Mencintaimu seperti air yang terus mengalir seperti kekurangan tempat di wadahnya.
Berjalan berdua mengitari bibir pantai sambil menunggu sang mentari datang tersenyum seolah ikut bahagia melihat kita sedang menunggu dengan setia. Rangkulan yang begitu erat namun lembut sungguh terasa di bahu kiriku, matamu yang tak lepas memperhatikan aku yang sibuk memperagakan cerita-cerita yang sedang kita bicarakan dan sesekali aku tatap matamu yang indah itu lalu kamu balas dengan suguhan senyum yang bisa saja membuat semua orang meleleh dibuatnya.
Kita berdua pun duduk di atas pasir putih yang dihidangkan pantai itu sembari melanjutkan cerita tentang betapa aku menyukai lautan yang dari tadi belum selesai aku ceritakan. Beberapa menit kemudian aku mulai lelah bercerita dan telingamu pun mungkin saja perlu istirahat dari cerita-ceritaku ini. Aku terdiam begitupun kamu sambil menatap hidangan ombak-ombak kecil yang bergulung-gulung ke bibir pantai sembari menunggu mentari yang malu-malu untuk menampakkan dirinya.
Tanpa sadar diriku telah memperhatikan setiap inch yang ada pada dirimu, alis tebal dan berkarakter, bulu mata lentik, mata coklat namun tajam, hidung bak bukit kecil yang berlekuk, bibir dengan warna merah muda dan tipis, dagu yang begitu indah dengan sedikit rambut yang menggantung di permukaan kulitnya dan bentuk wajahmu yang indah membuat unsur lainnya pendukung yang sempurna. Sungguh beruntungnya aku bisa duduk bersamamu ditepi pantai ini.
Jika boleh aku ingin cinta dan semakin cinta padamu setiap hari setiap jam setiap menit setiap detik bahkan setiap hembus napasku dan detak jantungku.
Semoga cintaku akan terus berlanjut walau maut telah memisahkan kita.
YOU ARE READING
Titik Koma
RandomCerita ini berawal dari sebuah pengakhiran yaitu sebuah tanda titik dan berlanjut dengan sebuah koma.