Air Mata

67 4 0
                                    

Malam ini langit Anyer terlihat indah. Deru pantai terdengar merdu. Bahkan sesekali, teriakan canda gurau terdengar di setiap halaman rumah. Pesta. Ya, untuk merayakan tahun baru, orang-orang bergembira menyambut kedatangan tahun baru. Awal yang indah.

Di sudut rumah, seorang perempuan dengan rambut panjangnya didesak oleh batin dan pikiran. Sudah beberapa bulan ini, ia mengurung diri di rumah. Tak ada siapa-siapa selain ibunya yang telah senja. Hanya berdua, dan tempat itu tampak muram untuk melihat secuil kebahagiaan.

Jam di dinding masih menampilkan pukul 9 dini hari. Terhitung beberapa jam lagi akan berganti tahun. Tapi, ketika jarum panjang di dinding menempati angka 5, sebuah peluit terdengar nyaring.

Pengeras suara dari orang-orang yang sedang berpesta dihentikan. Mereka bertanya-tanya, ada apakah. Wilayah rumah warga memang tidak terlalu jauh. Karena suara ombak pantai masih bisa terdengar dari halaman rumah.

Terlambat! Angin mulai kencang. Langit seakan marah. Hujan turun beserta material kecil. Kerumunan orang-orang di setiap sudut acara, mulai mengetahui apa yang terjadi. Badai. Itulah yang mereka tahu. Hingga panggung-panggung roboh. Jerit para perempuan berhelai minim di mana-mana terdengar.

Lima menit kemudian, rumah-rumah tertutup rapat. Dari mulai pintu dan jendela. Dan harap setiap orang di dalamnya agar angin kencang berhenti. Namun, sebuah getaran dirasakan pelan dari bawah tanah. Perempuan dengan sang ibu di salah satu rumah mulai gelisah.

"Gempa! Ini gempa!..." teriak perempuan berambut panjang itu. Untuk bangkit dari tempat tidurnya pun tak bisa. Maka sang ibu yang telah beruban itu, hanya memandangi khawatir anaknya.

Di ujung desa, jalan utama tertutup tanah longsor. Tak ada jalan selain melewati hutan untuk menuju Kerumunan pasar di dekat jalan raya. Hingga getaran gempa berhenti. Petir terlihat di langit. Dengan awan mendung dan masih meneteskan air hujan. Deras!

Gempa susulan datang. Sebuah rumah dekat mushola tak terawat ambruk. Hanya menyisakan kengerian untuk melihatnya. Dan dua orang di dalam rumah itu selamat. Setelah petir terlihat, sang ibu bersusah payah membawa anaknya yang tengah mengandung. Sembilan bulan, itu adalah usia perut anaknya.

"Allah murka. Kita durhaka pada-Nya. Ayo, kita ke lapangan. Kamu masih sanggup kan, Er?"
"Gak tau, bu. Perutku sakit. Erna gak kuat."

Pengharapan untuk bantuan tak terpikirkan. Mereka tahu, bahwa orang-orang sedang dalam bahaya pula. Maka mereka berdua, terus berjalan perlahan menjauhi pemukiman. Hendak menuju daerah lapang. Ketika sampai, gawang lapangan telah terendam air. Dataran di sana rendah. Maka sangat ibu menuntun anaknya ke tempat lain. Sayang, sebuah hentakan air terlalu tinggi. Membawa ibu dan anak itu kasar.

Tak ada yang tersisa. Rumah warga telah terendam air berwarna cokelat. Dan tentunya hancur akibat gempa susulan yang lebih besar.

Selang dua jam setelahnya, keadaan desa itu mulai tak terdengar gemuruh air. Tak ada gempa susulan lagi. Sunyi. Dan dampaknya, jauh hingga pasar di jalan raya hancur. Tidak ada air bah di sana. Karena dataran tinggi, namun gempa merambat lebih jauh ke ujung pasar.

Mayat-mayat mulai terlihat di setiap mata memandang. Tak ada yang terluka parah, karena kematian, sudah lebih parah dari keadaan apapun. Namun di dekat hutan, seorang perempuan terlihat payah. Denyut nadi masih ada. Namun isi perut yang membuncit, telah kosong. Erna, ia mulia sadar. Sebuah kayu runcing menancap di betis kaki kanannya. Nyeri, itulah setiap gerakan kecil yang ia lakukan.

"Ibu? Ibuuu?!" protes bibirnya ngilu.
Derai air mata tak berkesudahan. Anak di dalam kandungannya, yang telah ia pikirkan untuk memberi nama, telah kosong tanpa isi. Seketika ia menyadari, ketika terbawa air bah, rasa nyeri merambat dari perut ke pinggang dan selangkangan. Melahirkan! Ia telah melahirkan di dalam air. Yang membawa tubuh lemahnya. Entah kemana hingga berakhir di hutan ini.

Teringat dosa yang telah ia lakukan. Penyesalan yang sedang dirasa. Ibunya. Anaknya. Suaminya. Bukan! Bukan suaminya. Tetapi lelaki tak bertanggung jawab, yang sudah melarikan diri lima bulan lalu. Tak ada kabar. Ibunya, ia pikir sudah meninggal. Anaknya pun, tak ada harapan jika ia berpikir masih hidup.

Hingga waktu subuh, sunyi dan sepi masih terasa. Tak ada deru suara mobil. Tak ada langkah-langkah kaki mendekat. Hanya ada harapan untuk bertahan. Lemas. Perempuan yang telah menginjak usia 26 tahun itu mulai merangkak. Mencari tempat yang strategis dan mudah terlihat.

Dan untuk kesekian kalinya harapan, tak ada. Langit biru tampak indah. Namun menyakitkan untuk melihat di bawahnya.

08-01-2019

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang