Moment 2: MonoMoment

18 8 5
                                    

Kelopak mata bergaris sempurna pun mulai terbuka, menyaksikan iris biru menyala akan silaunya aura Sang Raja Siang. Lensanya hanya menangkap pemandangan buram, yang makin ke sini makin menajam dan jelas. Tampak langit-langit hanya diterangi segaris cahaya matahari. Garis bawahi, hanya segaris.

Matanya langsung tak bisa melihat saking silaunya. Ada seseorang yang sengaja menyibak gorden jendela, tapi siapa? Dan tunggu, bagaimana bisa Hamiya ada di sini? Di ruangan berisi brankar tempat ia berbaring dan berbau obat-obatan.

Hamiya menggerakkan kepalanya ke samping kiri, menangkap siluet seorang pria yang segera berjalan menghampirinya. Makin dekat sosoknya mulai sirna, dan rupanya si tampan yang Hamiya cari-cari. Dia hanya menatap gadis bersurai hitam panjang ini dengan tatapan dingin, sedingin senyuman dan raut wajahnya. Sifatnya membuat mental Hamiya anjlok bila bertemu dengannya.

"A-ah," Hamiya berusaha mengalihkan tatapannya dari si pangeran Antartika ini, tapi apalah daya, bayangannya selalu menghantui ekor mata Hamiya, "a-apa kau yang membawaku k-ke sini?"

Tak ada respon sedikit pun, tak ada yang berubah dari ekspresi si tampan. Dingin dan dingin, tak ada sedikit pun keceriaan dari segala celah. Tetap mengunci lensa mata Hamiya.

Hamiya terpaksa terkekeh walau kesannya terlalu hambar. "T-terima kasih telah menolongku."

Si pemilik iris hitam bak bulu burung gagak ini melengos pergi, meninggalkan Hamiya sendirian tanpa sahutan. Lagi-lagi dirinya sendiri, tak ada yang menemaninya lagi. Secuek itukah si tampan bila berinteraksi dengan teman-temannya?

Kembali ke kelas dan menyimak materi mungkin lebih baik, ketimbang harus terbaring sakit dan menghuni ruangan pengap akan bau obat-obatan sendiri. Hamiya bergegas bangkit dari baringnya, mengenakan sepatu sekolah dan segera beranjak dari brankar.

Ah, bila diingat-ingat, setiap sekolah pasti tersimpan data-data siswa di ruang UKS. Untuk memastikan bahwa ini ruang UKS, Hamiya segera membuka pintu dan melihat plang bertuliskan huruf kanji. Tepat sekali, ini ruang UKS. Ia pun kembali menutup pintu rapat-rapat dan membuka pintu rak berisikan buku-buku tebal.

Di sana banyak sekali buku-buku berukuran tebal dengan tajuk masing-masing. Sebagian besar bertajuk pasal kesehatan, tapi ada juga ternyata buku yang memuat data-data siswa. Hamiya pun mengecek satu per satu buku data siswa. Kebetulan buku data siswa disimpan secara terjangkau untuk gadis semacam Hamiya.

Hamiya berhasil menemukan foto si tampan. Datanya tercantum di halaman 169. Baru saja Hamiya membaca biodata lengkapnya, namun sayang seribu sayang, Hamiya harus terjerat debat dengan guru kesehatan yang rupanya adalah guru matematika.

****

Kini ruang berisikan bangku-bangku berjarak cukup dekat hanya dihuni dua orang. Detakan jam dinding dan kipas angin yang menderu keras menjadi musik latar belakang untuk Hamiya, gadis yang kini duduk di hadapan seorang pria paruh baya bertubuh besar. Tangannya sangat dingin, seperti baru direndam air es. Hamiya sangat tegang dan tak tahu harus bilang apa.

"Kenapa kau nekat melakukan hal itu, Nona Katakura?" Pria dengan kumis tebal—nyaris menutupi mulut hitamnya—mulai angkat bicara, memulai tugasnya menggali inti permasalahan seorang siswa. Tangan besarnya meraih sebuah buku yang tertindih buku tebal lainnya, membuka dan menyibak setiap lembarnya.

"S-saya—" Suatu kebetulan memotong ucapan Hamiya. Ia cegukan. Kenapa harus cegukan di saat dirinya tegang? Ia kembali melanjutkan ucapannya, walau pada akhirnya kalimat yang terlontar dari mulutnya terputus-putus. "Saya penasa—ran dengan salah satu—siswa, Pak."

"Kenapa harus penasaran? Aduh, kau ini." Sibakannya terhenti kala sebuah foto Hamiya tertempel di sana. "Padahal kau baru dua hari duduk di sekolah ini, kau sudah mencari masalah."

MonoLinear✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang