Diandra menatap lurus kedepan, jemarinya menggenggam erat benda bulat berwarna oranye. Dicengkramnya kuat-kuat benda itu didepan dada sebelum melemparnya keatas.
"Threepoint." ujar sebuah suara anak laki-laki dibelakangnya.
"Makasih ya udah repot-repot merhatiin tembakan gue." sahut Diandra sambil tersenyum kecut. Kemudian ia melipat kedua tangannya didepan dada.
Samuel, nama anak laki-laki itu hanya membalas perkataan Diandra dengan seringai kecil.
"Mau sampe kapan lu ngelakuin kayak gini?" ujarnya yang mulai bosan dengan kegiatan Diandra.
Bukannya membalas, Diandra malah berjalan santai ke pinggir lapangan. Mengambil bola oranye yang barusan ia lempar ke ring.
Ia kembali menggenggam bola itu lalu berbalik ke tengah lapangan. Postur tubuhnya saat ini menunjukan ia akan melakukan tembakan jarak jauh lagi.
Samuel menghela nafas panjang dipinggir lapangan. Jemarinya terulur meraih botol mineral didekatnya dengan wajah datar. Diteguknya air mineral itu dengan buru-buru hingga setengahnya mengalir dari bibirnya menyentuh permukaan leher.
Bosan, bosan, bosan, batin Samuel.
Tapi mau bagaimana lagi? Samuel harus mengikuti rutinitas Diandra. Gadis itu cukup keras kepala dan sulit diberitahu. Jadi yang bisa ia lakukan hanya menunggu sampai Diandra lelah dengan sendirinya.
"Oi. Bete banget kayaknya." ujar sebuah suara dari samping Samuel. Ternyata itu Diandra.
"Siapa juga yang enggak bete nontonin lapangan?" sahut Samuel sambil tersenyum sarkas.
Diandra tahu sifat Samuel. Walaupun murah senyum, namun anak laki-laki itu sering menyembunyikan pikiran yang sebenarnya. Hal itu yang dibenci Diandra. Karena dia adalah orang yang selalu berterus terang dengan pikirannya.
"Enggak usah senyum kayak gitu. Kalau bete, ya bete aja." ujar Diandra lalu merebut botol air mineral yang digenggam Samuel barusan. Tentu saja anak laki-laki itu tidak keberatakan dengan sikap Diandra.
"Kan kita harus selalu senyum ditempat umum pas lagi berduaan." balas Samuel, kali ini raut wajahnya kembali datar.
Diandra mengangguk pelan, ekor matanya meneliti ke setiap penjuru lapangan sekolah.
"Sekarang enggak apa-apa kok. Udah sepi." balas Diandra sekenanya.
Dan memang keadaan sekolah sudah sepi saat ini. Karena sudah melewati jam pulang sekolah sejak tadi.
"Haaah.." Samuel menghela nafas panjang sembari membaringkan kepalanya diatas paha Diandra. Menatap wajah gadis itu dari bawah.
"Gue keringetan lho," ujar Diandra mengingatkan. Saat ini ia sedang memakai celana basket kebanggaannyaㅡyang hanya menutupi setengah paha miliknya.
"Lu enggak bisa pakai celana yang lebih panjang?" ujar Samuel tajam.
Diandra terkekeh pelan. "Memang kenapa?"
"Perjanjian," tegas Samuel dengan nada sok serius.
"...lu boleh milikin badan gue, tapi enggak buat hati gue. Artinya nih, kalau orang lain ngeliatin paha lu berarti bukan milik gue doang 'kan?"
Pernyataan Samuel mengundang gelak tawa dari Diandra. Terkadang, anak laki-laki itu memang menggemaskan.
Samuel memajukan bibirnya sedikit saat mendapat reaksi Diandra. Gadis itu bahkan sampai mengusap air dipelupuk matanya setelah tertawa keras. Selucu itu 'kan pernyataannya?
"Puas banget lu." ujar Samuel yang tengah bangkit dari posisinya saat ini, namun tertahan oleh jemari Diandra yang menahan bahunyaㅡmembuat anak laki-laki itu kembali berbaring diatas pahanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjanjian
Teen FictionPeraturan sebagai pacar pura-pura: 1. Jangan biarin orang tahu kita yang sebenarnya. 2. Saling ada ketika membutuhkan. 3. You can have my body but not my heart. 4. Nyaman boleh, asal jangan sampai cinta. 5. Senyum, senyum, dan senyum didepan orang...