Aku memutuskan untuk keluar dari kamar begitu tenggorokanku terasa kering. Dengan langkah gontai aku menuruni tangga rumah sembari sesekali aku mengucek-ngucek kedua mataku hingga berair. Walau sesekali aku akan menguap dan hampir saja terjatuh kendati aku sudah beberapa kali menggelengkan kepala untuk memulihkan kesadaran.
Menarik nafas yang panjang saat kakiku menapaki anak tangga terakhir, aku lekas memacu tungkai lebih cepat menuju dapur. Namun, tepat di langkah ke empat aku berhenti. Dengan sendirinya kepalaku memutar arah menuju objek pintu kamar Ibu yang tertutup. Ruang tengah saat ini benar-benar bercahaya remang, pun aku tidak berniat untuk menambah pencahayaan dengan menghidupkan saklar. Ini pukul dua dini hari.
Hembusan nafas kasarku mengudara dan lekas menggeleng beberapakali. Kembali melanjutkan langkah yang terjeda. Lekas aku menghidupkan saklar lampu dapur—
"Apa yang kau lakukan?"
Wait. Suara itu?
"Kau—" Aku bertanya dengan tone serak. Lantas begitu indera penglihatan ku cukup normal, aku bisa dapat melihat Jungkook tengah bersandar di meja bar dapur dengan satu cup coffee ditangannya. "Apa yang kau lakukan?" tanyaku mencoba mengabaikan tatapannya. Lantas kembali melanjutkan tujuanku untuk segera minum demi melepas dahaga dan kembali ke kamar untuk tidur.
"Itu pertanyaan ku, kenapa kau melemparnya lagi untukku?" tuturnya. Ku dengar Jungkook mendengus pelan. "Lupakan saja. Kebetulan kau belum tidur, aku ingin bicara."
"Bicara saja," ujarku sambil meminum air mineral yang baru saja ku ambil. Lantas memutar tubuh demi menatap figurnya dengan dingin. "Katakan saja," pintaku singkat.
Seulas seringaian tipis Jungkook terbit kendati remang lebih mendominasi pelataran kami. Tapi, aku dapat melihat bagaimana bibirnya mengulas senyuman nakal seorang lelaki yang begitu aku tidak sukai.
"Jadi," dia memiringkan kepala. Menggerakkan tangannya yang memegang cup coffee ketika menunjukku. "Kau sudah tahu?"
Aku mengerjap cepat. "Tahu?"
Kini seringaian itu semakin melebar hingga aku harus mengepalkan tangan dalam diam. Pun, degup jantungku kembali meriuh keras untuk kesekian kalinya. Tenang. Aku harus bersikap tenang dan tidak boleh terpedaya lagi.
"Pernikahan kontrakku dengan Ibumu," sahutnya lagi.
"Ya, aku tahu. Aku sudah tahu," balasku cepat. Lantas menjilat bibir bawah yang terasa kering. Aku menukas lagi, "Aku tidak mengerti apa yang terjadi di antara kalian. Namun, setidaknya tentang pernikahan kontrak itu aku mulai paham."
Kekehan geli Jungkook mengudara memecah keheningan malam. Tengkuknya diusap canggung sambil dia memainkan lidah di dalam mulut. Aku menatap penuh keheranan dengan dahi yang berlipat dalam.
"Ini akan terdengar menggelikan. Tapi, percayalah, kami bertemu secara tidak sengaja." Jungkook kini meletakkan cangkirnya di atas meja. Mendudukkan diri disana seraya melanjutkan, "Aku melarikan diri dari rumah, dan secara tidak sengaja bertemu dengan Ibumu."
Aku menyimak segala penuturan frasanya dengan sebelah alis yang menjungkir naik.
"Ibumu adalah orang baik. Walaupun kami tidak dekat waktu itu, dia langsung menerima tawaran untuk membantuku," Jungkook menjeda, meneguk coffeenya lagi yang diakhiri geraman. "Ini jalan satu-satunya yang terbaik aku pilih. Aku terpaksa memainkan suatu ikatan janji pernikahan. Satu atau dua tahun lagi aku akan bercerai dengan Ibumu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Young Daddy ✔
FanfictionKetika kehidupan damai Park Jiyeon mulai terusik dengan kedatangan ayah barunya. Memporak-porandakan hatinya. © 2019 proudofjjkabs