Kembali banyak terlintas cuplikan-cuplikan hidupku yang dulu. Mungkin karena sekarang aku banyak terdiam dan sendiri. Bukan karena aku tidak bisa bersosialisasi. Tapi merasa lelah dengan semua yang sudah aku jalani. Segala hal yang sudah berlalu terasa melelahkan bagiku. Terkadang aku merasa bahwa semua dalam diriku adalah kepura-puraan. Pura-pura normal misalnya.
Rasanya aku ingin mengulangi hidupku dari bangku Sekolah Dasar. Saat semuanya masih terasa jujur bagiku. Kalau diingat-ingat, aku adalah aku itu ketika Sekolah Dasar. Selepas itu, aku bukan lah aku. Aku hanyak seorang anak perempuan yang ingin dianggap normal oleh teman-temannya.
Dulu aku sakit. Kurang lebih tiga bulan aku tidak bersekolah. Beberapa Rumah Sakit sudah aku datangi, yang artinya beberapa Dokter sudah memeriksaku. Tapi aku tak kunjung membaik. Siang itu tiba-tiba aku meracau.
"Itu apa? Kok besar banget, bajunya putih, ada jubah dan rumbai-rumbainya. Siapa?"
Bapak berteriak, memanggil semua orang di rumah. Mereka mengelilingiku. Orang-orang disekitarku mulai menangis. Anak perempuan satu-satunya, cucu perempuan yang pertama, keponakan yang paling manja, baru kelas tiga Sekolah Dasar hampir kelas empat, dan bersiap menghadapi ajalnya. Mungkin itu yang ada di benak mereka. Semua membacakan Yasin untukku.
"Mana, yang mana, dimana?"
Kata Bapak sambil menangis dan memegang tanganku juga mengusap kepalaku. Aku menunjuk sosok di belakang Bapak. Tapi beliau tidak melihat. Sorot matanya bingung, menatapku penuh iba. Sosok itu yang berdiri di dekat tembok. Sampai sekarang aku masih ingat sosok itu. Dan sampai sekarang aku masih di kamar ini. Di kamar dimana aku melihat sosok itu dan orang-orang menangis mengelilingiku sambil berdoa ada pula yang melantunkan kalimat syahadat. Tidak terkecuali ibuku yang lemas seperti kehilangan tulang rangkanya. Mengingat hal itu, aku jadi ingin ketikan kelak sampai pada waktuku, ada seseorang yang menuntunku mengucapkan dua kalimat syahadat. Atau akan lebih baik dan bahagia jika saat nyawa sampai pada tenggorokan, aku ingat dan sempat mengucapkan kalimat itu dengan sendirinya. (Aamiin)
Tiba-tiba Bapak berbaring di sampingku."Kasurnya empuk, pantes betah di kamar."
Beliau memunggungiku.
"Kamu kepengin Bapak yang kayak apa?"
Aku kaget. Tidak tau kenapa beliau menanyakan itu. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku juga memunggungi Bapak.
"Bapak yang seperti aku, ga apa-apa?"
Rasanya tiba-tiba menjadi sangat marah. Terlintas di pikiranku, apa sih maksudnya Bapak-Bapak yang satu ini? Menanyakan hal yang lucu tapi menimbulkan emosi. Satu helaan napas panjang untuk menjawab.
"Emang aku bisa milih mau Bapak yang kayak apa?"
"Bisa."
"Kalaupun bisa, aku tetep milih Bapak yang kayak Bapak lah. Kalau Bapaknya bukan Bapak, berarti anaknya bukan aku."
Bapak membenarkan posisi tidurnya. Beliau menghela napas cukup panjang. Menarik selimut yang aku pakai.
"Bapak juga ga mau milih ah, ga mau punya anak yang lain selain kamu."
Aku semakin tidak tau apa yang ada dalam pikiran Bapak satu ini. Mungkin beliau lelah. Obrolannya aneh. Nyeleneh. Entahlah.
"Nanti kalau anakku bukan kamu, bisa-bisa dia sudah memaki-maki Bapak dan Ibu karena ga bisa nurutin semua kemauannya. Atau sudah kabur dari rumah dan pergi entah kemana, tidak mengakui kami lagi."
"Ya Allah paaaaaa, emang kalau anaknya bukan aku, terus anaknya Malin Kundang gitu, terus dikutuk jadi batu akiknya Bapak itu? Hmm."
Bapak tertawa. Dan aku sadar, mungkin itu adalah cara Bapak untuk berterima kasih padaku. Entah untuk apa, tapi itu yang aku pahami. Sungguh memang benar, bahwa cinta pertama seorang anak perempuan adalah Bapak. Itulah kenapa banyak orang menyarankan agar perempuan mudah jodoh maka perbaikilah hubungan dengan Ayahnya.
Bapak itu romantis. Tetapi penuh teka-teki. Tidak bisa begitu saja menangkap apa maksud dari setiap percakapan atau tindakannya. Banyak juga anak yang menganggap bahwa Ayahnya tidak menyayanginya hanya karena seorang Ayah tidak mengungkapkan secara terang-terangan. Padahal bukan mereka sebagai orang tua yang tidak sayang, kita saja sebagai anak yang tidak mau memahami mereka. Hanya mau dipahami dan dituruti kemauannya.
"Pa?"
"Hem?"
Untuk pertama kalinya, aku memberanikan diri mencoba membicarakan hal yang ada dalam pikiranku selama ini.