SETITIK CAHAYA JINGGA

386 1 0
                                    

"..dan aku akan melakukannya, menjadi tumpuanmu untuk melewati bukit perkara itu, pergilah untuk mengejar sang mentari."


Dena terdiam. Otot tangannya menegang menahan setir motor, bersamaan dengan itu jantungnya berdegup keras dan nyaris tidak berkedip menatap seseorang yang tengah panik mengejar lembaran-lembaran kertas yang beterbangan. Selayaknya orang yang mendapati cinta pertama, ia terpana, tidak bergerak dengan mulut sedikit menganga.

Gadis itu terbirit-birit berusaha meraih kertas-kertas putih yang meliuk mengikuti tiupan angin. Wajah paniknya jelas menunjukkan bahwa kertas-kertas itu sangat berharga. Bahkan mungkin jauh lebih berharga dari hidupnya sendiri.

Dena melepas motornya. Petugas parkir yang daritadi berdiri di belakangnya terkejut dan segera menahan motor Honda Revo milik Dena yang nyaris terjatuh. Ia berlari sekuat tenaga, meraih tangan kanan gadis itu dan menariknya dengan keras hingga mereka terjatuh bersama menghantam aspal jalan.

Rem mobil sedan hitam berdecit. Seorang pria paruh baya turun dari mobil dan membentak mereka, menyuruh agar lebih berhati-hati. Perhatian orang-orang yang berada di sekitar Cafe De'Aulcit pun tersita, beberapa mendekat dan berusaha menenangkan emosi sang pemilik mobil sedan yang nyaris menabrak gadis bergaun biru muda itu.

Beberapa menit setelah masalah terselesaikan, Dena dan beberapa orang lainnya membantu sang gadis mengumpulkan kertas-kertas putih yang ternyata adalah proposal skripsi. Di atasnya terlihat goresan pensil desain-desain baju, Dena pun mengetahui bahwa gadis itu adalah mahasiswi tingkat akhir jurusan fashion.

Pertemuan pertama. Tanpa saling bertukar nama. Hanya saling mengaitkan telapak tangan dan menarik bibir sebagai ucapan terima kasih. Bahkan gadis rambut panjang bergelombang itu memberinya uang karena lengan kiri Dena berdarah menggores aspal demi melindunginya.

Dua minggu kemudian, mereka kembali bertemu. Ia duduk seorang diri, kembali ditemani oleh kertas-kertas putihnya, di pojok Cafe De'Aulcit. Mengumpulkan segenap keberanian, ia mendekati gadis yang kini mengenakan jaket jeans dan celana denim itu. Meskipun sedikit tergagap, tapi Dena berhasil mendapatkan namanya. Ya, ini adalah kemajuan pesat. Mengetahui nama lawan bicara tentu akan menjadi jembatan terbesar dalam mengembangkan hubungan.

Pertemuan ketiga 'yang tidak disengaja' terjadi saat Dena tengah terpuruk. Keterpurukannya mendorongnya untuk berharap menemukan sang gadis saat ia melangkah ke dalam cafe. Sedikit kecewa karena tidak mendapatinya setelah mencari, ia memutuskan duduk di sana dan menunggu. Rupanya takdir mewujudkan harapannya dan mempertemukan mereka dua jam kemudian, hanya beberapa menit saat Dena semakin putus asa dan memutuskan pergi dari sana. Gadis itu membawa tas selempang putih dan map bening berisi kertas-kertas. Senyumnya merekah, tanpa ragu mendekati Dena dan menyapa dengan hangat.

Bukankah ia sangat cantik? Jantung Dena berdegup menatap gadis di hadapannya yang kembali tenggelam dalam kesibukan untuk menuntaskan proposal skripsi. Haruskah aku menanyakan nomornya? Apakah ia sudah memiliki pacar?

"Ada apa?" tanya gadis itu, tersenyum, menyadari tatapan Dena. Pemuda yang merupakan mahasiswa tahun pertama itu menggeleng malu dan menyuruhnya kembali melanjutkan aktivitasnya.

Kali ini gadis itu terlihat lebih cantik dengan rambut bermodelkan ekor kuda. Dress ungu lembut dengan karet di bagian perut pun makin menambah pesonanya. Ia selalu tersenyum saat mengisi kertas putih di hadapannya dengan pensil kayu. Bibir tipis dan beberapa helai rambut menghiasi wajah lonjong-sedikit tirus itu. Ia terlihat lelah, tapi mata berbinarnya selalu berhasil membuat orang lain tersenyum.

Dena membaringkan kepalanya di atas lengan, sesekali menutup mata dan menatap perempuan di hadapannya. Suara Michael Buble mengalun lembut dan Dena jauh merasa lebih baik, melupakan segala hal buruk yang terjadi hari itu. Meski sudah tiga kali bertemu, tapi perbincangan mereka hanya seputar cuaca, film, lagu, dan hal umum lainnya. Belum pernah sekalipun mereka saling menanyakan hal yang bersifat pribadi-kecuali nama. Dena tidak mempermasalahkan hal itu. Dapat meluangkan waktu bersama 'orang asing' yang hanya ia ketahui nama dan rupanya sembari menikmati secangkir es kopi dan alunan lagu lembut di pojok sebuah cafe yang tenang dan remang, adalah me time yang sangat Dena nikmati. Buah dari hari yang berakhir dengan baik itu adalah mereka menentukan hari untuk pertemuan berikutnya.

Setitik Cahaya JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang