Sabtu #1

753 1 0
                                    


Beliau menghampiriku yang sedang duduk di beranda rumah bersama earphone dan handphone.

"Bosan ya?"

"Hehe...iya."

Tiba-tiba potret kenangan itu muncul. Sejak kecil tidak bersama mereka. Bahkan rapor ku tidak pernah diambil oleh Bapak atau Ibuku. Akhir semester menjadi libur yang istimewa. Kurang lebih dua minggu akan aku habisakan bersama mereka. Meskipun hari libur mereka hanya satu minggu sekali dan tidak pasti itu hari Minggu.

Tapi sore itu aku menjawab pertanyaan Bapak dengan kata iya. Tentu saja itu bukan jawaban yang sejujurnya.

"Ya ga apa-apa, tetap sabar dan berdoa, semua hasil tidak menghianati usahamu. Sekarang Tuhan memberikan kesempatan ke Bapak sama Ibu buat ngganti waktu yang dulu kami korupsi darimu."

Mungkin bagi orang tua milenial, aku adalah contoh produk nyata dari gagalnya pendidikan dini yang disertai kasih sayang utuh dari kedua orang tua. Anak yang tumbuh dengan psikologis  yang berbeda. Dulu waktu Bapak pulang, aku kelas empat Sekolah Dasar. Beliau mengajakku pergi bertemu seseorang dengan jas berwarna putih. Aku tidak ingat apa saja percakapan mereka dan apa saja yang dia tanyakan kepadaku. Kemarin, waktu aku membereskan kamar, aku menemukan rekam medis atas namaku.

Ternyata, dulu, kata psikolog, pertumbuhan psikologisku akan sedikit terlambat dari usiaku. Benar. Tetapi, lingkungan mengajarkan dan menuntutku untuk dewasa, berpikir rasional dan tidak kekanak-kanakan. Mungkin tidak banyak yang menyadari atau bahkan tidak ada yang menyadari bahwa aku tidak normal. Karena itulah aku tidak pernah menangis di depan Bapak dan Ibu atau siapa pun. Seandainya pun aku menangis, itu berarti aku sudah tidak bisa lagi berpura-pura  bahwa aku baik-baik saja. Aku menyembunyikan segala emosi yang ada.

"Hehe..iya Tuhan baik banget sama aku."

"Tuhan tidak selalu memberikan apa yang kita minta, kan Dia lebih tau yang terbaik, semua yang terjadi adalah misteri, tinggal gimana kamu mensyukuri setiap tarikan napas dengan oksigen yang gratis."

Adzan berkumandang. Syukurlah, Bapak tidak sempat melihat putrinya menangis. Karena yang aku tahu, Bapak akan selalu merasa menjadi Ayah yang buruk setiap kali aku terlihat sedih atau murung. Dan itu sangat menyakitkan untukku. Selama 22 tahun aku menjadi putrinya, hanya sekali beliau membentakku. Aku sudah lupa karena apa. Yang aku ingat hanya aku langsung mengunci diri di kamar. Saat itu aku Sekolah Dasar. Esok paginya saat aku keluar untuk bersiap ke sekolah, Bapak meminta maaf padaku, memelukku, dan menjelaskan kenapa beliau marah.

"Kamu ga nyaman ya cerita sama Bapak? Iya, ini memang salah Bapak dan Ibu. Dulu meninggalkanmu."

Langkahku terhenti. Aku menyeka air mata. Terdiam.

"Bapak sama Ibu paham, kalau kamu tidak merasa dekat dengan kami. Bapak tidak menyalahkanmu menjadi pendiam seperti ini."

Air mata semakin deras membasahi pipiku. Aku kembali duduk.

"Pada akhirnya kami tau, banyak hal yang kamu lalui dan kamu selesaikan sendiri. Banyak proses yang tidak kamu bagi dengan kami meski itu berat ditanggung sendiri. Tuhan memberikan anak yang begitu menyayangi kami, yang tidak pernah mau orang tuanya bersedih ataupun susah."

"Pa, maaf, aku tidak baik-baik saja sekarang, maafkan anakmu, tidak sekuat yang Bapak dan Ibu pikirkan, maafkan aku banyak mengecewakan."

Sore itu, untuk pertama kalinya, aku menangis di pelukan Bapak. Ibu memandangi kami dari ambang pintu dengan mata sembapnya.

Sabtu bersama BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang