SMA

19 2 1
                                    

Aku, Andira, baru saja lulus dari SMP dan memulai ke jenjang SMA, aku bersekolah di salah satu SMA terbaik di sebuah kota kecil namun nyaman, Cianjur.

Bersekolah di Cianjur sebenarnya bukan keinginanku, namun ayah dan ibuku, mereka tidak ingin aku bersekolah di kota besar dengan alasan 'pergaulan'.

Sebetulnya aku sama sekali tidak ingin bersekolah di SMA yang orang tuaku pilihkan, semua itu adalah bencana terbesar bagiku, aku benci SMA itu.

Hari pertama masuk SMA, semua terasa asing meski aku sudah mengikuti kegiatan MOS dengan setengah hati beberapa hari yang lalu.

Aku menghela napas berkali-kali dan memandang pintu kelasku yang sudah di depan mata.

Aku melangkah masuk, banyak murid-murid tengah memakai dasi, topi, dan sabuk. Bersiap untuk upacara pertama di SMA.

"Oy! Maneh mah, eta topi urang!" teriak salah satu siswa laki-laki yang mengejar temannya.

"Urang teu bawa topi, ini buat aku aja!" temannya berlari keluar kelas. Aku memutar bola mata dan duduk di sebelah teman satu kelompokku ketika MOS kemarin dan sekarang kita sekelas.

"Untung kamu gak kesiangan," Arisa namanya, kini ia tersenyum ramah padaku, aku hanya membalasnya dengan tersenyum tipis. Arisa sibuk mengenal satu sama lain, sementara aku hanya diam. Enggan berkenalan, malas, dan memasang wajah jutek, aku tidak mengharapkan bersekolah di sini.

Satu orang siswa dan satu orang siswi masuk, mereka adalah ketua dan wakil kelas.

"Selamat pagi, teman-teman semua. Sekarang kita menuju ke lapangan untuk upacara pertama kita" ucap sang ketua yang dari name tag nya tertulis nama Heru, sementara wakilnya bernama Natalie.

Seluruh murid mengikuti arahan mereka berdua, aku yang keluar paling terakhir menoleh ketika seseorang memanggil namaku.

Sang ketua kelas alias Heru, aku mengangkat alis sebagai jawaban "ya" atas panggilannya.

"Ehm, kalau kursi untuk meja guru di mana, ya?" tanyanya sambil menunjuk ke arah meja guru tanpa kursi di sana.

"Di lobi kali" jawabku sekenanya. "Lobi teh di mana?" tanyanya, logat Sundanya mulai keluar. Aku menengok ke luar kelas.

"Di ujung sana tuh" jawabku menunjuk dengan dagu. "Anter ke sana yuk" ajak Heru buru-buru, aku mengernyit dan menggeleng tanda tidak mau. Lantas aku menyusul Arisa yang sudah berada di tengah lapangan.

Dari situ, masa SMA kelas sepuluhku di mulai. Sesuatu yang kuanggap sebagai bencana, ternyata tak seburuk yang aku kira.

Aku mengenal Heru,

Dan aku juga mengenal satu siswa lain di kelas yang menurutku 'dia mengesankan'.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang Kamu dan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang