Bab 1

21 3 0
                                    

Aku begitu sering mengajak diri sendiri bergurau dan melakukan dialog, dialog berat sesekali. Beratnya, lebih besar dari pada massa udara, entah sih seberapa berat pastinya. Hanya kukira, begitu. Aku tak ingin menulis puisi kali ini ataupun cerita-cerita fiksi seperti biasanya. Aku hanya ingin berdialog dengan diri sendiri disini, melalui tulisan ini. Karena biasanya, aku berperang dengan diri sendiri lewat udara, namun endapannya terus mengendap ke dasar hati.

Begini..

Aku hanya tak habis pikir, mengapa aku bisa tidak menyukai seseorang atau bahkan membencinya. Padahal, apa alasannya? Hampir, bahkan tak ada sama sekali. Bukan serta merta, karena kita menilainya dari fisik, lalu mengatakan "sempurna", entah bagi perempuan, mungkin ia cantik kemudian mulai membandingkan diri sendiri dengan dirinya sehingga muncul rasa iri. Melihat hal-hal yang dilakukan olehnya yang mungkin menyebalkan dan membuat alis berkerut, kemudian menggunjingkan dirinya dalam hati. Padahal, apa salahnya? Bukankah manusia memang jauh dari kata sempurna?

Hari ini, aku melihat seseorang yang mengoleskan blush on di hampir seluruh bagian pipinya, yang membuat kedua pipinya terlihat lebam seperti habis dipukul, kemudian dalam hatiku berkata

"kenapa kok orang ini begitu banget ya? Apa dia gak ngira itu kaya abis dipukul?"

Astaghfirullah. Kemudian aku menutup mata, membayangkan berapa tumpuk dosa yang telah tertabung di timbanganku kelak secara sengaja maupun tidak. Aku tidak dapat memikirkan semua itu, bagaimana diriku kelak? Aku memang sang pendosa yang ulung, manusia kecil yang tak bisa apa-apa di Mata-Nya. Apa yang aku sombongkan?

Kemudian, sebagai perempuan, memang tak dipungkiri, lebih senang untuk jalan atau duduk bersama dengan teman perempuan yang lain, karena salah satu hal menarik yang pasti akan terjadi adalah "bergosip asik", kemudian tertawa terbahak-bahak. Padahal, aku sadar. Itu dosa. Namun aku masih tetap saja berada disana, padahal hati saat itu hanya ingin berlalu dari sana. Aku terlena, ikut serta tertawa dan menertawakan ia yang disantap sebagai bahan candaan. Membicarakan aib-aibnya dan hal-hal lain yang jika kita berada di posisinya pasti akan merasakan sakit. Wahai diri, segera sadarlah!

YA ALLAH. Aku merasa begitu kotor, terlumuri lumpur dosa yang berwarna hitam. Entah bagaimana cara untuk menghilangkan wujud dan baunya jika memang ditampakkan pada tubuhku? Ya Allah, untuk membayangkannya saja aku tak sanggup.

Tentang diriku, akan kuperkenalkan suatu hal yang belum kumengerti. Aku pun tak tahu pasti, mengapa sering kali aku merasa lebih nyaman sendirian, jalan dan makan sendiri bahkan sholat ke musholla sendiri. Hal-hal yang sebagian perempuan pasti akan meminta untuk ditemani. Tapi berbeda denganku, aku pun tak tahu mengapa itu terjadi. Apa aku memiliki sebuah penyakit? Atau terlalu introvert? Entah. Aku merasa seperti seorang alien, dan banyak teman menyebutku begitu.

Dengan menjadi seorang alien, aku merasa memiliki waktu lebih banyak untuk diriku sendiri, berdialog, bergurau, bercengkrama dan bercanda, bahkan berperang. Semua itu kulakukan antara aku dengan diriku sendiri. Dengan begitu, aku bisa lebih menilai dan mengintropeksi diriku, meski kadang masih keliru.

Wahai diri sendiri! Apa kabar? Mungkin sejak lama kau sakit, tapi kau tak meyadarinya. Seberapa kronis penyakit yang ada di hatimu sehingga kau bisa menggunjing, menyakiti, bahkan membenci orang lain? Tak bisa kah kau lihat seberapa besar batu hitam yang berada tepat di kelopak matamu? Sedangkan tanpa kaca pembesar, kau bisa melihat semut yang sedang berjalan di lantai satu sedangkan kau berada di lantai dua. Wahai diri, dengarkan diri ini yang sedang gelisah, membayangkan seberapa banyak dosa yang harus ditanggung kelak di punggungmu beserta sengatan panas matahari terik di atasnya.

Manusia sangat jauh dari kata sempurna. Semua orang pasti punya kesalahan, pasti punya sifat yang menyebalkan, dan pasti punya hal-hal yang membuat sebal. Pasti. Itulah mengapa kita disebut manusia, karena begitu teledor, melakukan banyak kesalahan, dan masih saja diulangi lagi dan lagi, padahal kita mengetahui bahwa itu hal yang salah. Semua manusia tak ada yang sempurna, bahkan ketika diri sendiri lupa, telah begitu banyak melakukan kesalahan yang secara sengaja maupun tidak sengaja menyakiti orang lain dan hal-hal lainnya yang juga merusak sekitar, tak dapatkah kau ingat meski setitik saja? Ah, jangan egois. Di dunia ini bukan hanya kau saja yang diberi kesempatan untuk hidup. Hidup itu belajar, tak mungkin kan bila kamu menuliskan jawaban salah yang sama pada setiap lembar jawaban pada saat ujian?

Maka, berusahalah berhenti untuk menilai hal-hal negatif dari orang lain, karena kamu pun memilikinya, bahkan bisa jadi berkali lipat lebih banyak. Berhenti untuk menilai orang dari tampilan luar, karena wahai sayang, tampilan luar sangat menipu. Jangan melihat dari tebal dompetnya, karena aduhai, itu bukan miliknya, semua yang kita punya hanyalah sebuah titipan.

Jadi, wahai diri, teruslah koreksi dirimu, mengorek-korek semua kesalahanmu dan mengoreksinya, tanpa mengorek-korek milik orang lain. Karena kamu bukan siapa-siapa, apalagi jika kamu memiliki hati yang jahat. Semua pikiranmu yang negatif itu hanya akan membebani dan menambah dosa. Tentramkan hatimu dengan sesekali menutup mata, lalu membuka mata kembali ketika kau sadar, bahwa manusia selalu diliputi dengan ketidaksempurnaan.

Terima kasih diri, dialog ini mengalir begitu saja. Jadi, mari kita berdamai ya! Dengan memiliki hati yang baik agar diri dapat berdamai dengan semesta dan dirinya sendiri.

Malang, 1 Januari 2019

DialogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang