Sore ini, ketika senja sedang tersenyum hangat, semburat jingga merekah, aku teringat Mama. Mama paling suka senja. Katanya, senja adalah penantian akhir yang akan terganti oleh lembaran yang baru. Mama adalah senja bagiku. Senja paling indah yang takkan kutemui lagi. Mama juga suka bunga anyelir. Katanya, bunga anyelir itu simbol cinta dan kasih sayang yang kuat.
***
Hari ini adalah hari ulang tahun Mama. Itu yang berarti tahun ke-14 Mama pergi.
"Ma, selamat ulang tahun ya," Tetap sama. Tetap tidak akan pernah ada jawaban.
"Mama apa kabar? Binar kangen Mama. Nih, Ma, Binar bawain bunga anyelir kesukaan Mama,"
"Dirawat ya Ma, bunganya. Mama dulu sering ceritain Binar tentang bunga anyelir, tentang senja," Suaraku tercekat.
"Mama yang tenang ya, Ma. Binar sayang Mama,"
Aku membiarkan bunga anyelir itu layu di pusara Mama.
Gerimis membasuh kota. Membasahi jalanan yang tadinya kering. Orang-orang segera berlari mencari tempat guna untuk berteduh. Pengendara sepeda motor pun begitu. Ada yang sibuk menenteng belanjaan, ada pula yang sibuk mengeluarkan jas hujan.
Kebetulan, ada taksi melintas. Segera kulambaikan tanganku.
"Tujuan mana, Mbak?" Tanya sopir taksi itu ramah.
Aku menyebutkan alamat rumahku. Mengingat nenek pasti khawatir. Mungkin, minum teh serta makan biskuit bersama nenek akan menyenangkan.
Gerimis berubah menjadi hujan lebat. Dulu, Mama pernah bilang bahwa hujan itu saat dimana langit menangis. Aku tersenyum kecut mengingat memori silam. Mengingat memori yang hanya membuatku jatuh ke lubang rindu.
Ponselku berdering, tertera nama nenek disana.
"Iya, Nek, kenapa?"
"Iya, Binar sudah dijalan. Nenek tunggu, ya,"
Sambungan telepon terputus. Sekarang, hanya nenek yang kupunya setelah semesta merenggut nyawa Mama.
Suasana diluar pun masih sama. Hujan. Entah mengapa, entah kutukan darimana yang membuat hujan sebagai pengingat masa lalu. Aku tak yakin Dewa Langit pun beranggapan begitu.
"Mbak?" Sopir taksi itu memecah lamunanku. Menyeretku keluar dari dunia penuh tanya ke dunia nyata.
"Eh, sudah sampai ya, Pak?"
"Iya mbak," Kuserahkan beberapa lembar uang sehingga ucapan terimakasih pun keluar dari mulut Bapak itu.
Kulangkahkan kakiku keluar taksi menuju pintu rumah.
Tak lama setelah mengetuk pintu, wajah nenek yang paling kunantikan akhirnya muncul. Nenek adalah senja kedua dihidupku. Nenek juga simbol bunga anyelir yang penuh kasih.
Aku merebahkan diri di kasur, berharap alam bawah sadar segera menjemputku. Tapi, semakin dipaksa semakin sulit. Entah berapa lama berbaring terkantuk-kantuk, akhirnya semua menjadi gelap.
***
"Binar, sarapannya dihabiskan dulu,"
"Binar sudah telat, Nek," Segera kuteguk susu buatan Nenek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Desember
Teen FictionUntukmu Rey, orang pertama yang kusayang, Cerita ini kupersembahkan untukmu. Hanya untukmu. Maaf, bila aku tak sanggup mengatakannya langsung padamu. Rey, kau ingat dengan pertemuan pertama kita? Saat semesta membuka lembaran kejutan baru bagi hidup...