Prolog.

19 4 0
                                    

Ali menatap kosong papan tulis di depan kelas.
Bunyi bel tanda pulang sudah berlalu sejak dua menit lalu.

“Al, lo mau bengong terus di sini sampe Indonesia jadi negara maju?”

Tersentak, Ali menoleh ke arah asal suara. Mendapati kawan-kawannya―Danang dan Adam―yang sudah menenteng tas, berdiri di dekat mejanya. Keduanya cengengesan seperti biasa.

Ali mendengus, “Mau di sini sampai Yuni Shara jadi bini gue!” sambil beranjak dan menyahut tasnya yang ada di atas meja. Berlalu keluar kelas.

Kedua kawannya tergelak dan menyusul.

“Parah sih UAS kali ini nilai gue jeblok, anjir.”

“Sama. Tapi kalau gue sih, emang karena sistemnya belajar pas mau ujian. Tapi malah ambyar semua, emang anjing.” Adam menyahuti ucapan Danang. Ali melirik kedua temannya dengan senyum miring, merasa lucu dengan tingkah mereka.

“Lo pas ujian gue panggilin diem aja, sih, Al! Tai lo emang.” Lengan Ali disenggol dengan keras oleh lengan Adam.

“Ya gimana gue mau noleh, anjing, orang Bu Fatma di depan gue. Yang ada kita ditampar! Mau lo? Gue sih ogah.”

“Ya kagak papa lah ditampar Bu Fatma, cantik soalnya doi. Masih muda juga.” Danang tergelak akan ucapannya sendiri disusul suara tawa Adam, sebelum kepala mereka ditoyor oleh Ali.

“Tapi asli sih, Bu Fatma tuh ibaratnya kembang sekolah ini. Guru paling cantik!”

Ali mengabaikan selorohan kedua temannya yang masih berbicara soal guru paling cantik di SMA mereka. Ia meraih helm yang sebelumnya bertengger di kaca spion motor dan memakainya, sejurus kemudian setelah ia bertengger di atas motor, Ali melayangkan hinaan untuk kedua sahabat karibnya, “Kayak Bu Fatma mau aja sama lo pada.”

Adam yang paling pertama menanggapi, “Wah anjir lo. Ya pasti mau lah sama gue, ganteng gini,” satu tangannya bergerak menyisir rambut, “Kalau gue mau usaha, pasti bisa.”

“Usaha es cendol aja lo,” Danang mencibir geli, “Kalau doi sama lo, yang ada madesu!”

Ali terkekeh, “Masa depan suram! Dah, ketemu besok!” Motornya melaju duluan meninggalkan kedua kawannya yang mengangkat tangan singkat.

Memakan waktu lima belas menit dari sekolah menuju rumahnya, termasuk menghadapi kemacetan. Ali memarkirkan motornya dengan mulus di garasi. Setelah turun dari atas motor dan melepas helm yang kini terjepit di ketiak, ia tak lantas masuk ke dalam rumah. Alih-alih, ia malah termangu sambil memandangi pintu.

Mama lagi apa, ya?

Tangan Ali terulur ke arah pintu, sebelum gerendel pintunya bergerak terlebih dahulu. Ia spontan mundur dua langkah.

Pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita berumur sekitar 40 tahunan di ambangnya. Agak terkejut melihat Ali sudah berada di teras.

“Ngapain di situ? Masuk,” Lestari―Ibu Ali―berkata sambil memutar badan dan kembali masuk ke dalam.

Ali menahan napas. Menunduk, melirik ke arah mana saja, menggaruk belakang kepalanya sebelum kemudian menyusul dan menutup pintu rumah. Ia menaruh sepatu di rak, lalu helmnya disamping rak.

“Hari ini pembagian hasil ujian akhir semester, kan?”

Langkah kakinya berhenti, menoleh ke asal suara. Di ruang tengah, Lestari duduk dengan anggun di sofa menghadap tv yang tidak menyala, kakinya menyilang, nada suaranya tenang. Sedangkan di atas meja ada secangkir teh. Ali mendekat, tidak berniat merusak ketenangan ibunya.

“Iya, Ma,” Tas ransel di kedepankan, Ali merogoh isi tas, mengeluarkan gulungan kertas dari dalam sana untuk disodorkan ke arah Lestari, yang menerimanya dengan cepat. Lestari memeriksa kertas ujian tersebut satu persatu.

Pemuda yang masih terbalut seragam putih abu-abu itu menunduk dalam. Tangannya saling bertaut. Wajahnya keras, namun jelas kentara gurat ketakutan di matanya.

Lestari melirik ke arah putranya, menaruh kertas tadi di atas meja. “Ali, kamu pasti tahu kesalahan kamu apa, kan?”

Tubuh Ali bergetar sebentar mendengar nada bicara itu, terkesan tenang namun dingin dan menusuk. Pandangan sedikit dinaikkan, hanya untuk mendapati Lestari tengah menatapnya dengan pandangan yang―Ali sulit menjelaskan. “Tau, Ma.”

“Apa?”

Ali mematung. Bibir merahnya terbuka, namun tak ada suara yang keluar.

“Aliansyah, apa kesalahanmu?!” Suara lestari meninggi beberapa oktaf.

Tundukan kepala Ali semakin dalam. Dia menahan napas, tangannya yang bergetar tersembunyi di balik punggung.

“Te.. terlalu..” suaranya tercekat ditenggorokan, Ali menarik napas, menghembuskannya pelan-pelan, “...terlalu banyak bermain, kurang belajar, dan―”

Kalimat Ali terpotong begitu Lestari berdiri dan meraih pergelangan tangannya dengan kasar. Tas ranselnya terjatuh, Ali tergeragap dengan mata melotot, “Ma!”

Lestari mengambil ikat pinggang yang sudah sejak tadi ada di dekat tempatnya duduk. Mata anak kandungnya semakin melotot, darah di wajah Ali bagai telah tersedot entah ke mana.

Please, you can't do this to me, Ma. Please...” suaranya mengiba, memegangi lengan Lestari dengan gemetar.

Sementara Lestari, seperti orang yang lupa daratan, mendorong sang anak supaya terduduk dan memunggunginya, melepaskan kemeja sekolah Ali dengan sekali tarik sehingga terpampanglah punggung putih namun penuh bekas luka hitam di sana-sini.

“Kamu terlalu banyak bermain!” Lecutan pertama mendarat dengan mulus dipunggung Ali. Ia berjingkat menahan sakit, memejamkan mata, mengatupkan rahang sekeras mungkin.

“Kurang belajar dan mengabaikan pelajaran disekolah!” Teriakan Lestari bersahutan dengan suara lecutan ikat pinggang yang beradu dengan kulit punggung anak kandungnya.

STOP IT, MA! I BEG YOU TO STOP! PLEASE, MA!” Lestari tak mendengarkan, justru emosinya semakin memuncak dan menyabetkan ikat pinggang itu ke punggung Ali dengan membabi buta.

“MAMA! SAKIT, MA! MAMA!” Suara teriak kesakitan Ali teredam dengan suara lebih nyaring yang keluar dari mulut ibunya itu. Ia terbatuk-batuk karena teriakan bercampur tangisnya begitu hebat. Kepalanya terbenam ke sofa, mencoba meredam teriakan dan tangis, dengan tubuh yang terus menerus berjingkat setiap kali rasa sakit yang dihasilkan oleh ikat pinggang menderanya.

Dua puluh menit kemudian sunyi. Terakhir kali yang di dengar Ali adalah suara langkah kaki Lestari menaiki tangga menuju lantai dua setelah mengatakan, “Ini pelajaran untuk kamu, yang semakin meremehkan Mama dan terus-terusan menghabiskan waktu untuk hal-hal tidak jelas bersama temanmu yang tidak jelas itu,” dengan penuh penekanan.

Ali tersengguk, mengeraskan rahang, mengusap wajahnya yang basah oleh air mata dan air liur dengan kemeja sekolah yang kancingnya sudah terkoyak.

Punggungnya perih. Tangannya meraih kertas hasil ujian, menelitinya satu persatunya dengan tatapan kosong.

Manusia memang makhluk yang tidak akan pernah puas. Terlepas dari apa pun kasusnya. Semakin banyak yang mereka dapat, semakin mereka menginginkan hal yang lebih daripada itu. Ali paham tentang itu.

“Ssshhh..” ia meringis saat luka dipunggungnya tanpa sengaja bersentuhan dengan kulit sofa.

Sakit. Punggungnya begitu sakit. Ia mengambil napas. Namun, lebih daripada itu, hatinya lebih sakit. Luar biasa sakit.

Perlahan ia bangkit dengan bibir yang terus meringis, mengambil tas dan kemeja, kemudian menyampirkan kemejanya di atas pundak sebelah kanan dengan perlahan. Dan dengan tertatih, Aliansyah Aharon berjalan menuju kamarnya.

Meninggalkan kertas ujian yang masih berserak dan tertulis angka 8,9 atau 9 di setiap kertasnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang