Untuk beberapa saat ruangan menjadi sangat sunyi. Benar-benar membosankan! Aku berdiri dan meraih buku kuliahku yang tergeletak di atas meja. Kulihat dia ikut berdiri, mencoba meraih tanganku kasar.
"Naina, bukankah itu terlalu kasar?"
Aku menoleh. Kasar? Ah, sebutan sampah itu. Aku tersenyum tipis, "Kasar? Lalu bagaimana dengan sikapmu?"
"Bukankah sudah aku jelaskan? Aku memilih mengakhiri semua ini karena tak ingin menyakitimu lebih jauh,"
Aku tertawa mendengar penuturannya. "Kau sangat perhatian padaku, Angga. Dan kau tak perlu memperjelas bahwa semua ini kau akhiri karena kau lebih memilih dia."
Kata-kataku seolah membuatnya sadar. "Ya, kau benar. Karena aku lebih mencintainya! Aku tak mungkin bertahan lebih lama dalam hubungan datar yang tak membuatku puas! Aku pria, Na. Aku-"
"Kau bajingan!" potongku lagi dengan senyum yang belum pudar. Aku benar-benar muak dengan pembicaraan ini. "Kau dapatkan apa yang kau mau. Kita selesai!"
Aku membuka pintu kelas ini dan mulai berjalan keluar. Namun lagi-lagi tanganku di tarik dari belakang. Aku menghempaskan genggaman tangannya, lalu menatap lorong kelas yang padat.
"Na, dengarkan aku dulu. Aku tak bermaksud menyakitimu. Kita,"
"Hei, kau yang di sana!" ucapku keras, tanpa ingin mendengarkan penjelasannya lagi. Aku menunjuk seorang lelaki yang melintas tak jauh dari kami. Lelaki itu berhenti tanpa menoleh. "Mulai sekarang kau adalah milikku. Milik Naina seorang!"
"Apa? Apa yang baru saja kau lakukan, Na?"
Apa yang kulakukan? Apakah itu ada hubungannya denganmu lagi? Aku menatap wajah tampan ini sekali lagi, wajah yang dulunya sempat menggetarkan hatiku, tapi kini harus kulupakan karena dia lebih memilih wanita lain.
"Apa matamu buta? Aku baru saja mengumumkan bahwa pria di sana adalah kekasihku sekarang. Jadi aku bisa terlepas dari sampah sepertimu!"
Aku berjalan cepat saat lelaki yang kutunjuk menoleh dan terlihat mulai tertarik dengan pembicaraan kami. Tanpa menoleh sedikitpun pada Angga, aku meraih wajah lelaki tersebut dan menempelkan bibirku pada bibirnya.
"Naina!"
Bagus, kali ini Angga berteriak marah. Dan sekali lagi aku menatapnya remeh. "Sampah!" ujarku kasar dengan berlalu. Menarik tangan lelaki yang baru saja kucium tanpa kulihat wajahnya.