Disclaimer: Asagiri Kafka
.
Cast: Edogawa Ranpo, Oda Sakunosuke, Osamu Dazai, Fukuzawa Yukichi.
.
.
Iris hijau menatap ke depan. Jalanan basah dilalui perlahan. Tangan kanan menggenggam erat payung hitam besar yang hampir membuat tubuhnya sepenuhnya tertutup, sementara tangan lainnya memeluk erat tas kecil yang tersampir di bahunya. Benda berharga, katanya. Tidak boleh rusak, basah, apalagi sampai terjatuh.
Hujan mengguyur sejak beberapa jam yang lalu. Dan ia menikmatinya. Berjalan-jalan di antara genangan air, seorang diri.
Ah, benar juga. Biasanya, hujan seperti ini adalah pertanda.
Ia menghentikan langkahnya. Sang detektif muda tahu, bahwa apapun yang akan terjadi nanti akan berhubungan erat dengannya. Tidak, bukannya ia sok jadi peramal. Hanya saja, biasanya intuisinya tepat.
"Kali ini, apa yang akan terjadi?"
.
Edogawa Ranpo adalah seorang detektif. Melihat kematian adalah hal yang terkadang jadi seperti satu rutinitas untuknya—walau sejujurnya, ia masih belum terbiasa. Kadang terpikir, satu hari nanti, bisa jadi ia ada di posisi yang terbunuh ataupun pembunuh. Tidak, bukannya ia berpikir kalau ia akan menjadi seorang pembunuh, hanya saja bahkan segala macam hal, di waktu-waktu ke depan adalah yang tidak terduga sama sekali. Toh, selama ini ia hanya menebak, berdasarkan banyak hal, dan kebetulannya selalu benar. Kalau segalanya di masa depan bisa diketahui, dunia tidak akan membutuhkan seorang detektif.
Dan mungkin karena instingnya sebagai detektif, maka ia memilih untuk berjalan-jalan di tengah hujan seperti ini.
Seperti, akan terjadi sesuatu. Baik atau buruk. Atau apapun.
Hujan adalah representasi. Identik dengan kejadian buruk, atau menyedihkan. Ibaratnya, seolah langit sedang menangis, karena di suatu tempat di sudut-sudut yang tak terjangkau olehnya, pasti ada satu kematian.
"Ah."
Hujan turun semakin deras. Langkah yang awalnya perlahan, berubah lebih cepat. Ia berlari, memaksa kaki bekerja lebih daripada kebiasaan. Sekalipun payung hitam cukup besar menaungi. Genggaman tangannya semakin erat pada tas selempang yang tersampir.
Tidak boleh basah, apalagi sampai terjatuh. Itu yang berulang kali dibisikkan dalam kepala.
Iris hijau terfokus pada tujuan yang jauh di depan mata, toh tidak akan ada orang kurang kerjaan yang akan berjalan santai di tengah hujan seperti ini. Lagipula, ia sudah berjalan-jalan selama beberapa jam. Lelah, dan tidak ada apapun yang terjadi, setidaknya dalam jarak jangkaunya—
BRUKKK!
—atau belum.
Payung hitam terlepas dari genggaman. Sang detektif terjatuh dengan posisi duduk. Merutuk antara sakit dan basah di sekujur tubuh, sekaligus bersyukur tas selempang yang berharga selamat dari meluncur bebas di jalan penuh genangan air.
Ia mendongak, bibir merajuk layaknya bocah kecil yang merengek minta dibelikan mainan—faktanya, sang detektif bahkan sudah kepala dua.
"Apa yang kau lakukan!?"
Sejujurnya, ini harusnya salahnya yang berlari tanpa memperhatikan keadaan sekeliling.
Laki-laki yang bertabrakan dengannya itu hanya diam. Wajahnya agak tertunduk, dan sekujur tubuhnya basah.
Ah, begitu ya.
Sang detektif berdiri, memungut payungnya kembali walau terasa percuma karena seluruh tubuh sudah hampir seluruhnya basah. Ada yang harus dikatakan, pada orang itu. Laki-laki bersurai coklat tua yang kebetulannya bertabrakan dengan dirinya.
Yah, walaupun mungkin akan sia-sia, karena bahkan dari sorot matanya sekalipun, ia sudah langsung tahu, bahwa laki-laki itu bahkan sudah lebih dari siap untuk menjemput kematian.
.
Ranpo masih berdiri di tempatnya, sedangkan laki-laki tadi sudah sedari tadi beranjak pergi. Sepasang kacamata masih bertengger di hidungnya. Payung di tangan tergenggam erat. Ia masih menunggu, sesuatu atau mungkin seseorang.
Derap langkah terburu-buru tertangkap indera pendengarannya. Seorang pemuda, kemungkinan besar lebih muda dari dirinya, berlari, menembus hujan bahkan mengabaikan cipratan air dimana-mana.
Terburu-buru sekali.
Langkah si pemuda hampir melewatinya, dan ia menarik nafas dalam.
"Hei, kau."
Ia berhenti, menoleh, dan Ranpo bisa melihat dirinya keseluruhan. Surai coklat tua dan lilitan perban di wajahnya adalah yang pertama kali menarik perhatiannya. Sorot matanya tidak sabaran, panik dan takut.
Kalau kukatakan bukannya hanya akan membuatnya semakin parah?
Tapi kalau tidak juga sama saja.
"Percuma saja."
"Apa?"
"Kau berlari sekuat tenaga pun, tidak ada yang bisa kau lakukan."
"Apa maksudmu?"
"Siapapun yang sedang kau kejar itu, akhirnya akan tetap sama, sempat ataupun tidak kau di tempat itu."
.
"Kalau kau pergi ke arah sana, kau akan mati."
Jeda sesaat.
"Aku tahu."
"Lalu… kenapa?"
"Karena itu yang harus kulakukan. Selamat tinggal."
Dilakukan ya. Itu tidak akan bisa dibantah sama sekali sebenarnya, lagipula ia juga tidak mengenal lelaki ini. Ia hanya tertarik. Laki-laki ini melihat banyak kematian lebih daripada yang dirinya lihat, tapi sorot matanya jernih. Mempertahankan kewarasan di tengah kegilaan, faktanya sangat sulit.
"Berhati-hatilah."
.
Ranpo memeluk kedua lututnya. Sudah ia putuskan bahwa ini hari yang buruk. Hampir seluruh tubuhnya basah, tapi ia malas mengeringkan diri. Percuma menggunakan payung, toh kalau jatuh juga jadinya akan tetap basah.
Harusnya, tidak usah memaksakan diri.
Detektif muda itu menatap keluar jendela. Iris hijaunya memperhatikan bulir air yang turun perlahan. Hujan hampir reda, hanya tinggal tetesan tak berarti yang terlihat.
"Sachou…"
Jeda sesaat.
"Tadi aku bertemu seseorang…"
Jeda lainnya.
"Menurutmu, kalau seseorang tahu dengan melakukan sesuatu ia akan kehilangan nyawanya, tapi ia tetap melakukannya… itu bagaimana?"
Fukuzawa Yukichi menatap salah satu bawahannya, tapi sang detektif masih lebih memilih untuk melihat keluar jendela. Hujan hanya tinggal tetesan satu-dua yang turun, langit jauh di sana bahkan terlihat sedikit lebih cerah dibandingkan tadi.
"Manusia hidup karena alasan tertentu. Kalaupun ia lebih memilih untuk mati, artinya ia memiliki alasan lain yang sama kuatnya," sang ketua diam, surai keperakannya tertiup angin perlahan ketika sang detektif beranjak ke arah jendela dan membukanya sedikit, "seperti melindungi seseorang."
Melindungi… pantas saja sorot matanya jernih…
"Begitu… ya?"
Kali ini, hujan benar-benar berhenti.
.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
A Meeting and Farewell's Greeting || Oda Sakunosuke & Edogawa Ranpo
Fanfiction(Ranpo & OdaSaku) Tentang sang detektif, yang melihat kematian dari mata seseorang. Sebuah pertemuan singkat, dan perpisahan tanpa pernah lagi bersinggungan takdir.