1

53 4 5
                                    


"Apa mauku? Apa maumu?"

Tianlo menggonjreng ukulele sambil mengeluarkan suara emas-bungkus-cokelat-koin miliknya.

"Selalu saja menjadi satu masalah yang tak kunjung hen-"

"Jelek."

Ukulele butut itu melayang ke arah Liling.

Sejak Tianlo dan Liling bertemu, hanya total satu menit dimana mereka mengerti ramah tamah. Satu menit itu adalah ketika Tianlo memperkenalkan dirinya dan berusaha mengajak Liling bicara, sebelum Liling membalas sapaan tulus dan ikhlas Tianlo dengan respon terlarang.

"Hmph."

SUSAH AMAT SIH MAU KENALAN SAMA ORANG.

Cukup dengan satu dengusan, Tianlo menyatakan dia dan Liling rival sehidup semati hingga alam kubur dan kehidupan lain nanti. Memang Tianlo suka drama. Suka terang-terangan membenci orang dan membuat hidupnya serta orang itu tak tenang.

Kalau saja Liling agak jauh sedikit darinya, Tianlo akan bisa sedikit kalem dalam cibirannya. Masalahnya takdir selalu mempersatukan mereka. Terus menempel (atau ditempelkan?) kayak magnet dan besi, magnet dan baja, serta magnet dan kulkas. Mereka sekelas, satu kelompok piket, satu kelompok belajar di mana Liling selalu jauh lebih pintar dari Tianlo. Bahkan ketika mengundi menentukan tim olahraga pun mereka sering berakhir bersebelahan. Seperti kebakaran, air selalu datang untuk memadamkannya. Liling juga bagaimanapun caranya selalu muncul untuk membuktikan dirinya lebih baik dari Tianlo.

Rivalry jalan, tapi Tianlo terlalu hebat untuk menjadi saingan Liling. Terbaik.

Nggak mau lagi melihat Liling menderita karena selalu ia kalahkan, Tianlo memutuskan untuk memotong tali permusuhan dengan Liling dan menggantinya dengan tali silaturahmi persahabatan. Kan kasihan juga, Liling selalu menyendiri dan satu-satunya orang yang peduli terhadap dia hanya Tianlo.

TAPI LILING TUH EMANG SETAN YA TIANLO AJAK BAIKAN MALAH DIKATAIN JELEK KAN MENDING BAKAR AJA INI BOCAH SIALAN HADOOOOOOHHHHHHHH.

Tianlo nyebut. Wayolo.

"Aku ini kan mau berbaikan denganmu!" Tianlo ngomel-ngomel sambil dorong-dorong meja ke tempat yang benar. Udah susah-susah dorong meja dan bikin panggung konser khusus untuk Liling, malah dikatain jelek. Tianlo tobat, Mama.

"Kan kamu yang mulai permusuhan?" Liling menjawab seenak jidat jenongnya sambil menyapu serpihan ukulele yang tadi dilempar Tianlo tapi meleset kena dinding.

"LU YANG JUTEKIN GUE PAS AWAL KENALAN"

"Masalah amat sih buat lo." Jawaban Liling masih dingin sedingin 'Planet' Pluto yang dimasukkan ke dalam freezer.

Tianlo manyun, ogah buka mulut. Tadinya mau bilang 'Lo gue end' tapi untuk menambah efek dramatis, Tianlo memilih diam. Pasti lebih membekas buat Liling.

"Kau sudah selesai membereskan meja?" Liling melirik Tianlo ketika bunyi geseran meja tidak terdengar lagi. Tianlo yang duduk di kursi mendengus tanpa bicara apapun.

Liling menghela nafas melihat tingkah Tianlo, kemudian menyuruh layaknya Raja dari negeri seberang pada budak miskin, "Sana hapus papan tulis."

Tianlo mendengus sekali lagi, namun melaksanakan perintah rivalnya. Papan tulis dia hapus dengan gerakan kilat, Liling bahkan baru menyapu satu baris lantai ketika Tianlo kembali duduk di kursi di hadapan Liling dan tersenyum penuh kemenangan.

Untung Liling jago kontrol diri. Kalau nggak, bisikan kata 'bangsat' sudah keluar dari mulutnya.

"Kau menyapu saja. Biar aku yang mengepel."

Air dan ApiWhere stories live. Discover now