tiga

5.1K 598 231
                                    

"Pa, maaf."


▪▪▪▪

Duk!

Pyar!

Yogi menyentuh pelipisnya yang berdenyut kala vas mungil hiasan meja keluarga telah mendarat sempurna di sana. Alisnya saling bertautan merasakan sensasi denyutan yang hadir sambil memandang sayang ayah selaku pelaku utama, tengah berjalan dengan wajah memerah ke arahnya.

"Sini kamu!"

Yogi hanya diam kala tangan kurusnya ditarik paksa oleh Dimas. Tak ada niatan untuk berontak, sebab ia tau papa nya akan semakin marah jika ia banyak bicara.

Mata Yogi membulat saat melihat Dimas menggiringnya ke dalam gudang belakang rumah yang posisi nya terpisah dari mansion megah itu. Hatinya mendadak cemas dengan tatapan tak fokus.

"Pa ...."

Ceklek!

Bruk!

"Diem di sini, renungin kesalahan kamu seperti biasa. Besok bangun pagi dan sekolah, bi Kalsum bakal bukain pintu pagi-pagi."

Klik!

"Pa ...," ujar Yogi melirih. Tangannya mendadak gemetar saat pintu sudah tertutup menenggelamkan sosok Dimas hingga kegelapan sukses mengambil alih atensinya.

Lepas sudah topeng datar yang selama ini dipakai oleh remaja itu. Ia berusaha menarik gagang pintu besi itu, sedikit memekik guna meminta belas kasihan pada siapapun yang mendengar. Namun nihil, ia seolah hanya angin tak penting bagi Dimas, dan semua orang.

"Astaga ...."

Tubuh yang tengah bersandar di pintu itu lantas merosot. Yogi menekuk kaki kecilnya, lalu setelahnya, tetes demi tetes buliran air mata mulai meluruh dari mata kecilnya. Bibirnya bergetar, tangannya sudah mendingin. Yogi benci gelap.

Tak lama kepala itu pun mendongak dengan surai gelap yang menutupi kening mulusnya, mata sipitnya mulai menyusuri keadaan sekeliling.

Kotor,

Gelap,

Pengap,

Seram.

"Shit, gue tidur gelapan lagi?" Yogi berbicara seakan benda di sekelilingnya dapat mendengarnya. Ia lalu menghapus jejak air mata itu dengan kasar melalui jemarinya yang bergetar.

"Gue nggak apa-apa, oke. Cuma malam ini, semua bakal baik-baik aja."

Yogi menarik napas dan berulang kali mengucapkan sugesti pada dirinya sendiri agar rasa aneh di hatinya segera enyah. Ia berusaha menepis tubuh yang sudah bergetar ketakutan. Yogi memang bukan sekali dua kali dihukum di sini, tapi entah mengapa ia selalu merasa takut. Ayolah, ia masih bocah tujuh belas tahun yang masih berada dalam fase beranjak dewasa. Wajar jika takut dengan suasana menyeramkan seperti ini. Lagi pula, Yogi itu benci gelap.

Remaja pendek itu lalu berdiri dengan sedikit terhuyung. Kepalanya mendadak pusing akibat tekanan takut yang berlebihan. Ia meraba benda usang di sekitar, memanfaatkan cahaya yang masuk melalui celah ventilasi udara.

BUNGSU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang