebak, tapi aku menyukainya. Masa bodoh di bilang tak waras atau apa, ini seribu lebih baik ketimbang hidup monoton di tengah kota sialan ini.

"Ji"

Jian mendongak mendapati wajah tampan itu tersenyum hangat padanya.

"Bisakah kau tidak melarikan diri lagi. Ibumu-Taehyung dan lainnya selalu menunggu. Aku hanya tidak ingin kau mati kesepian disini"

"Kan kau ada"

"Ji sadar. Aku memang nyata tapi tidak lagi hidup. Aku hanya bisa mengawasimu dari jauh"

"Aku tak mau Jung. Jika tak ada kau, aku tak ingin kembali"

"Ku mohon Ji"

"Aku-ragu Jung"

"Kau harus kembali. Berhenti melarikan diri. Ada bagian diriku disana yang menunggumu". Jian terdiam sesaat sibuk berpikir makna dari ucapan Jungkook.

Drrrrttttt.....drttttt.

Perhatian Jian teralih, nada dering telpon menunggu untuk diangkat. Jian melepaskan pelukan itu lalu mengambil ponsel di tas selempangnya, namun saat Jian menoleh kembali gadis itu tak mendapati Jeon jungkook disana, ilusi itu sudah pergi- cepat sekali.

Jian kemudian menunduk melihat layar ponselnya. Di sana tertulis nama ibunya. Jian segera mengangkatnya, mungkin saja ada perihal penting yang akan ibunya sampaikan-Mungkin.

"Halo"

"Song Jian"

"Iya bu"

"Aku ingin mengabarimu satu hal. Mungkin akan sulit untukmu"suara ibu terdengar agak cemas di sebrang sana.

"Kenapa bu?. Katakan!,"

"Ibu Jeon Jungkook sedang sakit keras dan dia menyerahkan hak asuh anak Jungkook padamu"

"Apa!!?"

"Dia ingin kau merawat Jeon Kano." Jian termenung membiarkan telpon tetap memekik ditangannya-tidak berniat langsung mematikannya, dia sadar bahwa ilusi Jeon Jungkook yang di kirim tuhan barusan adalah pesan untuknya kembali. []

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 27, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

EscapeWhere stories live. Discover now