Kita bersama dalam waktu yang lama. Kupikir, di antara kita tak mungkin berpisah hingga sebuah kenyataan pahit datang bagai menghantam isi kepalaku dengan sangat keras. Aku menatapmu miris dalam diam. Tak bergerak untuk beberapa waktu karena aku mencari kebenaran dari hal yang baru saja kau katakan.
"Sudah cukupkah semuanya?" ada jeda setelah aku mengucapkan itu. Menatap manik matanya lekat dengan senyum yang terukir lemah. "Benar, kau dan aku tak mungkin berjalan dalam jalur yang sama. Kita berbeda,"
"Na, hentikan. Aku tahu ini terlihat buruk di matamu. Tapi aku-"
"Tidak! Aku baik-baik saja. Itu sama sekali tak terlihat buruk." Potongku cepat. Aku menekan pergelangan tanganku sendiri dengan kuat. Menghadirkan rasa sakit yang membuatku tetap sadar bahwa semua hal yang terjadi adalah nyata. Aku mencoba tersenyum di antara semua, ini sangat menyakitkan. Kenapa aku selalu salah di matanya hanya karena aku tak bisa menjadi seperti seseorang yang dia impikan? Kenapa aku yang bersalah dalam hubungan yang selama ini aku coba pertahankan? Lalu apa hasilnya dari hubungan yang telah kita jalani selama dua tahun ini?
"Na, aku-"
"Kau bajingan!" kulihat wajahnya mengeras menatapku setelah kata-kata yang tak pernah aku pikirkan keluar. Pasti dia sama sekali tak menyangka bahwa aku yang lembut ini akan berkata kasar. "Kenapa? Kau terkejut? Kau akan mengatakan bahwa kau juga tersakiti selama dua tahun ini karena tidak mencintaiku? Atau karena aku yang memiliki kecantikan standar ini tak berbanding dengan selingkuhanmu? Basi!"
"Na, hentikan! Kau tahu bahwa aku mencintaimu."
"Jika kau mencintaiku, kenapa kau bermain di belakangku? Jika kau mencintaiku, kenapa kau lebih merindukannya dari pada aku yang kekasihmu?"
Dia lagi-lagi mencoba menjelaskan. Dan aku yang lagi-lagi menahan semua badai yang meledak dalam pikiran. Aku menahan agar air mataku tidak tumpah. Setiap kata yang dia ucapkan, seolah memberikan pukulan hebat yang membuatku sadar. Bahwa aku tak seharusnya berjuang untuk rasa yang sudah menghilang.
"Tapi, Na, semua terjadi begitu saja. Aku tak bisa melupakannya. Setiap malam yang kupikirkan hanyalah dia. Hampir di setiap malam yang datang, aku selalu merindukannya. Dan perlahan, rasa cintaku padamu hilang . Aku mencoba kembali mencari jalanku yang tertinggal agar bisa bertahan dengan cinta yang kita punya. Aku mencoba bertahan dengan percaya bahwa rasa rinduku padanya salah dan tak seharusnya aku miliki. Aku mencoba kembali dan menatapmu berkali kali namun pada akhirnya, hal itu membuatku sadar bahwa kita sudah terlalu jauh untuk kembali merajut asa. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa berbohong lagi dan aku tak ingin menyakitimu lagi. Na, aku ...,"
Aku mendengarkan setiap kata yang dia ucapkan untukku dengan sangat jelas. Setiap kata yang memotong rasa cintaku menjadi serpihan tak berarti. Setiap penjelasan dari hal yang tak harusnya kudengar karena itu terlalu menyakitkan. Aku muak dan merasa sangat buruk karena pernah mencintai pria sepertinya. Aku merasa dua tahun yang kami habiskan harusnya tak terjadi karena hal itu membuatku tenggelam dalam lumpur busuk yang harus aku tinggalkan.
"Kau tahu, kau baru saja merubah pemikiranku padamu."
Kulihat dia menatapku tak mengerti. "Kau membuatku mual, Angga! Terasa seperti aku menelan sesuatu yang terbuang!""Apa maksudmu?" tanyanya dingin. Oh bagus, aku baru tahu sifatnya yang ini.
"Bukankah SAMPAH harus kubuang?" kataku dengan senyum tipis. Dia benar, harusnya aku membuang hal-hal yang tak seharusnya aku pertahankan. Termasuk dia, yang tak pantas untuk menerima rinduku apa lagi cinta yang telah kuberikan.