Math and More
***
Park Jimin itu tidak banyak bicara. Setidaknya itu yang kebanyakan orang tahu. Padahal sebenarnya saat dia sudah mengenal lawan bicaranya, dia banyak bicara. Sangat banyak sampai hampir tidak ada hentinya.
Jadi inilah yang terjadi pada Min Yoongi. Entah mungkin karena ini hari Jumat jadi dia diberikan Tuhan sedikit cobaan sebelum istirahat tanpa gangguan besok. Selama dua puluh lima tahun hidupnya dia tidak pernah merasa begitu pusing. Rasanya hidupnya penuh masalah. Pusatnya masalahnya? Park Jimin, anak tetangganya yang masih enam belas tahun, yang manis, yang punya senyum lucu karena setiap tersenyum matanya menghilang, yang punya bibir tebal yang merah merekah. Yang manis. Sangat manis. Dia tidak berhenti membicarakan soal kartun konyol yang dia lihat di televisi kemarin sore, tapi beberapa saat kemudian, dia menangis.
Park Jimin anak pendiam yang manis, yang penurut, yang selalu rajin sekolah, sedang menangis di hadapannya karena Matematika. Gila.
"Hei... Aku hanya tanya bagian mana yang kau tidak mengerti." Yoongi mengusap pelipisnya yang mulai sakit. Dia tidak begitu pandai mengurusi orang yang menangis, terlebih lagi saat dia tidak tahu masalahnya.
"Aku tidak tahu... huhu...." Anak itu kembali menangis.
Yoongi tidak mengerti bagian mana yang membuat Jimin begitu sedih. Apa? Yang mana? Pertanyaannya tidak sulit. Apa yang salah?
"Kalau begitu, bagian mana yang menurutmu susah?" tanya Yoongi lagi. Dia tidak mengerti mengapa Matematika bisa membuat Jimin menangis begini.
Jimin menyembunyikan wajahnya di atas meja, tangannya dia jadikan penutup. Dia duduk di atas karpet. Buku Matematikanya berserakan di depannya, lalu ada Yoongi yang duduk di hadapannya, di atas sofa, melongo bingung.
"Kalau kau menagis terus mereka akan kira aku menyiksamu." Yoongi mengeluh.
"Aku... Yoongi hyung... Aku hanya ingin pindah sekolah. Tidak ada hubungannya dengan Matematika. Aku mohon?" Jimin akhirnya menunjukan wajahnya yang penuh air mata. Seragam sekolahnya berantakan, benar-benar seperti orang yang baru saja disiksa.
"Kau jelek saat menangis. Ceritakan padaku apa masalahnya." Yoongi mengalah. Dia merelakan sapu tangannya dan mengusap air mata di wajah Jimin.
"Mereka tidak suka aku, hyung." Wajah Jimin sekarang terlihat seperti anak anjing yang ditinggal pemiliknya, sungguh tidak bisa ditolak oleh siapa pun.
"Mereka?" Yoongi mulai tertarik.
Sejak tiga hari yang lalu Yoongi mulai mengajari Jimin Matematika. Ibu Jimin meminta Yoongi melakukannya dengan suapan daging sapi terenak di dunia ini, menurut Yoongi, dan dia tidak bisa menolak. Sebagai orang yang tinggal seorang diri, masakan rumahan seperti itu adalah kunci baginya.
Menurut ibunya, entah mengapa, Jimin ingin pindah sekolah dan jawabannya adalah karena dia merasa tidak mampu mengerjakan soal Matematika di kelas. Awalnya Yoongi pikir ini semua mudah. Hanya perlu mencari tahu apa yang Jimin tidak bisa kerjakaan dan selesai. Dia akan kembali ke pekerjaannya yang mejengkelkan. Lalu selama tiga hari Yoongi melihat Jimin mengerjakan soal-soal Matematika yang dia berikan, terlihat jelas anak itu tidak punya masalah sama sekali akan Matematika karena itulah, Yoongi memutuskan untuk mengubah cara belajar mereka, yaitu dengan menanyakan bagian yang Jimin tidak tahu atau tidak mengerti.
Namun, jelas sudah. Semuanya adalah metode yang salah, melihat bagaimana anak itu menangis dan sedih.
"Aku... Aku tidak sengaja menumpahkan air minum yang Sangmin bawa dan... Sejak hari itu mereka mengangguku...." Wajah Jimin terlihat takut. Mungkin dia diancam atau apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days Fanfiction Challenge
FanfictionSelama 30 hari; satu hari, satu fanfic, beda genre. You are welcomed to join💛