Di dalam ruang dengan perapian kecil sebagai penghangat di musim dingin yang sebentar lagi akan segera berakhir menampilkan sesosok wanita paruh baya dengan tangan lentik yang tak terlihat keriput meski usianya yang tak lagi muda. Namun, juga belum terlalu tua. Dengan rambut berwarna pirang kecoklatan yang di ikat dengan rapi diatas syal tebal yang membungkus leher putihnya yang tak terdapat cacat sedikitpun. Dengan telaten, sosok wanita itu terus merajut kain membentuk sarung tangan lucu berwarna biru kesukaan sang buah hati. Entah mengapa gadis kecil kesayangannya itu begitu suka warna biru. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman tipis, tidakkah ini terlihat seperti dia mengenang masa lalunya?
KRIEEET...
BRAKK!
Dan papan kayu berknop yang seluruh penjuru bahasa sepakat memberinya nama 'pintu' itu terbuka dan tertutup dengan suara keras. Mengagetkan sosok paruh baya yang tengah fokus pada rajutan dan kenangan masa lalunya. Ah dia melamun ternyata.
"Pintunya bisa rusak kalau kau perlakukan seperti itu, Elena" ujar sang ibu lembut. Dengan kerucutan lucu bibir tipisnya, gadis kecil itu melangkah mendekati sang ibu dengan kaki yang sengaja menghentak lantai hingga menimbulkan suara bising menyebalkan yang nyatanya tak di hiraukan sang ibu. Beliau melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena ulah gadis kecilnya itu.
Terdapat jeda disana, menciptakan hening yang memerlukan beberapa detik untuk mengontrol suasana. Sang ibu sengaja diam tak bersuara. Karena, ia tahu gadis kecilnya akan mengadukan sesuatu tanpa di minta.
"Aku benci mereka!"
Sudah kubilangkan.Dasar gadis manja.
Tangan yang sedang merajut itu terhenti, sang ibu menoleh pada gadis kecil manja yang begitu menggemaskan dengan kerucutan lucu di bibirnya, juga rona merah kemarahan di pipi putih mulusnya. Ah, dia begitu cantik sepertiku, bukan?
"Siapa?" Suara itu mengalun dengan begitu lembut di telinga sang gadis. Ada nuansa dingin yang menyiram panasnya hati yang terbakar oleh kemarahan, gadis kecil itu selalu suka mendengarkan suara lembut sang ibu yang selalu bisa menenangkan hatinya, bagai sihir, tapi dia tak begitu percaya sihir yang selalu di ceritakan sang ayah ketika ia berdongeng tentang anak kecil baik yang memiliki tanda petir di dahinya. Sial, kenapa dia malah memikirkan tokoh fiktif itu.
"Mereka"
"Mereka?"
Kepala gadis itu mengangguk, kerutan di dahinya semakin dalam dan bibirnya semakin mengerucut, ah menggemaskan.
"Mereka siapa?" Sang ibu terus berbicara dengan lembut.
"Mereka yang ibu sebut sebagai pelajar yang sekandang denganku. Aku benci mereka! Sungguh!" Suaranya meninggi dan bergetar, menahan tangis rupanya."Kenapa dengan mereka?"
"Ibu~ hiks" dan tangisan itu akhirnya lolos juga.
"Kenapa sayang? Kemarilah" tangan sang ibu tergapai, meminta sang anak mendekatinya yang benar diindahkan sang anak dengan pelukan eratnya."Aku benci mereka, bu. Mereka bilang aku gila, mereka bilang aku tak waras. Apa salahku? Kalau mereka tak mempercayai apa yang aku percaya seharusnya mereka tak perlu mengatakan seperti itu kan, bu?" Adunya dengan suara khas anak kecil yang mengadu.
"Memang apa yang kau percayai sampai mereka mengatakan itu, sayang?"
"Peri"
Tubuh sang ibu menegang, tak percaya dengan apa yang di ucapkan sang gadis kecil kesayangan.
"Peri?" Tanyanya memastikan bahwa pendengarannya tidaklah salah.
Lagi, kepala itu mengangguk dalam hangatnya pelukan sang Ibu.
Tangan lentik sang ibu mendorong sang anak pelan, menatap manik manik safirnya yang berwarna merah dengan cairan bening yang masih nampak di bulatan safir itu."Apa yang kau percayai dari peri?" Tanyanya hati hati namun sarat akan rasa penasaran.
"Aku percaya bahwa mereka ada, bu. Aku memang melihatnya dalam mimpiku. Tapi terkadang aku juga melihat mereka dalam gelapnya kamar ku ketika aku hendak tidur. Mereka kecil sekali, bahkan lebih kecil dari permenku, bu".
Mata safir itu menatap dengan begitu heran pada mata safir lain yang menatapnya penasaran.
"Apa ibu juga percaya?". Sang ibu tersadar akan pertanyaan itu. Tangan nya kembali memeluk sang anak dengan lembut.
"Apa ibu juga tak percaya padaku? Padahal ibu yang selalu membacakanku cerita tentang peri. Aku jadi menyukai mereka, bu" gadis itu berkata dengan nada penuh kekecewaan. Sang ibu masih terdiam, kemudian tersenyum masam."Ibu percaya"
"Woahh benarkah???"
Dengan gerakan dan suara yang begitu antusias gadis itu melepas pelukannya. Menatap safir sang ibu dengan wajah sumringah. Sang ibu tersenyum lembut, lalu mengarahkan tangan nya untuk mengelus rambut sang gadis dengan lembut."mau mendengar ibu menceritakan sebuah kisah peri lagi?". Bagai mendapat hadiah besar gadis itu meloncat dengan antusias.
"Tentu!"
"Kisah ini begitu menarik dan ibu yakin kau akan menyukainya"
"Seberapa banyak?" Gadis itu bertanya lagi, penasaran akan seberapa banyak kisah itu akan membuatnya tertarik.
"Sebanyak kau mencuri dan meminum jus strawberry ayahmu di kulkas"
"Ibu~" rengekan itu tahunya membuat sang ibu tertawa gemas.
"Baiklah-baiklah, kisah ini seharusnya tak ibu ceritakan padamu sekarang. Tapi karena kau begitu cantik dan menggemaskan, maka ibu akan menceritakannya dengan senang hati".Dengan hati yang akan membuka kembali luka yang telah lama tertutup kepalsuan.
"Kisah tentang seorang pria tampan dengan peri cantik yang bernama Elena"
"Bukankah itu namaku, bu?"
"Tentu, tapi ini bukan kamu. Ini tentang seseorang bernama Elena Evelyn Sea. Peri cantik yang jatuh cinta pada seorang pria tampan baik hati yang bernama Devian".
Ada rasa keterkejutan di sana. Namun, Elena enggan bersuara. Dia ingin ibunya memulai bercerita dan membiarkannya menebak akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mata safir si kecil terus memandang sang ibu dengan serius, juga telinga yang setia mendengarkan dengan begitu penasaran juga keantusiasannya."Ketika itu musim hujan" sang ibu memulai ceritanya, dan Elena semakin tenggelam dalam suara ibunya yang mengucapkan kata demi kata yang dirangkai sedemekian rupa agar membuatnya juga tenggelam dalam kisah nya.
"musim di mana wangi petrichor menyeruak mengisi bumi yang begitu basah, melahirkan kegembiraan para peri, mereka menari dan bernyanyi dalam heningnya malam. Suara mereka tak cukup keras, karena mereka begitu kecil dan bersembunyi di pohon, terutama daun yang begitu mereka puja. Ada yang bermain sebagaimana anak anak pada umumnya, menari, dan bahkan ada yang memadu kasih jika di dalam dirinya sedang mekar. Dan seseorang dengan senyum manis, berambut hitam violet panjang yang di ikat dengan begitu cantik di kepalanya, gaun ungu dengan beberapa warna biru sebagai hiasnya menari di antara hujan yang jatuh. Namun gaun itu tak basah, juga dengan tubuhnya yang lain. Gadis cantik itu begitu menyukai hujan, karena dia adalah bagiannya. Dia, Elena Evelyn Sea. Peri air yang jatuh cinta pada seorang manusia bernama Devian Chayton Potter"
.......
KAMU SEDANG MEMBACA
Elena
FantasyMata Emeraldnya memancarkan cahaya yang indah, menembus dinding dimensi yang orang biasa tak bisa lihat. Dan itulah alasan kenapa aku begitu ingin memeluknya. Mungkin - Devian Chayton Potter- *** Tetesan bening itu membuatku tak bisa bernafas. Awaln...