Prolog

77 9 0
                                    

"The most difficult thing to do is continue to live when our loved ones died"

Seorang gadis kecil menatap keluar jendela yang terguyur hujan. Mata mungilnya menerawang jauh dan pikirannya berkelana. Tak lama kemudian, air mata mulai menetes membasahi pipinya dan semakin lama tangisannya semakin kencang. Ia menangis sesenggukkan di kamarnya yang gelap dan dingin. Di kamar suatu rumah yang sepi tanpa penghuni. Rumah yang cukup besar berisikan duka kelam dan tangisan seorang anak. Langit pun sepertinya tidak memihak padanya, semakin keras tangisan gadis itu maka semakin keras langit mengeluarkan petirnya. Langit meredam suara tangis sendunya.

Gadis itu melihat bayangan wajahnya yang tercermin di jendela. Kulitnya yang putih memerah karena tangisannya yang menyayat hati, bibirnya seakan menebal, dan matanya terus berkaca-kaca. Gadis yang malang dan cantik.

Suara ketukan menggema di kamar itu dan menyadarkannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan cepat. Ia sedikit berdehem untuk menetralkan suaranya dan bibirnya dipaksakan untuk melengkung membentuk sebuah senyuman cantik meskipun matanya berkata lain.

"Nona, anda harus segera bersiap untuk pemakaman Tuan dan Nyonya." Suara manis seorang pelayan wanita terdengar dari pintu yang terbuka.

"Bibi, hari ini hujan sangat deras dan orang tuaku akan kedinginan. Jika mereka dimakamkan hari ini." Ucap gadis itu dengan bibir yang gemetar.

"Bibi akan pastikan mereka tetap hangat, Nona. Tapi anda harus memakamkan mereka hari ini, karena ini sudah hari ke tiga dan semua orang sudah menunggu anda." Pelayan wanita itu berjanji.

Gadis itu mengangguk dan air matanya tumpah sekali lagi. Pelayan itu masuk dan mulai melepaskan gaun tidur gadis kecil. Ia menggantikan dengan sebuah gaun hitam yang didesain khusus untuk berkabung. Dan mungkin gaun ini akan menjadi gaun indah terakhirnya hari ini. Seorang anak kecil yang kehilangan orang tuanya akan sama dengan kehilangan kehidupannya. Tidak ada lagi tempat untuk bersandar seakan ia adalah orang yang terbuang dari kehidupan.

"Bibi, apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku akan menjadi anak jalanan? Tanpa rumah yang hangat dan makanan." Tanya sang gadis kepada pelayan wanita yang berjongkok merapikan rok gaunnya.

Pelayan itu mengangkat wajahnya, ia mengusap air mata si gadis dengan kedua ibu jarinya. "Nona, anda harus kuat. Tuan dan Nyonya tidak akan membiarkan anda melalui semua ini sendiri. Mereka meminta saya untuk menemani anda di rumah ini." Jelasnya.

"Apakah anda akan menjadi wali saya?"

Pelayan wanita itu menggeleng. "Kakak anda yang menjadi wali anda. Tapi Bibi rasa kakak anda hanya akan menjenguk untuk beberapa waktu. Ia orang yang sibuk, Nona."

"Lalu bagaimana denganmu, Bi?"

"Bibi akan datang seminggu sekali untuk memberimu makanan dan mengajarimu memasak. Suami bibi juga akan datang memeriksa keamanan rumah ini saat bibi datang." Jelas pelayan itu.

"Lalu bagaimana denganku saat Bibi dan Kakak tidak ada di rumah ini?" Tanya gadis itu dengan pilu membayangkan hari-harinya yang akan sangat sepi.

Pelayan itu menggeleng dan menatap si gadis dengan sedih. Kemudian ia memeluknya dan memberikan kehangatan seperti seorang ibu untuk terakhir kalinya. "Ayo, Nona Lisette sudah waktunya." Pelayan itu menuntun gadis kecil yang ia panggil Lisette keluar dari kamar itu dan menyusuri lorong yang akan membawanya ke acara pemakaman.

***

Sehari sebelum kematian orang tua Lisette.

"Nona Lisette, Tuan dan Nyonya memanggil anda!" Teriak si pelayan wanita mengejar-ngejar seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun yang berlari dengan tawa cerianya di halaman belakang. Sesekali anak perempuan itu menoleh kebelakang memastikan pelayannya tidak dapat menangkapnya. Rambut hitamnya yang panjang terurai dan diterpa angin sembari ia berlari. Gadis yang malang dan cantik layaknya boneka porselen, ia tidak tahu hari ini mungkin saja menjadi hari terakhirnya bertingkah selayangnya anak berusia sepuluh tahun.

32 FouettèTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang