One

31 3 0
                                    

Aira Zain

"Pangeran, kalau udah besar nanti, Ira mau kesana ah! Mau naik gunung yang tinggi itu,"
"Kamu kan perempuan. Mana berani,"
"Kan naiknya sama pangeran. Mau ya pangeran, temenin Ira naik gunung itu,"
"Iya deh Princess,"
"Yeeee! Pangeran baik,"

****
Aku terbangun.Kupaksa tubuhku bangkit.Hawa dingin masih terasa meski jendela sudah kututup rapat.Pukul delapan.Masih terlalu pagi bagi penduduk London untuk beraktivitas.Mayoritas warganya masih bergelung dengan selimut atau sekadar menyesap cokelat hangat di depan perapian.

Aku berdiri, kuhampiri jendela kamarku yang tertutup tirai.Kusingkap perlahan. Kulihat hujan sudah berhenti, namun salju masih memenuhi pekarangan dan bertebaran di sepanjang jalan.

Kubuka jendela lebar lebar, sampai kulihat dua orang di jalan depan sedang berkutat dengan sekop kecil, menyingkirkan salju darisana.
Mereka sepasang suami istri, Mr. dan Mrs.Albion, pemilik paviliun yang kini kutempati.

"Morning, Mrs." aku melambaikan tangan padanya.

"Hallo, Airaaa!" kulihat dia melakukan hal yang sama.

Aku tersenyum sebentar, kemudian kembali kututup jendela.Saatnya menjalani rutinitas seperti biasa.

****

Aku melirik jam tanganku berkali-kali. Kutatap cokelat di depanku yang mulai dingin.Sesekali kudekap sweater ku lebih erat. Hawa dingin merayap perlahan ke sekujur tubuhku.

"Airaaaaa!" panggil seseorang dari arah belakang.
Aku mengenal dengan baik suara melengking itu.Kutolehkan kepala, dan dugaanku benar.

"Darimana aja kamu," aku melipat tangan di depan dada, kutunjukkan muka kesal yang sedari tadi menghiasi wajahku.

"Jalanan macet, snow everywhere.. You know? And i hate when i must waiting, huffftt!" gadis itu duduk di depanku, diraihnya cokelatku lalu diminum.

"Kamu terlambat dua puluh menit.Sudahlah, waktunya buka cafe," aku bangkit, lalu menyibukkan diri dengan alat pel di tanganku.

Ah,iya!. Aku belum memperkenalkannya. Namanya Liona. Liona Fredericca Rounest.Sahabatku, atau sudah kuanggap layaknya saudaraku. Kami mulai saling mengenal ketika masih sama sama menginjak semester satu di Universitas London.

Waktu itu, kami sama sama terlambat masuk. Atas kesalahan kami, Mrs.Ester , dosen terkiller yang kukenal, menghukum kami membersihkan ruangannya sampai benar benar bersih. Darisitu kami mulai saling bertegur sapa, bercerita, lalu pada akhirnya Tuhan menggariskan kami seperti sepatu dan talinya, saling melengkapi. Atau seperti buku dan kertasnya, tidak terpisahkan.

Gadis cantik blasteran Jerman-Indo itu memiliki selera humor yang tinggi, menghiasi hariku dengan tawa setiap menitnya. Rambut panjang kecokelatan bergelombang itu selalu tergerai.Iris mata hazelnya selalu nampak indah. Ah,dia gadis yang cantik!.

"Dimana Moza?.Kita tidak bisa berlama-lama, kau ingatkan hari ini jam kuliah pagi dimajukan? Apalagi harus berhadapan dengan dosen gila itu," Liona mengelap kaca dengan lesu.

"Liona, jika tidak berniat membantuku tidak apa.Mungkin sebentar lagi Moza datang," kulihat jam tanganku yang menunjukkan pukul sepuluh.

Liona membuang napasnya kesal. Aku hanya tersenyum.
Disinilah aku bekerja. Calhoun's Cafe. Cafe kecil sederhana dengan interior modern yang indah. Cafe milik keluarga Calhoun yang baik hati. Mereka berbesar hati mengizinkanku beribadah pada jam kerja, juga memberiku bonus di akhir tahun.

Putri semata wayang mereka, Mozaria Calhoun, adalah adik tingkatku. Dia cukup akrab denganku, juga Liona. Gadis cantik dengan mata bulat itu biasa membantu di cafe.

Sama halnya dengan Liona yang selalu menemaniku, meski terkadang dia melontarkan banyak keluhan. Jika dia mau, dia bisa pergi saat itu juga. Namun tidak, dia tak pernah melakukannya.

"Hei, Aira.Lihat siapa yang datang!" seru Liona, membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh, menghadap ke pintu cafe yang masih tertera tulisan 'Closed' disana.

"Rey?" sapaku padanya.

Namanya Ramon.Ramon Mahestra, sepupu keluarga Calhoun.Dia juga dari Indonesia, dan berkuliah di universitas yang sama.

"This is for you," ia menyodorkan sebuket bunga padaku. Aku menerimanya, kulirik Liona yang sedari tadi terkikik. Aku melototkan mataku padanya. Huh, gadis itu!.

"Thank you. Kamu tahu banget aku suka bunga," balasku.

"Tentu saja," kulihat Rey mengedipkan sebelah matanya pada Liona. Oh, jadi dia pelakunya.

"Emm, sebentar. Aku masih ada pekerjaan. Daaahh, Rey!" aku berlalu pergi, kuseret Liona bersamaku.

*****
"Liona, kamu itu apaan sih!. Kebiasaan deh,"

"Udahlah Ra.. Terima aja dia, dia itu suka sama kamu," Liona tertawa kecil.

"Liona, kamu tahu kan, Moza suka sama Rey,"

"Iya Ra, tapi sampai kapan kamu terus terusan berkorban demi orang lain. Sesekali pikirin kebahagiaan kamu juga,"

"Lion, aku nggak suka sama Rey," tegasku sekali lagi.

"Apa ini ada hubungannya sama orang di masa lalu kamu?"

"Jangan bahas itu lagi,Lion..," aku kembali melamun.

****
Aku menatap langit yang mulai menggelap. Senja sudah berlalu beberapa menit yang lalu.Suasana sekitar paviliun mulai sunyi.Aku menutup senja dengan alunan merdu musik di handphone.

Tak lama, suara azan mengalun merdu dari handphoneku. Aku tersenyum, mataku terpejam mendengarnya. Aku teringat seseorang, membuatku tersadar. Kumatikannya setelah azan berhenti berkumandang, lalu bergegas mengambil air wudhu.

*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One HourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang