Saat itu, ketika Song Jian masuk ke dalam kehangatan di dalam pelukan Jeon Jungkook dengan Blue Salvia di dalam dekapan, gadis itu masih bisa mengingat semuanya dengan jelas. Bagaimana seorang Jeon Jungkook meyakinkan dirinya sendiri sekaligus Jian bahwa ia akan kembali. Pasti kembali.
Atau bagaimana Jian juga turut menunggu Jungkook dengan segenggam harapan yang dapat hancur dan hilang kapan saja karena memang tak ada jaminan pasti akan masa depan.
Mereka berdua bukan pihak yang berhak memiliki masa depan itu. Bahkan barang untuk lima menit ke depan, mereka tak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Aku pasti kembali.”
Bagi Jungkook maupun Jian, mereka tak tahu arti kalimat itu. Entah itu adalah sebuah janji, atau hanya kebohongan manis yang membalut ketakutan mereka agar keduanya terlihat lebih kuat.
Sederet kalimat dengan tiga kata itu rasanya menjadi satu-satunya pegangan dan harapan mereka untuk menutupi beribu ketidakpastian dan kegetiran yang memang sudah ada di antara mereka. Sekedar untuk memastikan, bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja di tengah kenyataan yang terbalik. Semuanya tidak pernah baik-baik saja.
Namun bersama dengan seluruh memori itu, Jian juga masih ingat betul bagaimana suara lembut Jungkook menyapa rungunya, begitu lirih bertanya, “Ji, kau percaya takdir?” Sementara gadis itu hanya menghadiahi pertanyaan Jungkook barusan dengan keheningan.
Jungkook terkekeh. “Ji, dengar. Aku tidak pernah berjanji tentang seperti apa nanti kita akan bertemu. Jika memang di dalam hatimu keraguan masih berbagi tempat dengan janjiku, maka setidaknya percayalah akan takdir.”
Sehingga sama seperti kayu yang perlahan lapuk dan hancur, begitu pula sepercik harapan yang masih digenggam erat oleh Jian. Membiarkan waktu menjadi satu-satunya yang mengubah harapan menjadi omong kosong, kini entah apa yang membawa langkah gemetar Song Jian menuju jembatan Sungai Han.
Lima tahun lamanya. Semenjak Jungkook berangkat untuk melanjutkan terapi, segalanya juga turut pergi. Tak ada lagi kabar tentang Jungkook, tentang Nyonya Jeon, bahkan Min Yoongi sekalipun. Semua pergi. Hilang.
Bahkan harapan yang mereka buat malam itu perlahan luntur dan sirna dimakan waktu.
Yang tinggal hanya satu: takdir.
Namun bagi Song Jian, seseorang yang telah dibuat menunggu selama lima tahun tanpa ada seberkas harapan di sela penantian, tak pernah mudah baginya untuk percaya akan sesuatu. Persetan dengan takdir. Jika Jian telah kehilangan kepercayaan akan Jungkook, bagaimana ia akan percaya akan takdir yang tak berwujud?
Tak ada lagi pegangan yang kokoh untuk Jian berdiri dan melanjutkan hidup. Tidak ada, selain railing besi dingin di tepi jembatan Sungai Han yang menghantarnya menuju kepergian. Jika Jungkook memang telah pergi, maka Jian tidak akan menunggu Jungkook kembali.
Sebaliknya, ia sendiri yang akan pergi menyusul Jungkook.
Jadi, bersama dengan kegelisahan, rasa takut, dan masihㅡJeon Jungkook di dalam hatinya, Jian membiarkan gravitasi mengambil alih segalanya. Pasrah ketika tubuhnya tak lagi memijak tanah atau melayang di udara, namun seakan dilahap oleh bekunya air Sungai Han. Memutuskan untuk menutup mata dan mengizinkan air menggantikan oksigen di dalam paru-parunya. Semakin menekan dadanya yang memang sudah sakit entah dari kapan.
Dan ketika kegelapan menginvasi dirinya, yang terbesit di dalam kepala Song Jian hanyalah sebuah janji baru, “Tunggu aku. Aku segera datang.”
--
Seoul, 2027.
Gadis yang tengah mengadu langkah kakinya dengan genangan air di jalan itu pernah mendengar, bahwa hujan adalah teman bagi seseorang yang kesepian. Rintiknya seakan ikut menangis ketika seseorang yang bersedih juga tengah menangis. Menyibukkan setiap insan untuk menutup diri tanpa harus peduli orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia : 命 Fate
FanfictionTerkadang, saat dirimu merasa tak ada lagi yang dapat dilindungi, atau saat hati berbisik bahwa tak ada lagi keyakinan yang menjadi alasanmu bertahan di sana, kau hanya harus percaya. Bukan pada kenyataan yang sedang melingkupi, atau pada masa depan...