8

2.1K 454 36
                                    

"What?! Are you kidding me?!"

Naeun meninggikan nada bicaranya hingga membuat semua orang di tempat ini memperhatikan kami.

Saat ini kami sedang makan siang di sebuah restoran cepat saji. Dan keadaan restoran ini sedang sangat ramai oleh orang-orang yang hendak makan siang.

"Pelan-pelan, Naeun." tegurku.

Ia lantas menghela napas lalu menggigit burgernya dengan rakus. Membuat gadis cantik itu kini terlihat seperti singa yang kelaparan.

"Apa kamu sama Haechan gak pernah nunjukin hubungan kalian di kampus? Hyejin gak mungkin bakal bilang secara terang-terangan kalau dia suka sama Haechan kalau dia tahu hubungan kalian."

"Dan walaupun sekarang kalian udah putus, seharusnya dia gak bilang tentang hal itu sama kamu."

Pikiranku menerawang. Sejujurnya kami memang tidak terlalu menunjukkan kemesraan kami ketika di kampus. Aku dan Haechan biasanya hanya berjalan beriringan, makan bersama, dan juga duduk berdampingan saat kelas berlangsung.

Namun kami akan menjadi lebih dekat dan lebih banyak melakukan skinship ketika sedang berkencan atau berada di luar kampus. Entahlah, kami hanya sedikit malu untuk menunjukkannya di depan orang yang kami kenal.

Aku menghela napas, "So, what can i do? Aku juga gak bisa untuk mengontrol perasaan orang lain, Naeun. Itu hak dia mau suka sama siapa aja." Aku menggantung ucapanku.

"Termasuk Haechan."

"Ini bukan soal perasaan orang lain, Yuna. Ini soal perasaanmu sendiri. Emang kamu bakalan baik-baik aja kalau Hyejin suka sama Haechan. Dan kemungkinan terburuk, apa kamu bakal tetep baik-baik aja kalau mereka nantinya pacaran?"

Ucapan Naeun membuatku terdiam. Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana perasaanku jika Haechan berhasil menemukan penggantiku nanti. Bayangan itu masih terasa begitu menakutkan untukku.

Aku tidak menjawab pertanyaan Naeun dan memilih untuk memakan burgerku. Mencoba untuk mengabaikan kekalutan dalam hatiku.

Saat sedang makan, mataku menangkap sesuatu di lengan Naeun. Sebuah luka memar yang tampak mengintip di balik lengan baju panjangnya.

Dengan cepat aku menarik tangan Naeun dan melipat lengan bajunya. Emosiku seketika naik saat mendapati bekas cambuk yang cukup banyak di tangan kanannya.

"Sekarang kenapa lagi?" tanyaku sembari melayangkan tatapan kesal pada Naeun.

Wajahnya tampak muram. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.

"Dia marah karena aku pulang terlambat kemarin. Yah cuma dipukul pake ikat pinggang, kok. Untungnya dia gak lagi pegang rokok." ujar Naeun sembari tertawa miris.

"Kamu masih bisa ketawa? Dia udah bertahun-tahun melakukan kekerasan, baik itu ke kamu atau ibu kamu. Ayah kamu itu emang bener-bener ba-"

"He's not my dad!" Naeun memotong ucapanku.

"Aku gak punya Ayah. Dan bajingan itu gak pantes disebut sebagai Ayah."

Mata Naeun tampak berkaca-kaca, semua emosinya perlahan mulai muncul di wajahnya.

"Tiap hari kerjaan dia cuma mabuk, marah-marah, dan mukul aku sama Ibu. Orang kaya gitu gak pantes di sebut sebagai Ayah." Naeun berujar dengan penuh penekanan. Seolah menunjukkan betapa dia begitu membenci Ayahnya sendiri.

Mulutku seketika terkunci, tak mampu untuk mengucapkan sepatah kata pun.

Aku jadi merasa tidak enak pada, Naeun. Ia juga memiliki masalahnya sendiri, namun aku terus-terusan menceritakan masalahku dan seakan tidak peduli tentang dirinya.

We LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang