Kebanyakan orang, bangun karena bunyi alarm yang berdering tepat meja sebelah tempat tidurnya, mungkin hanya akulah yang sedikit berbeda dari mereka.
Disaat yang sama, "Alarm" ku hanyalah teriakan ayah kepada ibu yang dikarenakan ibuku menolak memberikan uang tabungannya untuk keperluan judi ayahku.
Akupun terbangun, disaat aku membuka pintu aku melihat ayah yang sedang mabuk memukuli ibuku, jujur aku tidak bisa menangis dan berteriak meminta tolong karena aku takut hal ini akan menjadi semakin rumit, yang bisa kulakukan hanyalah melihat ibuku yang merintih kesakitan dan aku cuma bisa didalam diam.
Hal kelam itulah yang menyelimuti kehidupan dimasa kecilku, hingga disaat aku tamat SMA ibu menyuruhku untuk pergi diam-diam dari rumah karena dia tidak mau aku menjalaninya masa-masa penjajahan batin tersebut lebih lama lagi.
Namun, untuk hidup diluar sendirian bukanlah hal yang mudah, aku bekerja banting tulang, melakukan semua pekerjaan yang bisa aku lakukan, dengan tujuan dapat bertahan hidup dan membiayai kuliah ku sendiri.
Beberapa tahun setelah aku keluar dari rumah, umurku sudah menginjak angka 26 tahun, dan aku sudah memiliki hidup yang cukup mapan dari sebelumnya. Di perjalanan pulang dari kantor aku tidak langsung pulang dan aku ingin jalan jalan terlebih dahulu, lalu aku tidak sengaja bertemu dengan ayah yang sedang berjalan linglung di gang sempit sambil memegang botol bir, aku berhenti sambil memandanginya disaat itu juga dia terjatuh, terdesit dihati untuk menolongnya namun semua itu hanya akan membawaku pada masalah.
Keesokannya di pagi hari, aku seperti dihantui oleh rasa bersalah karna telah meninggalkan kedua orang tuaku, namun untuk saat ini aku harus urungkan dulu perasaan itu karena ini adalah hari besarku, dimana aku ingin menjalin sebuah hubungan dengan seorang wanita cantik berdarah Inggris yang bernama caroline, aku bertemu ia di bandara beberapa bulan lalu, siang ini aku ingin membawanya pergi liburan ke pulau Sumba yang biasa disebut sebagai surganya indonesia.
Setelah beberapa hari disana, aku menutup liburan ini dengan menyatakan cintaku kepada Caroline di atas bukit berpadang rumput dan di temani oleh pemandangan sunset yang sangat indah, tentu ini adalah momen terindah semasa aku hidup. Saat aku memegang tangannya, jantung ku berdebar-debar sampai aku sesak nafas, namun semua itu aku lewati dan aku mulai mengungkapkan perasaanku "karen, i've been fall in love with you since our first sight at the airport, and my heart beating harder everytime i heard your name in my mind, would you be my girlfriend?" dengan girang nya dia menjawab "yes" perasaan lega sekaligus senang pun menghampiriku, dan memang benar ini adalah hari terbaik yang pernah aku alami.
Singkat cerita setelah 2 tahun kami berpacaran, kami pun memutuskan untuk membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih sakral, tentu ini adalah hal yang menggembirakan dan aku harus membagikan hal ini kepada seluruh teman-temanku dan tentunya orang tuaku. Namun, aku masih merasa takut untuk kembali bertemu mereka dan karna itu aku mengurungkan niat tersebut terlebih dahulu.
Sampailah dihari berbahagia, salah satu hari dimana kedua calon suami istri di satukan dalam sebuah perjanjian suci. Saat pengucapan ijab-kabul selesai, dan seperti biasanya dalam pesta pernikahan para tamu pun mulai datang menghampiri untuk mengucapkan selamat kepada kami, begitu banyak kalangan yang datang dari yang muda sampai yang tua.
Seharusnya itu adalah hari yang berbahagia buatku, namun kebahagiaan itu sirna dikala para tamu mulai menanyakan keberadaan orang tua dari mempelai pria, kesedihan ini sangatlah menyayat hati.
Keesokan pagi, aku dan karen pergi untuk pertama kalinya setelah sekian tahun lamanya aku tidak pulang, aku pun memberanikan diri untuk pergi. Sesampainya di rumah, aku ingin karen untuk tinggal di mobil sebentar.
Aku berjalan masuk sambil melihat melalui celah-celah jendela, aku berlari kedalam berteriak memanggil ibu dan langsung memeluknya dengan rasa penuh penyesalan, lalu aku bertanya "ibu kenapa menangis?" lalu dia hanya mengambil seutas kertas dan sebuah pena, lalu ia menulis kalimat yang berisikan "ibu sekarang sudah bisu nak, hanya kertas dan penalah suara ibu", ku angkat ibu ke kursi dan aku pergi ke dapur untuk menyuguhkan air putih.
"Tapi, kenapa ayah tidak ada dirumah" pikirku, dan aku menyuguhkan minuman ibu "ini bu airnya, oiya bu aku mau kenalin ibu sama istri aku" ,aku panggil karen masuk dan aku kenalkan ia pada ibuku, namun ibu masih merasa sedih entah karna apa.
Dan aku teringat soal ayah tadi yang ingin aku tanyakan, "bu, aku kok dari tadi ga ada ngeliat ayah dari tadi" dan ibuku menuliskan jawabanku dengan tangan gemetar dan kesedihan yang makin menjadi-jadi.
Setelah menulis, lalu ia berikan kertas yang menjawab pertanyaanku tadi, kubaca perlahan-lahan dan sampai di penghujung kalimat, aku sangat terkejut, kertas itu bertuliskan seorang istri yang telah membunuh suaminya dikarenakan sudah sangat terpukul secara fisik dan jiwa.
End
Hai, ini adalah cerita pertamaku dan aku berharap sekali kalian suka ceritanya.
Dan karna ini pertama kalinya jadi harap maklumi jika ada typo atau kesalahan dalam penulisan. Dan berikan dukungan kalian supaya aku makin semangat nulis cerpennya lagi.jangan lupa di vote dan share yaa kalau kalian suka 😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Selangkah Naik Selangkah Turun
Short StoryCerita ini berisikan tentang sebuah anak laki-laki yang kabur dari keluarga "broken home" nya.