(Bukan)Mesin waktu

1 0 0
                                    

Kepalaku rasanya pusing, perlahan-lahan kubuka kedua mataku. Berat. Mungkin sudah siang, pikirku. Aku mengerjapkan mata, melihat sekelilingku, rasanya tak asing, tapi dimana?

Aku yang masih terduduk mengingat-ingat ruangan apa yang sedang aku tempati saat ini, dan dimana sebenarnya aku sekarang. Susah payah aku menggali memori dalam kepalaku ini.

Ah, iya. Ini adalah masjid tempat biasa aku mengaji. Tapi, rasanya masjid ini sudah dipasang AC dan sebagainya, bangunannya juga sudah tak seperti ini lagi. Ini seperti bangunan masjid saat aku masih kelas 4 SD. Apa mungkin pengurus masjid ini sengaja merombak kembali masjid dengan nuansa seperti dulu? Ah entahlah. Akhirnya susah payah aku berdiri, rasanya badan ini telah dipakai untuk perjalanan yang sangat jauh.

Keluar dari masjid, rasanya semakin aneh. Karna ternyata bangunan di sekeliling masjid benar-benar seperti waktu aku kelas 4 SD dulu. Seakan-akan aku sedang berada dimasa lampau itu. Karna penasaran, aku memilih untuk keliling dan mencari tau apa benar prasangkaku. Ternyata, benar saja seperti dugaanku, semua bangunan serta orang-orang yang ada disini persis saat aku masih kelas 4 SD, ketika itu usiaku mungkin masih 10 tahun. Hanya saja, sepertinya mereka tak bisa melihat keberadaanku, bahkan aku seperti bayangan yang tak terlihat dan tak bisa tersentuh oleh mereka.

Aku melihat rumah teman-teman masa kecilku, melihat mereka ada di beranda rumah sedang bermain. Rindu ternyata bisa ada di masa menyenangkan itu, tak pernah perduli dengan banyak hal selain pelajaran sekolah dan omelan orang tua. Masih bisa sering menghabiskan waktu bersama hanya dengan berteriak memanggil nama mereka di depan rumah mereka. Aneh, tumben sekali aku sedang tak bersama mereka? Ah iya, mungkin saat itu aku sedang disuruh sesuatu oleh mama, atau baru saja mandi. Aku juga melihat guru ngajiku, dulu usia ustadz itu masih muda, sekitar 18 tahun, 2 tahun lebih muda dariku di masa sekarang.

Aku ingat, dulu aku dan teman-teman dekatku adalah murid yang paling bandel di kelas, yang paling tak mau mendengarkan apapun yang ustadzku katakan. Bahkan terkesan meremehkan.
Saat aku sedang melamun memandangi guruku yang tengah membersihkan kelas pengajian, seseorang menabrakku dari belakang. Eh, tunggu, kenapa ada yang bisa menabrakku? Padahal daritadi aku tak nampak di hadapan mereka. Aku bangun dan membersihkan debu di rokku, sambil melihat siapa yang bisa menabrakku.

Deg! Aku terkesiap melihat siapa pelakunya. Berbeda dengan dia yang masih memunguti Mainan Gambaran nya, masih belum menoleh ke arahku. Guruku menoleh kearah kami. Ah, bukan,lebih tepatnya hanya ke orang yang menabrakku.

"Gak ada angin gak ada ujan, kok bisa jatoh sih?" tanyanya. Ya, dia masih tak bisa melihatku.

Yang diajak ngobrol menoleh setelah selesai membereskan mainannya yang berserak.

"Lah gimana gak jatoh kalo mba ini ughh------"

Aku refleks menutup mulutnya, dan memberi isyarat supaya dia tak memberitaukan keberadaanku.

"Halah, gak jelas dasar." Kemudian laki-laki itu kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Sedangkan seseorang yang masih kututup mulutnya melotot ke arahku sambil menghempaskan tanganku. Iya, dia adalah diriku 10 tahun lalu. Dia sama sekali tak mengenaliku, tapi aku sangat mengenali wajahku, meskipun ketika itu aku belum menggunakan kacamata.

"Mba ini kenapa sih? Iya aku tau aku salah nabrak mba, tapi kan gak usah ditutup juga orang lagi ngomong."

"Maaf maaf, saya gak maksud gitu, tapi tolong ikut saya bentar ya? Gak usah tanya kenapa, saya gak bakal jahat ke kamu."

Aku mengajak aku kecil ke taman bermain yang sering kudatangi bersama teman-temanku, di masa mendatang taman itu masih ada, dengan mainan yang sudah rusak semua tanpa ada peremajaan fasilitas.
Kita duduk berdua di kursi taman, di bawah pohon Ceri, di masa ini, suasananya masih sangat sejuk dan terasa menyenangkan.

"Jadi, kenapa aku diajak kesini mbak?"

"Oly, saya adalah kamu di masa 10 tahun yang akan datang."

"Eh? Beneran?!"

"Mm hm"

"Jadi, dimasa  mendatang aku bakal pake kacamata? Kenapa?"

"Ya karna aku suka baca, dan aku masih suka nulis, kayak yang kamu sering lakuin kan, nulis puisi dan sebagainya."

"Trus, mbak udah jadi penulis?"

"Haha, nggak, nggak terwujud. Tapi, ada yang lebih penting dari itu. Mimpi yang seumur hidup selalu kita impikan, dan selalu jadi tujuan utama kita. Jadi seorang penyampai, ustadzah."

"Yang bener?! Pada akhirnya aku jadi ustadzah?! WAAAAAAH KEREEEEN.."

Mendengar seruan kebanggaannya itu, malah membuatku tertunduk, malu.Memang itulah mimpiku seumur hidup, apapun hobiku. Melihat kenyataan yang telah kulalui ternyata memang berat.

"Iya, emang keren banget kan, bisa nerusin cita-cita mama sama bapak. Tapi...."

"Loh, tapi kenapa mbak?"

"Tapi, kenapa saat aku masih seusia kamu, aku suka nakal sama mas ustadz tadi itu. Sekarang kamu masih suka bandel dan ngejailin dia kan? Ngaku aja!"

"Hehe, iya sih, dikiiit, tapi apa hubungannya?"

"Karna sesuatu yang kamu tanam hari ini, kelak kamu juga akan merasakannya. Hari ini kamu bandel, gak mau dengerin omongan guru,dan sebagainya. Besok, muridmu juga akan ngelakuin hal yang sama saat kamu jadi guru."

"Ah, gitu ya.."

"Iya, coba mulai saat ini kamu belajar menghargai gurumu, jangan buat dia putus asa ketika harus mendidikmu. Semenyebalkan apapun dia hari ini, kelak dialah ustadz yang paling akan kamu kenang dengan menyenangkan."

"Hmm, ya, insyaAllah aku coba deh nanti."

"Oh ya, aku mau titip sama kamu. Tolong, sayangi mama bapak dengan sangat baik. Mungkin dari dulu mama bapak emang udah galak dalam mendidik kita, tapi tenyata itu semua sangat berguna di masa depan. Jangan pernah ngelakuin hal-hal konyol saat kamu kecewa sama mereka. Di masa depan akan banyak masa-masa berat yang kamu hadapi bersama mama bapak, tentu aja bikin kamu makin dewasa. Kamu juga akan punya adik laki-laki, sayangin adik kamu sebaik mungkin.
Soal sahabat-sahabat kita di masa ini, aku sedih, disaat kita semua sudah jadi seorang penyampai, seseorang dari kita justru harus lepas dari genggaman. Makanya, tolong dekap dia dengan sangat baik, nasehati dia dan jangan pernah melakukan hal konyol yang berdampak negatif nantinya."

Setelah puas bicara, tiba-tiba saja rasanya sangat ringan, tubuh ini serta pikiranku serasa melayang, aku menutup mata. Ketika aku membuka mata,ternyata aku sudah berada di depan kelas, dengan murid-murid yang memandangiku heran.

"Ibu kenapa ketiduran dan sampai nangis kayak gitu?"

Ah, rupanya semua tadi itu hanya mimpi belaka. Aku menyeka ujung mataku dan membalas mereka dengan tersenyum, seolah semua baik-baik saja.

Terima kasih, aku 10 tahun yang lalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 11, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When i met my 10 years agoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang