1. Manusia Ramah di Jakarta

3 0 0
                                    


Hari ini hari Sabtu, jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Aku sudah capek sekali setelah berkutat dengan research yang aku lakukan setelah makan siang tadi. Mata juga sudah lelah menatap layar MacBook selama itu.

Well, Berhubung hari ini weekend dan jalanan Jakarta bisa dipastikan macet, maka disinilah Aku sekarang, jalan – jalan sekitar hotel tempatku menginap. Beradaptasi dengan lingkungan baru, sesekali berinteraksi dengan orang – orang disini, dan yah, mencoba jajanan Indonesia. Kalian harus tahu, I love Kerak Telor, oh gosh!

Ya ampun. Jakarta ternyata semenyenangkan ini, rekan – rekan semua. Aku mengakui going here has no regret left behind.

Aku pernah iseng googling berapa jumlah penduduk yang ada di Jakarta ini. And you know what? Sejak 2010, tercatat lebih dari sembilan juta jiwa hidup di kota metropolitan semacam Jakarta ini. Dude, it's a big number.  I'm pretty sure it's never easy to handle those freaking 9 millions people. Tapi yang Aku salut adalah, diantara jutaan manusia yang ada, dengan kepribadian, perilaku, serta background pendidikan mereka masing – masing, ternyata masih ada spesies manusia ramah nan menyenangkan. Salah satunya pria yang berjalan berlawanan arah denganku ini.

Dia tinggi—lebih tinggi dariku—memakai celana kain hitam, dengan hoodie abu – abu gelap. Dibalik hoodie itu, kerah kemejanya menyembul sedikit. Rambutnya tersisir rapi, kulitnya kecoklatan, and the most favorite part after all is, his smile. Sepertinya dia sadar kalau Aku selama beberapa detik memperhatikan dia, jadi pada saat jarak kami semakin dekat, senyum itulah yang dia perlihatkan padaku. Dengan kepala yang sedikit tertunduk, ia berlalu membelakangiku.

Terdengar bodoh kalau Aku menilainya ramah dan menyenangkan hanya lewat senyum serta gesture yang hanya terlihat beberapa detik. Tapi Aku lebih bodoh untuk meyakinkan diri sendiri kalau dia memang ramah dan menyenangkan.

Aku punya intuisi kuat dalam hal ini.

Termasuk intuisi kalau ini bukan pertemuan pertama dan terakhir kami.

Ada sebuah bagian dalam otakku yang membangun semacam imajinasi yang ceritanya Aku bertemu dengan laki – laki itu, Ia menatapku lembut, dengan senyum yan terulas persis seperti yang Ia tunjukkan tadi. Disana Ia meraih tanganku, sedang tangannya yang lain berada di pinggangku. Ada alunan piano yang terdengar, tapi Aku tak yakin setting lokasinya dimana. Di sisi kiri ada kolam renang lengkap dengan orang – orang berpakaian formal yang berbicara riang di tepiannya. Lalu di sebelah kanan terdapat rumah—bukan, bukan rumah. Itu istana, saudara – saudara—dengan pahatan dengan dominasi warna emas di dindingnya. Lalu kalau dilihat lebih ke kiri, disana ada pintu besar dan orang – orang berseragam hitam putih membawa nampan—sepertinya mereka semua pelayan—lalu lalang keluar masuk pintu itu.

Mataku kembali terfokus ke laki – laki didepanku. Ekspresinya tampak begitu sumringah saat mata kami saling tatap untuk beberapa saat. Dan Aku tak tahu harus melakukan apa, dan memasang ekspresi seperti apa. Akhirnya kupejamkan saja mata ini.

Dan Aku tak sadar kalau ternyata Aku masih berjalan. Dalam keadaan mata terpejam. di dunia nyata. Aku terlalu asyik dengan imajinasiku barusan sampai tanpa sadar Aku hampir menabrak tiang listrik. Aku juga tak sadar kalau Aku sudah berjalan terlalu jauh, sampai – sampai tak bisa mengenali ada dimana Aku sekarang.

Hey, ini baru hari pertama Aku di Jakarta. Dan untuk orang yang gampang panikan seperti Aku, tersesat adalah salah satu hal yang cukup menyeramkan. Tapi sebisa mungkin Aku kuatkan hati untuk bisa tenang. Tenang, Sarah. Tenanglah, Sarah Fasha Al – Dinar. Kau hanya perlu berjalan balik ke arah kau pergi tadi.

Betul kan?

Aku menghela nafas, berharap kalau rasa panik yang menyergap ini tak bertambah besar dan malah menghebohkan banyak orang. Aku disini bukan untuk teriak – teriak sambil menangis hanya karena tersesat.

Tapi itu bukan 'Hanya'. Ini masalah serius. Tersesat di hari pertama kedatangan itu masalah serius. Ditambah Aku belum mengenal siapapun disini. Double kill.

Dengan segala kekuatan yang Aku punya, Aku bersikap senormal mungkin berjalan balik ke arah berlawanan. Aku berjalan dengan mataku yang berkeliaran mencari sesuatu yang familiar, untuk meyakinkan kalau Aku memang berada di jalan yang benar kembali menuju hotelku.

Mataku terus berpencar sampai terpaku pada satu objek didepan situ. Objek itu membelakangiku; manusia, laki – laki. Setelan pakaiannya sama persis dengan laki – laki yang kulihat terakhir kali. Aku tak yakin apa itu memang dia atau hanya halusinasi saja.

Untuk beberapa saat Aku mencoba mengejar menyamakan langkahku dengannya hingga kami berjalan bersisian. Wow, that's him.

Jadi, kalian percaya dengan intuisiku?

Aku berjalan bersisian dengannya (secara sengaja, dan sepertinya dia sadar akan itu). Dia refleks menoleh ke arahku, "ada apa, ya?"

"Saya tersesat, Hotel Golden Prime dimana ya?" Tanyaku dengan Bahasa Indonesia semampu yang Aku bisa.

"Beruntung sekali. Saya juga mau kesana. Mari kita jalan sama – sama"

"Kamu tamu di hotel itu juga, eh?"

"Bukan. Kebetulan saya bekerja di hotel Golden Prime. Mari" tuturnya lembut.

Tadi dia bilang apa? Dia bekerja disana? Ini gila!

Aku dengan segala first impressionku yang mengesankan terhadapnnya, ditambah intuisiku yang kuat tentang laki – laki ini, harus menerima kenyataan kalau dia bekerja di hotel tempatku menginap.

Itu berarti, Aku akan sering bertemu dengannya.

Nikmat mana lagi yang harus kau dustakan, Sarah Fasha Al – Dinar!

Tapi tunggu. Aku tak boleh terkecoh, teman – teman.

Aku disini dikirim mewakili Malaysia untuk sebuah konferensi yang sudah Aku impikan seak lama.

Aku dikirim kesini bukan untuk urusan semacam ini!

Aku harus fokus!

Fokus, Sarah!

Tapi, kalau dalam sepuluh hari ini Aku dan laki – laki tinggi disebelahku ini jadi semakin dekat, dan Aku tak bisa janji kalau Aku bisa fokus.

Laki – laki yang akhirnya kuketahui bernama Ridwan ini begitu menghipnotis. Astaga!

Kami semakin dekat dengan hotel, Ridwan sudah membuka hoodie abu – abunya dan menampilkan kemeja batik seragam hotel ini.

Di gerbang hotel, laki – laki itu berhenti, kembali menoleh kearahku. Menatap dengan tatapannya yang buat Aku tahan nafas, "kita sudah sampai, Bu Sarah. Maaf saya rasa kita harus berpisah disini. Tidak enak kalau ada yang melihat kita berjalan Bersama masuk ke hotel"

Aku mencoba mencerna kata demi kata yang ia lontarkan. tidak enak? Why tidak enak? Why tak sedap?

"Saya hanya tidak ingin rekan – rekan saya melihat saya bersama seorang tamu hotel berjalan beriring masuk ke hotel. Nanti jadi cibiran orang, Bu Sarah" Ridwan kembali melanjutkan ucapanya. Dan terus terang semakin membuat Aku bingung. Okay, Aku harus perdalam kosakata Bahasa Indonesiaku.

Can anyone tell me what is 'cibiran'?

Tapi Aku manggut manggut saja, pura – pura paham dengan apa yang Ia ucapkan. Sedetik kemudian, Ridwan senyum, sambil sedikit menunduk, dan berlalu menuju ke pintu masuk hotel.

Aku balas tersenyum, menunduk, sambil tangan kananku kuletakkan di dada kiri—cara yang ditunjukkan masyarakat di Semenanjung Melaka menghormati orang lain—dan membatin, dia manis.

Well, sepertinya memang AKu harus lebih keras belajar Bahasa Indonesia. termasuk idiom dan slangs yang sering digunakan di Indonesia, khususnya Jakarta.

atau, meminta Ridwan mengajariku sepertinya bukan ide yang buruk.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 01, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TacendaWhere stories live. Discover now