Diusia yang masih amat belia ini, sudah terbesit rasa untuk segera melaksankan satu ibadah terpanjang, yaitu menikah. Semua itu membuat semangat dakwahku lebih tinggi, terlebih jika dakwah tentang cinta, baik kepada Allah juga kepada ia yang kelak mengisi hati. Berbagai lomba dakwah sering kulalui, mengingat akan ada lomba pekan depan nanti, segera kupersiapkan diri untuk menguasai materi.Tiba saatnya aku kembali berdakwah dihadapan para juri, yang kubahas adalah tentang cinta kepada ilahi juga cinta kepada ia yang kelak mengisi hati.
Juri berkata, "Ma syaa Allah, usiamu baru tujuh belas tahun tapi materi yang kamu bawakam sungguh membuat kami terkagum.
Pembahasannya tentang cinta, yang bukan hanya cinta kepada kekasih tapi juga cinta kepada Ilahi. Kelak kamu bisa seperti ustadz Furqon." Juri berkomentar.
Karena kepadatan kegiatan di pesantren, membuat aku tak tahu siapa itu ustadz Furqon.
***Setelah enam bulam berada di pesantren Tahfidz kota Bandung. Aku menjalani berbagai pendidikan di pesantren lain dari Bogor sampai akhirnya di Jakarta, selain sebagai santri aku juga mengabdi sebagai guru Tahfidz.
Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama, aku hanya fokus kepada pendidikan agama saja, hingga tak peduli dengan pendidikan formal karena begitu cintanya aku kepada ilmu islam. Mengingat betapa pentingnya ijazah di negaraku ini, aku memilih sekolah paket yang akhirnya mengharuskan untuk keluar dari kokohnya pagar pesantren.
Pengalamanku selama pesantren bertahun-tahun tak pernah melirik atau melihat wanita secara langsung, karena tak pernah ada wanita yang berkeliaran di hadapanku, juga aku tak pernah mau memandang seorang wanita yang bukan mahrom. Terlebih aku sangat lemah dalam menyimpan hafalan, hingga semakin hari tekadku untuk menikah muda semakin kuat, namun siapa gadis yang akan kunikahi nanti adalah masih rahasia Allah. Aku hanya sering bermimpi memiliki istri seorang penulis, yang kelak akan menuliskan kisahnya bersamaku menjadi sebuah buku.
Usiaku sekarang sudah masuk 19 tahun, setiap minggu aku harus melalui kegiatan sekolah paket. Disini banyak sekali pemandangan yang membuatku harus benar-benar menjaganya, melihat perempuan yang terbuka auratnya dari dekat membuat hati risau, rasanya aku ingin cepat menikah saja, agar aku bisa menjaga pandangan.
Teman sekelasku dari berbagai latar belakang, ada ibu rumah tangga, karyawan, pedagang, juga para remaja yang putus sekolah. Putri salah satu teman sekelasku, usianya dua tahun lebih muda dariku. Tak menutup auratnya dengan sempurna, dan masih sering pacaran. Semakin hari aku semakin akrab dengannya, hingga hati berfikir untuk menikahinya, walau kutahu bahwa ia memiliki pacar.
Setiba waktu liburan, aku gunakan waktu untuk bertemu keluarga. Tak banyak basa-basi, aku langsung mengutarakan apa keinginan kepada kedua orangtua.
"Bu, Hasbi pengen nikah," tuturku.
Ibu terlihat kaget mendengar ucapanku. Terlebih Abah."Mau nikah sama siapa ? Kenapa dadakan ?" tanya Abah.
"Aku mau nikah sama Putri. Gadis dari Jakarta. Dia temanku di sekolah paket," ujarku.
"Kalau kamu serius ingin menikah. Abah kasih syarat untuk kamu. Bekerja dan belajar usaha selama setahun ini. Setelah itu abah akan nikahkan kamu," katanya.
"Alhamdulillah, terimakasih, Bah. Kapan kita silaturahmi kerumah Putri ?" tanyaku.
"Secepatnya!"
***Memasuki Desember 2016 ini, kami sekeluarga pergi menuju kediaman Putri di Jakarta. Sesampainya disana, Abah terlihat tak menyukai Putri. Namun Ibu tetap bersikap biasa, seperti tak ada masalah.
"Cocok Hasbi. Putri pas lah buat kamu. Dia nggak cantik-cantik banget, kamu juga. Yah sama-sama biasa aja gitu," ujar nenekku yang ceplas-ceplos.
"Abah nggak setuju kamu sama Putri," ujar Abah.
KAMU SEDANG MEMBACA
212 Di Bulan Desember
Short StoryKisah seorang Pemuda Muslim, yang memiliki tekad untuk menikah muda.