"Hahaha" lelaki itu tertawa, tangannya memegang ujung pistol yang masih hangat sedang matanya memincing. Dia berlahan berjalan menuju targetnya, tersenyum dan membuang muka.
Si target tak berkutik, Dia sudah tidak punya tenaga lagi. Dari kaki kanannya terus keluar darah akibat bidikan pistol. Bibirnya di plester sedang tangannya terikat kencang. Dari ujung matanya keluar air, Ia menangis. Bukan, dia tidak menangis karena takut tetapi dia enggan percaya. Terlalu sulit memercayai ini semua dan menyakitkan.
Orang yang memegang pistol itu duduk di kursi sambil tetap menatap targetnya, kini Ia tak memegang pistol melainkan sebuah tongkat panjang dengan ujung runcing "Kau tahu? Aku bisa menusukmu dengan ini" Dia nampak beringas namun kemudian nampak sedih "tapi aku tak tega" dan kemudian tertawa sambil kembali mendekati sang target, membuka perekat yang menutup kencang kedua bibir sang target "bicaralah"
Sang target hanya tersenyum, matanya menatap hangat orang di depannya "Aku percaya...." dia berhenti, mencoba untuk tidak menangis "kau orang yang baik"
Orang di depannya, yang memakai pakaian serba hitam kembali tertawa "Aku baik? Kau tahu? Aku sudah membunuh berapa orang? Hahaha" mata itu memincing tajam, wajahnya mendekat ke arah target "Bangunlah!" Dia berteriak lalu bangun dan menendang kursi hingga terkoyak.
Tapi targetnya kembali tersenyum, air matanya tak mau berhenti dan tatapan itu masih hangat. Tak ada kebencian dimatanya, dia tahu orang di depannya itu adalah orang baik. Dia tahu jelas -melebihi siapapun. Maka yang bisa dia lakukan hanyalah menatap matanya lalu tersenyum sambil terus berdoa semua akan baik-baik saja.
"Aku muak melihat senyummu" Pria berpakaian serba hitam itu menendang kaki targetnya, darah semakin deras mengalir membuat sang target meringis kesakitan "Sakit? Hahaha" dia tertawa terbahak tapi entah mengapa ada yang menetes dari kedua pelupuk matanya, tiba-tiba ia merasa sedih dan sakit.
"Aku akan membantumu, aku tahu kau bukan orang jahat" Sang target kembali berkata kini dengan sisa tenaganya ia mencoba mendongak, melihatnya. Dia tahu, orang di depannya sekarang sedang berpikir bahkan Ia melihat air mata itu "Kau baik hati, semua orang menyukaimu" Dia berhenti lagi, menatapnya "Aku akan membantumu melewati semuanya."
Lelaki berpakaian hitam itu menatap lama sang target, berpikir sesuatu namun kemudian tertawa "membantuku katamu? Bahkan aku tidak bisa membantu diriku sendiri" Dia kini sudah beralih menatap keluar lewar jendela besi yang berkarat.
Beberapa menit keheningan terjadi, sang target membiarkan lelaki itu diam. Mungkin dia sedang memikirkan tawarannya atau entahlah.
Tukkk tukk tukkk suara itu terdengar nyaring menembus keheningan. Bau mentol tajam menusuk hidung dicampur bau asap rokok. Pintu ruangan itu terbuka, memperlihatkan sosok paruh bayu yang berjalan dengan tongkat. Dia tersenyum menatap sang target lemas tak berdaya "Bagus, anakku" pria paruh baya itu memuji.
Sang target bertukar pandangan dengan lelaki berpakaian hitam itu. Sang target memandang dengan penuh harap, mencoba meyakinkannya lewat pandangan. Dia yakin jika bersama mereka bisa melewati itu semua -walaupun dia masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
Kini, sang target menunduk lesu dan membuang napas panjang. Satu keyakinan tertancap dihatinya, semua akan baik baik saja seperti kata lelaki berbaju hitam itu padanya, beberapa tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dark House (Seventeen Fanfic)
FanfictionDia berusaha untuk tidak dikendalikan tapi terlalu menyakitkan untuk melawan. Dia punya dua kehidupan dengan sisi yang berlawanan. Dia diselimuti kepedihan tapi dia enggan mencari kebahagiaan. Dia sudah tenggelam oleh kebencian, dia tenggelam deng...