19. J a d i a n

382 21 14
                                    

"Aku sukanya sama kamu."

Anisa dan Anggun langsung tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ceritaku tentang kejadian hari jum'at kemarin, saat aku jalan bersama Arkan.

Sialan. Aku baru tahu, ternyata Arkan adalah saudara jauh dari Anisa. Konyol sekali.

"Lagian kenapa nggak bilang sih kalau Arkan tuh masih saudaramu. Aku jadi mikir dia lagi PDKT sama kamu tahu."

"Sengaja memang. Lagian kamu nih nggak peka banget jadi orang. Anggun aja tahu kalau Arkan masih saudaraan sama aku."

Aku langsung menoleh ke arah Anggun yang masih tertawa terbahak-bahak.

"Kamu kok nggak bilang sih?"

"Salah siapa nggak nanya. Kamu nggak pernah lihat ya Anisa pulang bareng sama Arkan dulu?"

Masa sih?

"Aku nggak pernah tahu tuh. Terus waktu kita ngomongin Anisa diantar Arkan sampai ke kelas itu kamu juga diam aja. Malah ikutan curiga kalau mereka lagi PDKT."

"Sengaja memang."

Sialan, aku benar-benar dikerjain. Pantas saja Anisa tersenyum aneh padaku.

"Ini tuh salahmu yang nggak pernah peka sama sekitar. Arkan tuh pernah ngantar bekalku loh kesini dulu. Masa kamu nggak ingat sih? Aku ingat banget kamu yang paling getol ngledek aku. Padahal aku sudah bilang kalau dia saudaraku."

"Aku kan nggak tahu kalau dia orangnya."

Sekali lagi, kedua temanku itu tertawa terbahak-bahan.

"Jadi sekarang sudah jadian dong ya?"

Mendengar pertanyaan Anggun, aku jadi teringat saat Arkan menyatakan perasaannya padaku.

"Anisa itu saudaraku. Dia adik saudara iparku. Rumah kami juga searah. Dulu waktu pertama kali aku masuk sekolah di PLB juga sering berangkat bareng sama dia."

Aku diam, masih syok dengan pernyataannya yang tiba-tiba itu.

"Aku tahu kamu temannya Anisa. Maaf sudah bertindak nggak benar dengan deketin Anisa biar bisa selalu lihat kamu. Jadi bikin kamu salah paham.

"Aku suka sama kamu Cintya. Sejak kita dapat masalah karena kepergok berduaan di toilet."

Hening sejenak. Aku masih mencerna ucapannya.

"Mau ya jadi pacarku?"

"Heh! Malah ngalamun. Sudah jadian belum?"

"Sudah kok, Arkan sendiri bilang ke aku udah jadian katanya. Tia juga ternyata naksir loh, tanpa cerita sama kita."

Seketika aku ingin membantah, tetapi Anggun menyela. "Halah, tanpa dia cerita juga udah kelihatan gelagatnya. Kayak cacing kepanasan gitu."

Bak hewan liar yang dilepas dari kandangnya. Anisa dan Anggun langsung meraung sangking girangnya. Mereka ini lagi nggak sadarkan diri ya kami sedang dimana. Bikin malu saja.

"Ya sudahlah ya, biasa aja."

Mereka nggak menggubrisku. Dasar.

"Selamat deh kalau gitu, hahaha. Berarti tinggal Anisa nih yang masih menjomlo." Anisa mendengus sok-sok sebal.

Aku jadi ingat pernah menyuruh Mas Raka untuk menghubungi Anisa. Sudah terlaksana belum ya?

"Eh, Mas Raka sudah hubungi kamu belum Nis?"

Anisa yang tadinya merenggut sebal langsung semringah.

"Sudah kok. Asik banget tahu orangnya. Tapi kayaknya nggak cocok buat dijadiin pacar."

"Kenapa nggak cocok?"

"Agak sedikit nggampangin gitu sih orangnya, tapi ya ada carenya dikit lah. Lagian aku sudah ada gebetan kok. Hahaha"

"Halah, tapi nggak jadian-jadian."

Dan seperti biasa. Perdebatan mereka masih berlanjut.

"Cintya. Dicari babang Arkan nih."

Aku langsung menoleh ke sumber suara, ternyata Dicky pelakunya. Ia sedang berdiri di depan meja dekat pintu kelas sambil cengengesan. Dasar cowok kurang belaian.

Aku berdiri menghapirinya dengan iringan sorakan norak dari Anisa dan Anggun.

Terserah!

"Ada apa ya Mas?" Arkan menoleh dan langsung tersenyum manis. Mimpi apa aku bisa pacaran sama orang seperti Arkan.

"Sudah bell istirahat kok kamu belum keluar?"

Aku tersenyum sambil mengangguk. "Lagi ngobrol sama teman-temanku kok."

"Ngobrolin aku ya?"

Otomatis aku langsung tertawa. Karena tebakannya memang tepat sasaran.

"Nggak mau ke kantin? Atau aku beliin makanan aja? Kamu bilang kamu belum sarapan tadi Pagi."

Begini ya rasanya diperhatikan? Arkan memang bukan pacar pertamaku. Tetapi karena aku sudah lama menjomlo jadi terasa seperti pertama kali pacaran.

Ngomong apa sih kamu Yak. Alay.

"Terserah Mas Arkan aja deh. Mas Arkan sendiri mau makan lagi nemenin aku?"

"Boleh aja, tapi jangan di kelas ya? Malu aku dilihat teman kelasmu." Aku mengangguk mengiyakan.

Aku meminta ijin sebentar untuk berpamitan dengan kedua temanku. Tidak lupa dengan sorakan alay dari mereka. Setelah itu mengikuti Arkan entah kemana untuk makan bersama.

*

Diam Diam Suka ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang