06

32 6 3
                                    


"Haaah." Aku lap keringatku setelah berlarian keliling komplek. Ku hempaskan tubuhku di sofa ruang keluarga.

Rumahku sangat sepi. Ayah dan ibuku bekerja, adikku sekolah. Mereka pulang nanti sore sama sepertiku jika aku bersekolah.

"Gara-gara si Clara." Gerutu ku gemas. Kalau bukan karena dia, mungkin sekarang aku sedang bersekolah.

Aku ambil ponselku di atas meja lalu menelepon Rara untuk menghilangkan rasa bosan.

Tak dijawab.

Ku lirik jam dinding. Sudah jam setengah sepuluh. Berarti sudah istirahat pertama. Kenapa Rara tidak menjawab teleponku yah?

Waktu demi waktu telah berlalu. Sekarang aku sudah mandi. 

PRANG!!!

Suara piring pecah membuatku kaget. Sesegera mungkin aku berlari menuju dapur. Dan benar saja, piring terjatuh dari tempatnya. Aku pun mengambil sisa sisa pecahannya lalu ku buang.

"Ada-ada aja." 

Aku pun berjalan menuju ruang keluarga.

TOK TOK TOK!!!

Kuurungkan niatku untuk duduk di sofa. Dengan langkah gontai, ku hampiri pintu rumahku.

"Ada apa ya pak?" Tanyaku setelah melihat seorang kurir membawa paket.

"Ini ada paket, neng. Untuk Dilla" Jawabnya sambil menyerahkan kotak itu kepadaku. Terlihat seperti kado.

"Oh makasih pak, ini dari siapa ya pak?" 

"Dari Odin."

Aku menaikkan alis kananku. Odin? Siapa dia? Aku tak pernah mengenalnya.

"Ya sudah ya pak, terimakasih."

Aku pun menutup pintu itu. Lalu ku langkahkan kakiku menuju sofa.

"Cantik." Gumam ku melihat kotak itu yang terbalut kertas kado warna merah.

Perlahan, ku sobek kertas kado itu lalu ku buka tutupnya. 

"Foto gue?" Ku lihat selembar foto ku yang sedang tertawa bersama Reza dan Rara di dalam kelas. Lalu ku lihat lagi lembar foto selanjutnya.

"AAA!!!" Ku lempar kardus itu agar menjauh dariku. Itu adalah foto yang objeknya menampakan banyaknya lubang-lubang. Tak hanya satu, tapi di lembar selanjutnya juga begitu.

Aku mengidap trypophobia. Dan aku tak tahan dengan itu.

Aku langsung lari ke dalam kamarku. Lalu segera menyambar jaketku untuk keluar dari rumah.

Aku menangis dalam diam di taman yang sepi ini. Taman yang selalu ku lewati bersama Randy ketika kami pulang sekolah.

Aku takut. Sangat takut. Bagaimana kalau kejadian pahit itu terulang kembali? 

Tiga tahun yang lalu...

Clara datang bersama teman-temannya masuk ke dalam kelasku, lebih tepatnya ke arah bangkuku.

Ia menatap sinis dan tersenyum remeh padaku. Sesaat kemudian, tangannya menjambak rambutku.

"AWW!!!" ringisku sambil mencoba melepaskan cengkraman Clara.

Tak ada yang berani membelaku saat itu, karena mereka takut akan sosok Clara yang tak segan-segan untuk membunuh seseorang yang menggangu kehidupannya. Bahkan Yogi sekalipun tak berani.

"Lo berani banget deketin Yogi!" Bentak Clara lalu menendang kakiku.

Aku menangis, tak berani aku untuk menatap wajahnya.

Black StreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang