#1

339 10 11
                                    

Aku terbangun dari tidur panjangku. Entah aku sudah tidur berapa jam, atau mungkin berapa hari. Tapi sekelilingku gelap, hitam, dan buram. Ada apa ini? Ada yang mematikan lampunya?

" Bu, gelap ?" tanyaku pada Ibu. Aku tahu, Ibu ada di sini. Ibu tidak akan pernah meninggalkanku sendirian, dia khawatir. Ibu bilang, itu karena Ibu terlalu sayang padaku. 

" Iya sayang, tapi tidak apa-apa. Ada Ibu di sampingmu," jawab Ibu sesegukan. Ibu menangis? Kenapa? Aku tidak menyangka Ibu akan menangis, sementara aku tidak bisa melihatnya menangis. 

" Bu? Ibu menangis? Kenapa Bu? Nyalakanlah lampunya Bu, dan ceritalah kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi!" perintahku sambil memegang tangan Ibu. 

Bukannya menjawab atau segera menyalakan lampu, tapi Ibu semakin menangis menjadi-jadi. Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa Ibu menangis kian menjadi-jadi begitu? Apakah aku yang sudah membuat Ibu menangis? Tapi kenapa? Aku hanya memintanya untuk menyalakan lampu. Apa itu salah?

" Maafkan Ibu sayang, Ibu tidak apa-apa. Sebenarnya... lampunya sudah nyala sejak kamu bangun tadi. Hanya saja..." 

" Hanya saja apa Bu? Kenapa kalau lampunya sudah menyala aku tetap tidak bisa melihat? Ini gelap Bu, gelap sekali!" 

" Tolong, jika Ibu katakan yang sebenarnya, kamu harus janji pada Ibu..." syarat Ibu. Aku mengangguk mengiyakan. Tidak biasanya Ibu aneh seperti ini...

" Pertama, kamu tidak boleh menangis." kata Ibu. " Kedua, kamu tidak boleh marah." lanjutnya. " Dan yang ketiga, kamu tidak boleh menyalahkan siapa-siapa... janji?" 

Tanpa menjawab persyaratan dari Ibu, aku hanya mengangguk dan mengaitkan kelingking kecilku ke kelingking kecil Ibu.

" Kamu... kamu... kamu buta Nak!" kata Ibu akhirnya dan menangis kembali. 

Aku buta? Aku diam tak bergeming. Aku tak menangis, marah, atau bagaimana. Aku tak percaya hal ini. Aku buta? Bodoh! Ibu hanya bercanda, aku tahu itu. Tiga hari lagi ulang tahunku, dan Ibu sedang mengerjaiku. Aku tahu itu. 

" Bu, cepat katakan kalau Ibu hanya bercanda. Aku tahu itu!" pintaku setengah memaksa sambil menggoyang-goyangkan bahu Ibu. Setetes air matanya jatuh di atas punggung tanganku. Aku tahu,   Ibu sedang bercanda. Tapi kenapa sampai menangis? Keterlaluan!

" Ibu tidak bercanda Nak, dan kamu harus percaya itu. Maafkan Ibu sayang!" balas Ibu sambil memelukku. Ya Tuhan... tolong katakan, kalau ini hanya bercanda!

Aku buta? Setetes air mata jatuh di pipiku. Aku buta, Ya Tuhan... aku buta. Aku buta, dan itu benar. Aku buta, itu kata Ibu. Aku buta, dan Ibu tidak sedang bercanda. Aku buta, dan aku tidak bisa melihat. Aku buta!!!

Kalau aku buta, aku tidak bisa lagi membaca novel kesukaanku. Aku tidak bisa lagi menulis cerita. Dan Aku, tidak bisa lagi menikmati pemandangan indah bersama sahabatku. Aku tidak bisa lagi melukis pelangi dengan kanvas dan cat air kesayanganku. Aku tidak bisa apa-apa lagi. Semua itu karena aku buta. 

                                                                                       ********

Hari ini aku kembali ke rumah. Sudah hampir seminggu aku di rumah sakit. Jujur saja, sebenarnya masih ada perawatan tambahan intensif untukku, yang membuatku harus tinggal lebih lama di rumah sakit. Tapi aku tidak betah. Sehari-hari hanya diam di ranjang, mandi, makan, kemudian tidur dan begitu pula seterusnya. Lagipula buat apa aku di sana? Kalau aku hanya bisa menikmati hembusan angin tanpa melihat pemandangan?

Aku tak sabar untuk segera merebahkan diri di atas kasur empukku yang nyaman. Meskipun aku hanya bisa merasakan nyamannya kehangatan di rumah, tapi itu sudah cukup untukku. Hanya saja, ada satu hal yang mengganjal di hatiku. Andi. Memang dia bukan siapa-siapaku, tapi entah kenapa aku merasa begitu nyaman bila berada di dekatnya. Tapi apa reaksinya jika dia tahu bahwa aku buta?

TOK .. TOK ..

" Masuk," kataku mempersilahkan.

" Ada yang mencari kamu di luar, sayang. Keluarlah," ternyata Ibu. Mencariku? Siapa?

" Siapa Bu?" tanyaku penasaran.

" Sudahlah, lebih baik kamu keluar saja. Tidak baik membiarkan tamu lama menunggu," perintah Ibu yang segera dibalas dengan anggukanku.

Dengan rasa penasaran yang menjadi-jadi, aku keluar menuju ruang tamu. Sambil meraba-raba tembok, aku berjalan terseok-seok. Aku lupa, di mana aku meletakkan tongkatku tadi.

" Hei," panggil seseorang. Tunggu, sepertinya aku kenal suara itu.

" Andi?" tanyaku memastikan.

" Iya, ini aku." jawabnya ringan.

" Eh .. oh, kamu kenapa ada di sini?" tanyaku gugup.

                                                                           *******

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 06, 2012 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Why ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang