Aku kasihan pada kok, ditolak ke sana kemari. Raket satu menghempasnya, raket yang lain memukul lebih keras lagi. Sekalipun aku pernah ditolak perempuan, aku tak pernah mendapat nasib seburuk kok. Sekarang sore, aku di gor menyaksikan orang bermain bulu tangkis. Tadi aku sudah bermain, lelah lalu istirahat. Ada wajah yang menghantam kok penuh kemarahan, permainannya kaku, terlihat jelas dia tidak biasa berolah raga. Terlalu memaksakan diri. Siapa lagi kalau bukan Nehan. Dia bermain bulu tangkis dengan seorang perempuan yang sangat kukenal. Mereka berdua sahabatku.
Kuyakin ini bukan perasaanku saja. Di akhir semester, Nehan dan Chalya tampak berbeda. Bukan hal baru, juga bukan rahasia bagi kami, jika Nehan dan Chalya saling mengurung perasaannya masing-masing. Aku tau Nehan sudah memiliki pacar. Namun, matanya jelas menceritakan bahwa resah masih tinggal di sana. Tak jauh berbeda dengan Chalya, meski ia tampak lebih ceria, tepatnya diceria-ceriakan, tapi status-statusnya penuh dengan kisah elegi.
Nehan tak suka olahraga apa pun, aku dan Chalya yang menyukai bulu tangkis. Mungkin Nehan terpaksa suka, tapi sekali saja aku tak pernah mendapatinya merasa terpaksa. Ia senang, bahagia, sebab kami bersahabat. Chalya dan aku yang tidak tertarikpada musik, terlarut menjadi penikmat paling setia ketika Nehan bermain piano. Sesekali Chalya ikut bernyanyi, meski suaranya sagat sumbang. Kami bersahabat,bekarib, tapi tidak berkeluarga. Ya hanya aku satu-satunya di antara mereka yang tak mau berkeluarga dengan sahabat sendiri, biar saja Chalya dan Nehan yang sakinah. Aku ingin sakinah dengan yang lain. Sakinah! Tidak akan terjadi pada mereka berdua. Namanya juga keinginan, bisa tidak terwujud. Awalnya mungkin, tapi melihat mereka sekarang, sakinah menjadi mustahil.
Nehan dan Chalya tidak pernah berpacaran, tidak pernah barang sekali. Aku heran kenapa mereka bisa saling sayang tanpa mengungkapkan. Semenjak Nehan memiliki pacar, kita memang jarang pergi bertiga. Chalya juga sibuk dengan duniannya sendiri. Aku saja yang tidak memiliki kesibukan apa pun, kecuali menunggu jadwal wisuda. Ah.. sering aku merindukan mereka, merindukan kita bertiga.
Cukup lama kami tak berkumpul begini. Bukanhanya,karena Nehan sudah tak lagi sendiri. Tugas akhir juga salah satu dalang pemisah. Ketika Nehan mengajak bertemu dan membawa pacarnya, aku menolak. Aku ketakutan, bila-bila ada rasa cemburu di sana. Aku tak mau seandainya Chalya tahu Nehan memiliki pacar. Aku tak pandai menutup rahasia, terlebih pada karib sendiri, tapi Chalya yang sudah kadung bolot, dan tak peka, menanggap semuanya baik-baik saja. Nehan tetap Nehan yang sama. Justru Chalya yang tak lagi sama. Ia selalu murung, selalu merasa bersalah, dan sering gelisah. Ia menganggap dirinya penyebeb Nehan marah, pengacau, dan segala masalah yang tak lain bersumber dari perkatannya. Aku menduga, ada yang sempat terjadi pada mereka, tanpa aku ketahui.
Aku ikut canggung menyaksikan kita. Harusnya tak ada masalah, tapi aku menjadi orang yang merasa bertanggung jawab dengan ke-wagu-an ini. Bingung harus kuapakan pertemuan kita. Tampak betul, Chalya mencoba memecahkan suasana. Namun gagal, jelas gagal, dia sediri juga tidak yakin kita bisa seperti dulu. Chalya yang mengundang aku dan Nehan makan. Nehan berkenan datang, karena sebenarnya ia rindu pada Chalya. Nehan berharap mereka bisa duduk berlama-lama dan mengobrol. Kita bertiga satu fakultas, satu progdi, bahkan satu kelas. Kecuali, Nehan yang masih sering mengulang mata kuliah, kita hanya datang ke kampus untuk bimbingan. Sering bertemu di depan progdi, tapi hanya sekedar menyapa. Kita disibukkan dengan tugas masing-masing.
Chalya yang akhirnya menyelesaikan masa kuliah terlebih dulu, dia telah terwisuda, aku akan wisuda, dan Nehan yang masih berjuang. Tak ada pertemuan tanpa maksud. Chalya mengajak kami bertemu karena ada yang ingin dibicarakan. Chalya masih menganggap kami sebagai sahabat yang perlu tau tetang hidupnya.
"Nehan, Jang... aku akan ke Jogja", tanpa perlu kutanyakan alasan, Chalya sudah menjelaskan pada kami. Ia ingin menjadi seorang penulis. Aku sempat meyakinkan Chalya bahwa ia tetap bisa menulis tanpa perlu pergi. Namun, dia berhasil meyakinkan kami agar percaya pada keputusannya. Aku paham siapa Chalya. Jika kami melarang pun ia tetap berangkat. Ia tidak sedang meminta izin, tapi ia sedang memberi tau kami bahwa Chalya masih sangat menyayangi kami yang selalu mengisi hari-harinya dengan penuh warna. Ia masih menganggap dan menghargai kami sebagai keluarga kedua.
Mata Nehan menunujukkan kombinasi nanar dan ragu. Kelu lidahnya untuk berkata jangan, tapi hatinya berkobar-kobar untuk tetap mengatakan tidak. Bertarung sudah gelisah Nehan, pertarungan itu sempat kulihat lewat mata yang begitu sering ditundukan. "Hati-hati" dua kata itu yang kemudian keluar. Chalya hanya membalas Nehan dengan senyum. Astaga, kenapa begitu canggung begini. Aku juga mengamati mata Chalya, tampak penuh harap dan ada sedikit penyesalan di sana. Entah apa, aku belum mengerti. Sedang mataku, mungkin terlihat penuh kebingungan. Aku berada di posisi yang tidak tepat. Jika aku melihat bola mataku sendiri, mungkin aku menemui juga pandangan dengan sedikit harap seperti CHalya. Hanya berbeda selera saja, Chalya berharap Nehan suatu hari memaafkannya, lalu aku berharap suatu hari tidak lagi dipertemukan dengan suasana yang sama: penuh kekakuan.
☣☣✿❀✿☣☣
Kepik masih berkelana, kadang menyusuri jalan raya. Dia kepik biasa yang tidak biasa. Perjalannya yang paling jauh sepanjang sejarah perkepikan. Ia bertualang mengikuti kata hati. Sayap-sayapnya sudah terlatih, tidak hanya hinggap di pohon, menumpang di bahu manusia tanpa orang memahami keberadannya juga sering. Memang ajaib kepik ini, ya jika tidak ajaib untuk apa kumasukkan dalam cerita.
Lain kepik, lain anyelir hijau. Anyelir tidak bisa terbang, pohonnya mengakar, anginlah yang selalu mengisi dan mengalunkan irama hidupnya. Putiknya masih perawan tak tersentuh kumbang mana pun, kecuali si kepik merah totol yang akhirnya menemukannya. Perjalanan panjang yang dilalui membuatnya bertemu dengan anyelir hijau. Ia terbang dan berkata, "Anyelir Hijau, aku menemukanmu.."