"Mencintai itu tak harus punya kekasih
Cukup cintai diri sendiri dulu
Belum tentu kekasih membahagiakanmu
Jika hanya memberi harapan palsu
Yang membuatmu merindu."~Muhammad Iqbal Nasution~
•------------------------------•
“Arghh!” teriak seorang gadis dari arah bilik kamar atas.
Nampak tetesan darah terjatuh ke lantai keramik berwarna cream, merah pekatnya mengotori lantai yang bersih itu. Menetes juga air jernih yang jatuh dari pelupuk mata gadis kecil, memegang sebuah silet tajam. Mungkin itu penyebab lengannya berdarah, dia menyakiti dirinya sendiri.
“Siapa aku sebenarnya? Kenapa aku tidak mempunyai ayah dan ibu?” keluh gadis itu dengan air mata yang tercucur semakin deras.
Athala Lavinsky, nama gadis berusia 16 tahun itu. Rambut hitam tergurai Indah, bibir merah merona, kulit putih dan halus, serta wajah cantik dan mungil, deskripsi singkat gadis itu. Sedari kecil Athala atau biasa dipanggil Thala, tak tahu siapa keluarganya, yang ia tau hanyalah, dia seorang gadis sebatang kara, yang diasuh oleh sepasang suami istri yang sederhana.
Pagi hingga malam, malam bertemu pagi lagi, orangtua asuhnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi dengan perilaku Thala yang suka menyakiti dirinya sendiri. Terkadang Bu Tuti, nama ibu asuh Thala, ikut bersedih ketika mendengar tangisan pilu dari anak asuhnya itu.
Bu Tuti bekerja sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah, gajinya tidak seberapa dengan gaji seorang manager. Uang hasil pekerjaannya, dibelikan untuk makan sehari.
“Thala, Ibu ke rumah bu RT dulu ya, tadi bu RT ngasih kerjaan,” ujar Bu Tuti berpamitan kepada Thala.
“Iya Bu, Ibu hati-hati ya. Ouh ya Bu, bapak kemana ya?” tanya Thala yang melihat ke kanan dan kiri.
“Bapak kamu sudah pergi ke sawah, kalau kamu makan itu udah Ibu siapin,” ucap Bu Tuti.
“Iya Bu, makasih ya Bu, udah repot-repot mengurus Thala dari kecil,” ucap Thala dengan perasaan sedih. “Padahal Thala bukan anak kandung Ibu. Thala merasa jadi beban di kehidupan Ibu dan Bapak.”
“Kenapa kamu bicara seperti itu Nak, Ibu dan bapak ikhlas mengurus kamu, dan juga kamu itu sudah seperti anak Ibu dan Bapak,” sanggah Bu Tuti yang tidak setuju dengan ungkapan Thala yang merendah. “Sudah, kamu jangan bicara seperti itu lagi. Ibu pergi dulu ya, assalamualaikum.” Bu Tuti pun pergi ke rumah Bu RT.
“Waalaikumsalam,” balas Thala yang melihat ibunya sudah jauh dari pandangannya.
Kebetulan pagi itu hari minggu, jadi Thala libur sekolah. Biasanya, Thala menghabiskan libur dengan menyakiti dirinya sendiri. Mulai dari menyayat lengannya, menunjukkan kepalan tangannya ke dinding, dan juga ingin melakukan bunuh diri, namun ia mengurungkan niatnya yang itu.
Karena saat itu perutnya terasa lapar, Thala memakan masakan yang dimasak oleh ibunya. Dibukanya tudung saji berwarna biru, dan melihat isinya. Ternyata isinya hanya nasi, tempe goreng, dan sambal kecap.
Menurut Thala, makanan itu sudah lezat baginya. Karena makanan itu dimasak dengan penuh cinta dan kasih sayang dari orangtuanya. Thala sangat menyayangi orangtuanya itu, padahal tidak ada hubungan darah sama sekali diantaranya.
Dilahapnya dengan penuh rasa syukur, Thala merasakan kebahagian tersendiri berada di tengah-tengah keluarga kecil dan sederhana namun penuh makna di matanya. Walaupun, ia masih bertanya-tanya siapa keluarga kandungnya.
Seusai sarapan, Thala bersiap-siap untuk pergi berjalan-jalan mengelilingi desa. Rambut basah yang mengkilat, bibir mungil merah merona, dan wajah yang penuh kepolosan. Sekarang Thala sudah siap keluar rumah, ditemani oleh keponakan ibunya.
“Ya ampun Thala, kamu cantik banget,” ujar Lily.
“Kamu bisa aja Ly. Ya udah berangkat yuk,” ajak Thala dengan senyum yang penuh kebahagiaan.
“Semangat banget La, matanya sampai berbinar-binar gitu,” goda Lily.
“Iya dong, inikan hari minggu. Kita harus nenangin pikiran dulu,” ucap Thala dengan semangat.
“Hmm, iya deh.”
Lily melihat penampilan Thala, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tak sengaja, Lily melihat luka goresan yang ada di lengan Thala, seketika Lily panik.
“La, kamu masih suka sayat tangan kamu. Kan udah aku bilang jangan lakuin itu lagi, apa manfaatnya coba,” omel Lily yang sudah biasa melihat Thala dengan lengan yang penuh luka goresan. Lily yang panik kini diam.
“Hmm, maaf Ly. Aku cuma emosi aja kemarin,” ujar Thala yang merasa bersalah.
“La, aku tau kamu dari kecil gak sama orangtua kandung kamu, tapi seenggaknya kamu menjaga dam mencintai diri kamu sendiri. Jangan sampai sayat tangan kayak ini La. Ingat La, bibiku sangat sayang sama kamu, walaupun dia bukan ibu kandung kamu.” Lily menasehati panjang lebar, Thala hanya menunduk merasa bersalah.
Thala tahu, banyak yang menyayanginya, Seperti Lily contohnya.
“Hmm, ya udah jangan dipikirin. Yang terpenting kamu jangan ngelakuin itu lagi ya La. Ya udah yuk pergi!”
“Makasih ya Ly.” Thala memeluk Lily yang ada di hadapannya.
“Iya, sama-sama. Ya udah tutup pintunya dulu La,” suruh Lily.
Setelah menutup pintu rumah yang sederhana itu, Thala dan Lily pun pergi berkeliling desa. Udara sejuk, mentari yang cerah, embun yang masih menempel di daun, dan awan putih indah di langit. Sungguh pemandangan yang sangat sempurna untuk menenangkan hati dan pikiran.
Sepanjang jalan, Thala dan Lily mengobrol dengan asyiknya. Terkadang gelak tawa terdengar dari mereka.
“La, kamu masih ingat gak?” tanya Lily.
“Ingat apa Ly?” Thala malah bertanya balik.
“Itu loh, waktu kamu ngompol.” Lily mengingatkan kenangan masa kecil Thala.
“Ih Lily, jangan cerita itu dong. Kan aku jadi malu,” ucap Thala sambil memukul lengan Lily.
“Gara-gara kamu ngompol, aku yang repot. Aku yang bantuin bibi nyucinya, jemurnya, terus ngangkatnya ke kamar kamu. Kan repot,” Lily menyilangkan kedua tanggannya di atas dada.
“Ya maaf atuh,” ucap Thala sambil menutup wajahnya karena merasa malu, jika mengingat kenangan masa kecilnya.
Banyak yang mereka ceritakan di sepanjang jalan. Namun, langkah Thala terhenti di satu titik dekat sawah. Dia tak sengaja mendengar cibiran ibu-ibu yang sedang menanam padi.
“Kok, bu Tuti mau ya ngurusin si Thala. Padahal, Thala itu nyusahin bu Tuti,” ucap salah satu ibu yang ada di sawah itu.
“Iya ya, kemarin aku juga dengar Thala marah-marah sendiri di rumah bu Tuti,”
Thala yang mendengar itu merasa marah bercampur sedih, Thala mempercepat jalannya. Lily yang berusaha menyamai langkah Thala hanya bisa menenangkannya.
“La, kamu gak usah dengerin omongan ibu-ibu itu. Bibi bersyukur bisa ngurusin kamu La, kamu gak usah emosi, apalagi menyakiti diri kamu sendiri La. Kalau kamu lakuin itu, bibi bakalan sedih melihat anak gadisnya yang cantik ini terluka, kumohon jangan buat bibi sedih La. Kamu gak kasihan liat bibi?” tanya Lily yang masih berusaha menyamai langkah kaki Thala.
Ucapan Lily hanya dijadikan angin lalu oleh Thala, dia masih emosi saat mendengar ucapan ibu-ibu tadi.
“Thala, ingat juga paman. Dia banting tulang demi kamu, demi keluarga kecilnya La. Jangan buat mereka sedih La,” ucap Lily.
Thala tetap saja tak mendengarkan perkataan Lily, dia hanya fokus berjalan menuju rumahnya.
Setelah sampai di rumah, Thala langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Terdengar suara teriakan dengan tangis yang membalut. Lily yang mendengarnya, hanya bisa diam dan bersedih.
“kenapa seperti ini? Apa aku sudah menyusahkan banyak orang? Apa aku sudah membuat repot banyak orang?” keluh Thala yang sedang memegang silet di tangannya, bersiap untuk menyayat lengannya lagi.
“Arghh!” teriak Thala dengan pilu.
Deru tangis yang pilu, nafas yang tak terkontrol, dam air mata bercucur deras. Thala meratapi omongan yang dia dengar di sawah tadi.
“Lebih baik aku mati saja, biar gak ada lagi yang membicarakanku!” Thala mengarahkan silet yang dia pegang ke arah nadinya. Lily yang mendengar perkataan Thala seperti itu, langsung menggedor-gedor pintu kamar Thala.
“La, jangan lakuin hal yang enggak-enggak. Ingat La, itu dosa. Dan ingat juga bibi, paman, dan aku La. Jangan dengerin omongan orang yang di luar sana La, mereka bukan yang mengasuh kamu. Aku mohon jangan lakuin itu, kami semua sayang kamu La,” seru Lily dari luar kamar Thala.
Mendengar ucapan Lily, Thala menghentikan perbuatannya. Dia membuka pintunya, lalu memeluk erat Lily. Tangis masih bersemayam di matanya, Lily hanya bisa menenangkan Thala.
Lily mendudukkan Thala di pinggir kasurnya, mencoba menghibur Thala. Akhirnya Thala berhenti menangis, dia tertidur karena kecapekan.
Senja kini berganti malam yang sepi, bu Tuti dan pak Dayan sudah pulang dari bekerja. Melihat anak semata wayangnya sudah tertidur pulas, bu Tuti menghampiri Thala.
“Anak gadis ibu kecapekan ya, tidurnya pulas banget nih,” ucap bu Tuti sambil mengelus-elus rambut Thala.
“Lily udah ceritain semua La, ibu harap kamu gak lakuin hal yang gak seharusnya kamu lakuin La. Ibu dan bapak sayang sama kamu, Ibu gak mau kehilangan Thala.” Tak sadar air mata keluar dari pelupuk mata bu Tuti.
“Ya sudah, kamu tidur yang nyenyak ya.” Bu Tuti mengecup kening Thala yang sudah tertidur pulas.•---------------------•
Selamat membaca dan menikmati ini semua.
Satu pesan untuk anda, jika masih menginginkan Cinta, ketahuilah Cinta yang sesungguhnya di dekat kalian. Bukan yang jauh dari pelupuk mata kalian.•---------------------•
•THE END•
KAMU SEDANG MEMBACA
Thala #EventAWConeshoot [Completed]
General FictionAku hanya potongan ingatan dari masa lalu yang memilukan. Tak ada kenangan yang menyejukkan apalagi kenangan hangat tentang mereka. Selama ini aku hanya berteman sepi, mencari jati diri dan apa artinya mencintai. Terutama mencintai diri sendiri. S...